IMPLIKASI COVID19 SEBAGAI FORCE MAJEURE DALAM PELAKSANAAN KONTRAK
Estomihi FP Simatupang
[1]
Abstract
Determination of the corona virus outbreak as a non-natural national disaster by the government through Presidential Decree No.12 of 2020 concerning the Determination of Non-Natural Disaster for the Spread of Covid-19 as a National Disaster by the debtor is considered a force majeure in contract execution. Therefore this study aims to examine the implications of Covid19 as a force majeure in contract implementation so that debtors are not considered default if they do not carry out the agreement / contract.
Keywords : Covid19, Force Majeure, Contract
Abstrak
Penetapan wabah virus corona sebagai bencana nasional nonalam oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional oleh debitur dianggap sebagai force majeure dalam pelaksanaan kontrak. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk meneliti implikasi Covid19 sebagai force majeure dalam pelaksanaan kontrak sehingga debitur tidak dianggap wansprestasi jika tidak melaksanakan perjanjian/kontrak.
Kata kunci : Covid19, Force Majeure, Kontrak
PENDAHULUAN
Virus corona pertama kali ditemukan di China dan mulai menyebar ke berbagai negara sehingga ditetapkan sebagai pandemi, kini wabah penyakit itu telah menginfeksi lebih dari 13 juta orang di dunia
[2]. Kasus virus corona pertama di Indonesia diketahui sejak dua warna Depok positif terinfeksi virus corona yang diumumkan langsung Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan pada tanggal 2 Maret 2020
[3]. Akibat penyebaran virus corona yang sangat cepat dan luas, jumlah pasien positif corona di Indonesia sampai dengan tanggal 13 April 2020 telah mencapai 4.557 orang. Dari jumlah tersebut, 399 meninggal dunia, dan 380 pasien dinyatakan sembuh
[4]. Wabah virus corona dapat dikategorikan sebagai bencana karena telah mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan nonalam dan telah menimbulkan korban jiwa manusia, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
[5].
Pada tanggal 13 April 2020, presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional
[6]. Dengan ditetapkannya wabah virus corona sebagai bencana nasional nonalam
[7], maka pemerintah akan mengambil langkah-langkah berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana untuk melakukan penanggulangan Penyebaran Covid-19. Adapun tujuan penanggulangan bencana Penyebaran Covid-19 adalah untuk
[8]: a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sesuai Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana Penyebaran Covid-19 adalah Pemerintah dan pemerintah daerah.
Salah satu wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana Penyebaran Covid-19 adalah penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional
[9]. Dan salah satu wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana Penyebaran Covid-19 adalah penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah
[10]. Penetapan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana Penyebaran Covid-19 adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pemerintah daerah yang pertama sekali menetapkan kebijakan terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana Penyebaran Covid-19 adalah pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta dengan menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kebijakan Gubernur DKI ini diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 telah ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Adapun salah satu tujuan dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah untuk membatasi kegiatan tertentu dan pergerakan orang dan/ atau barang dalam menekan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19)
[11].
Dalam pelaksanaan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) maka dilakukan pembatasan terhadap aktifitas luar rumah antara meliputi a. pelaksanaan pembelajaran di Sekolah dan/atau institusi pendidikan lainnya; b. aktivitas bekerja di tempat kerja; c. kegiatan keagamaan di rumah ibadah; d. kegiatan di tempat atau fasilitas umum; e. kegiatan sosial dan budaya; dan f. pergerakan orang dan barang menggunakan moda transportasi
[12]. Terhadap pembatasan aktifitas bekerja ditempat kerja dilakukan penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor
[13]. Dengan dilakukan penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor maka akan berdampak pada pelaku usaha/perusahaan maupun terhadap karyawan. Dampak tersebut antara lain tidak maksimalnya aktifitas kegiatan, penurunan omset, menimbulkan kerugian, ancaman kebangkrutan, pemotongan upah maupun bonus dan pemutusan hubungan kerja karyawan.
PERMASALAHAN
Jika dalam hal ini debitur yang terdampak akibat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tidak dapat melaksanakan perjanjian, apakah debitur akan dikategorikan wanprestasi ? atau apakah dengan adanya implikiasi COVID19 ini dapat dikatakan sebagai force majeure ?. Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah: Bagaimana Implikasi Covid19 sebagai Force Majeure dalam pelaksanaan kontrak ?
PEMBAHASAN
1. Implikasi Covid19
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) merupakan kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi Penyebaran Covid-19. Dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial berskala besar oleh pemerintah daerah DKI Jakarta terhadap aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor telah berdampak pada:
- Tidak maksimalnya aktifitas usaha;
- Penurunan omset/penjualan[19];
- Menimbulkan kerugian[20];
- Pemotongan Upah dan/atau bonus karyawan[21];
- Pemutusan hubungan Kerja (PHK)[22];
Bagi pelanggar kebijakan pembatasan sosial berskala besar terhadap aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor akan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan berupa penyegelan kantor/ tempat kerja dan denda administratif
[23] sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Force Majeure dalam pelaksanaan kontrak
Overmacht atau keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan kata lain, tidak terlaksananya perjanjian atau terlambat dalam pelaksanaan perjanjian bukan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian
[24].
Force Majeure menurut Black's Law Dictionary Suatu peristiwa atau efek yang tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan yang mencakup tindakan alam maupun tindakan manusia
[25]. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kejadian peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis disebut dengan bencana.
Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai force majeure diatur dalam pasal 1244 dan pasal 1245, yang mana unsur-unsur keadaan memaksa tersebut, yaitu
[26] :
- peristiwa yang tidak terduga;
- tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
- tidak ada itikad buruk dari debitur;
- keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
- keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
- jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;
- keadaan di luar kesalahan debitur;
- debitur tidak melakukan kelalaian untuk berprestasi (menyerahkanbarang);
- kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (debitur maupunpihak lain);
- debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian
Dalam perkembangannya, ruang lingkup keadaan memaksa (force majeure atauovermacht) mengalami perkembangan. Dari putusan MA setidaknyaterlihat ada pergeseran makna keadaan memaksa. Awalnya, force majeure hanyameliputi keadaan memaksa yang bersifat mutlak, artinya debitur sama sekali tidakmungkin memenuhi apa yang sudah diperjanjikan karena kuasa Tuhan, sepertibencana alam. Akibat force majeure terhadap perjanjian maupun kewajibanmenanggung risiko juga mengalami perkembangan seperti
[27]:
- Putusan MA RI No. 3389 K/PDT/1984 menunjukkan bahwa MA sebenarnyamengakui bahwa munculnya tindakan administratif penguasa yangmenentukan atau mengikat adalah suatu kejadian yang tidak dapat diatasi olehpara pihak dalam perjanjian. Tindakan atau kebijakan dari penguasa dianggapsebagai force majeure dan membebaskan pihak yang terkena dampak darimengganti kerugian. Tindakan penguasa merupakan force majeure yangbersifat relatif, yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normaltidak mungkin dilakukan, atau untuk sementara waktu ditangguhkan sampaiada perubahan kebijakan atau tindakan penguasa yang berpengaruh padapelaksanaan prestasi.
- Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958 juga membuktikan bahwa bukan hanya kondisi alam yang merupakan Kuasa Tuhan dan perubahan politik seperti perang yang menjadi ruang lingkup keadaan memaksa, tetapi juga meliputi perubahan kebijakan ekonomi pemerintah yang menjadikan perjanjian sulit untuk dilaksanakan kecuali dengan pengorbanan debitur yang begitu besar. MA dalam kaitan dengan kasus ini beranggapan bahwa peraturan pemerintah yang menjadikan debitur sulit melaksanakan kewajibannya kecuali dengan pengorbanan yang besar merupakan keadaan memaksa.
3. Implikasi Covid19 sebagai force majeure dalam Pelaksanaan Kontrak
Tujuan pelaksanaan kontrak adalah prestasi, yaitu pemenuhan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan. Suatu persoalan dalam hukum perjanjian adalah apakah debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan ?
[28]. Dalam pelaksanaan kontrak bahwa kemungkinan tidak dilaksanakannya pemenuhan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan dapat terjadi karena dua hal, yaitu :
- Karena wansprestasi[29]
- Yaitu, Tidak dilaksanakannya apa yang diperjanjikan karena wansprestasi adalah lebih bersifat subjektif yaitu kehendak orang yang terikat pada perjanjian tersebut, bukan karena keadaan memaksa.
- Karena Keadaan Memaksa
- Yaitu, tidak dilaksanakannya apa yang diperjanjikan bukan oleh karena kehendak debitur melainkan karena keadaan (bersifat objektif) yang tidak memungkinkan debitur untuk melaksanakan perjanjian/kontrak tersebut.
Menurut teori Conditio Sine Quanon, bahwa perbuatan harus dianggap sebagai sebab dari suatu akìbat. Bila syarat dari akibat, maka perbuatan itu tidak dapat ditiadakan untuk menimbulkan akibat, maka perbuatan ìtu adalah sebab. Jadi tiap-tiap perbuatan, tiap-tiap masalah dalam rangkaian peristiwa merupakan syarat dan harus dianggap sebagai sebab, sehingga syarat-syarat itu mempunyal nilai yang sama
[30]. Implikasi Covid19 adalah merupakan suatu kejadian yang tidak dapat diatasi oleh para pihak dalam perjanjian akibat tindakan administratif penguasa yangmengikat
[31]. Jika debitur tidak dapat melaksanakan perjanjian/kontrak akibat implikasi Covid19 yaitu tindakan administrasi pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menanggulangi Penyebaran Covid-19 maka yang merupakan sebab debitur tidak dapat melaksanakan kontrak/perjanjian adalah tindakan administratif pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Objektif keadaan memaksa tidak terletak pada penetapan Covid19 sebagai bencana nonalam tetapi lebih kepada implikasi Covid19 terhadap debitur dalam melaksanakan perjanjian/kontrak. Jika implikasi Covid19 tidak berpengaruh terhadap debitur dalam melaksanaan perjanjian/kontrak maka debitur wajib melaksanakan sebagaimana yang diperjanjikan
[32]. Namun apabila implikasi Covid19 berpengaruh
[33] terhadap debitur dalam melaksanakan perjanjian/kontrak maka implikasi Covid19 adalah merupakan keadaan memaksa yang mengakibatkan debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Sesuai ketentuan pasal 1244 KUHPerdata agar debitur tidak dikenakan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka pelaku usaha harus membuktikan bahwa implikasi Covid19 telah mengakibatkan debitur tidak dapat melaksanakan perjanjian/kontrak.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Inti dari keadaan memaksa bukanlah pada penetapan Covid19 sebagai bencana basional, tetapi lebih kepada implikasi Covid19 terhadap debitur yaitu, apakah implikasi tersebut mempengaruhi debitur melaksanakan perjanjian/kontrak atau tidak. Jika implikasi Covid19 mempengaruhi debitur dalam melaksanakan perjanjian/kontrak maka hal itu dapat disebut dengan keadaan memaksa/force majure.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1244 KUHPerdata agar debitur tidak dikenakan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka debitur harus membuktikan bahwa implikasi Covid19 telah membuat pelaku usaha tidak dapat menjalankan perjanjian/kontrak.
2. Saran
Bagi debitur yang berpengaruh dalam melaksanakan perjanjian/kontrak akibat implikasi Covid19 maka sebaiknya menghubungi kreditur untuk melakukan peninjauan terhadap pelaksanaan kontrak atau menegosiasikan kembali pelaksanaan kontrak seperti penghentian kontrak, penundaan pelaksanan kontrak atau peninjauan pelaksanaan kontrak
DAFTAR PUSATAKA
Buku
- Salim. 2010.Hukum Kontrak (Teori dan Teknisk Penyusunan Kontrak). Cetakan Ketujuh. Jakarta : Sinar Grafika
- Subekti, Hukum Perjanjian, cet 20, Jakarta : Intermasa, 2010
- Subekti,Pengantar Ilmu Hukum, cet 16 Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013
- Subekti, Aneka Perjanjian, cet XI, Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2014
- Soemadipradja ,Rahmat S.S. 2010.Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa(Syarat-syarat perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure). Jakarta : Gramedia
- Miru, Ahmad. 2014. Hukum Perikatan (Penjelasan Maksna Pasal 1233 sampai 1456 BW). Jakarta : Rajawali
- Rajagukguk, Erman. 1982. Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karangan). Jakarta : Ghalia Indonesia
- Panggabean, HP. 2010. Penyalahgunaan Keadaan (Sebagai Alasan baru Untuk Pembatalan Perjanjian). Edisi Revisi II. Yogyakarta : Liberty
- Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006
- Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku Ketiga, cet 1, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2015
- Fathurrahman Djamil, Mariam Darus Badruljaman, Sutan Remy Sjahdeini dan Heru Soepraptomo, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2016
- Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2010
- Rianto Adi, Aspek Hukum Dalam Penelitian, Jakarta: Granit, 2015
- Sugiyono, Metode Peneltian (Kuantitatif, Kualitatif dan R&D), cet 26, Bandung : Alfabeta, 2017
- Hartanto, Teori Hukum, Bekasi : Cakrawala Cendekia, 2019
- Hartanto, Metodologi Penelitian Hukum, Cakrawala Cendekia, 2018
- Rendy Saputra, Kedudukan Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2016
Kamus
Garner, Bryan a. 2009. Black's Law Dictionary Ninth Edition. ST. Paul : West Publishing
Perundang-Undangan
- UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236)
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 telah ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
- Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
- Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Yusprudensi
- Putusan MA RI Reg. No. 15 K/Sip/1957
- Putusan MA RI Reg. No. 24 K/Sip/1958
- Putusan MA RI Reg. No. 558 K/Sip/1971
- Putusan MA RI Reg. No. 409 K/Sip/1983
- Putusan MA RI Reg. No. 3389 K/Sip/1984
Internet
- [1] Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Krisnadwipayana
- [2] Mengapa Virus Corona Menyebar Sangat Cepat? Begini Penjelasan Ilmiah Sederhananya yang Mudah Dipahami,https://health.grid.id/read/352242471/mengapa-virus-corona-menyebar-sangat-cepat-begini-penjelasan-ilmiah-sederhananya-yang-mudah-dipahami?page=all diakses pada tanggal 20 Juli 2020 Pukul 15.30. WIB
- [3] Ihsanuddin , "Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona di Indonesia", https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all
- [4] dmi/wis. “Jokowi Tetapkan Wabah Corona sebagai Bencana Nasional” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200413180042-20-493149/jokowi-tetapkan-wabah-corona-sebagai-bencana-nasional. Diakses pada tanggl 20 Juli 2020 Pkul 16.00 WIB
- [5] Pengertian bencana menurut Pasal1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
- [6] dmi/wis. “Jokowi Tetapkan Wabah Corona sebagai Bencana Nasional” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200413180042-20-493149/jokowi-tetapkan-wabah-corona-sebagai-bencana-nasional. Diakses pada tanggl 20 Juli 2020 Pkul 16.00 WIB
- [7] Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Pasal 1 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
- [8] Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
- [9] Pasal 7 ayat (1) point a UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
- [10] Pasal 9 point a UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
- [11] Pasal 3 poin a Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
- [12] Pasal 5 ayat (4) Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
- [13] Pasal 9 ayat (1) Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
- [14] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), halaman 13-14
- [15] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 22.
- [16] https://www.researchgate.net/ , diakses pada tanggal 12 Desember 2019 pukul 06.26
- [17] Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai suatu metode baru, karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan dilapangan. Metode penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Sugiyono, Metode Peneltian (Kuantitatif, Kualitatif dan R&D), cet 26, (Bandung: Alfabeta, 2017), halaman 7 – 8.
- [18] Rianto Adi, Aspek Hukum Dalam Penelitian, (Jakarta: Granit, 2015), halaman 9.
- [19] Nyoman Ary Wahyudi, Omzet Dunia Usaha di Jakarta Minus 40 Persen sejak PSBB Transisi, https://jakarta.bisnis.com/read/20200720/77/1268414/omzet-dunia-usaha-di-jakarta-minus-40-persen-sejak-psbb-transisi, Diakses pada tanggal 22 Juli 2020 Pukul 07.09 WIB
- [20] Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengatakan setelah pemberlakuan PSBB, praktis pendapatan berbagai mal hampir nihil, web, “PSBB DKI, Pengusaha Mal Mengaku Rugi Besar”, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200427132702-92-497623/psbb-dki-pengusaha-mal-mengaku-rugi-besar, Diakses pada tanggal 22 Juli 2020 Pukul 09.22 WIB
- [21] Pengusaha Potong Gaji Karyawan di Tengah Corona, Ini Kata Kemnaker, toy, “Pengusaha Potong Gaji Karyawan di Tengah Corona, Ini Kata Kemnaker’, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4962608/pengusaha-potong-gaji-karyawan-di-tengah-corona-ini-kata-kemnaker, Diakses pada tanggal 22 Juli 2020 Pukul 09.37 WIB
- [22] Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 7 April 2020, akibat pandemi Covid-19, tercatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor formal yang memilih merumahkan, dan melakukan PHK terhadap pekerjanya, Jawahir Gustav Rizal, "Pandemi Covid-19, Apa Saja Dampak pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia?", https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/11/102500165/pandemi-covid-19-apa-saja-dampak-pada-sektor-ketenagakerjaan-indonesia-?page=all. Diakses pada tanggal 22 Juli 2020 Pukul 08.12 WIB
- [23] Pasal 6 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
- [24] R. Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, hlm.55.
- [25] Garner, Bryan a. 2009. Black's Law Dictionary Ninth Edition. ST. Paul : West Publishing
- [26] Soemadipradja ,Rahmat S.S. “Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa”(Syarat-syarat perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure), Jakarta, Gramedia:2010
- [27] Ibid
- [28] Subekti,”Hukum Perjanjian”, Jakarta: Intermasa, 2010. Cet. 21 hal. 39
- [29] Wansprestasi dapat terjadi karena : 1.tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; 2. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; 3. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan 4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Estomihi FP Simatupang. “Pengertian, Bentuk dan Sanksi Wanprestasi” https://www.berandahukum.com/2016/06/pengertian-bentuk-dan-sanksi-wanprestasi.html
- [30] Djojodirdjo, Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal 83
- [31] Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3389 K/PDT/1984
- [32] Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958, dalam kasus ini MA juga memberi catatan bahwa ketika masih ada kemungkinan debitur memenuhi kewajiban dengan cara lain, asal tidak melanggar peraturanperundangan-undangan maka tidak dapat dikatakan force majeure. Soemadipradja ,Rahmat S.S. “Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa”(Syarat-syarat perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure), Jakarta, Gramedia:2010
- [33] Mempengaruhi yang dimaksud disini adalah berakibat pada: 1. tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; 2. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; 3. melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan 4.melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.