1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Semula pengertian perbuatan melawan hukum diartikan secara sempit, yakni bahwa perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang, atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang jadi bertentangan dengan wettelijkepilcht. Baru-lah pada tahun 1919 pengertian perbuatan melawan hukum diartikan secara luas setelah Hoge Raad memberikan keputusan tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen yang membatalkan keputusan pengadilan tinggi (Hof) atas dasar pertimbangan bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) diartikan perbuatan melawan hukum kalau:
-
Bertentangan dengan hak orang lain atau
-
Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau
-
Bertentangan dengan kesusilaan baik atau
-
Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
ad. 1 Bertentangan dengan hak orang lain
Yang dimaksud dengan bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Menurut Mayer sifat hakekat hak subjektif adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum pada seseorang, yang memperolehnya demi kepentingannya. Hak-hak yang paling penting yang diakui oleh yusprudensi adalah hak-hak pribadi (persoonlijkheidcrechten) seperti hak atas kebebasan, hak atas kehormatan, nama baik dan hak-hak kekayaan.
ad. 2 Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
Berbuat atau melalaikan dengan bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku adalah merupakan tindak tanduk yang bertentangan dengan undang-undang. Menurut Rutten, dengan perbuatan atau melalaikan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukum (rechsplicht) adalah perbuatan melawan hukum bilamana perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku. Kewajiban hukum (rechsplicht) adalah kewajiban yang berdasar atas hukum.
ad. 3 Bertentangan dengan kesusilaan baik
Yang dimaksud dengan kesusilaan baik adalah norma-norma kesusilaan, sepanjang norma-norma tersebut oleh pergaulan hidup diterima sebagai peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis. Dalam arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 atas perkara Lindebaum melawan Cohen telah membujuk seseorang karyawan untuk membocorkan rahasia perusahaan Lindebaum, perbuatan Cohen tersebut dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan baik.
ad. 4 Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda
Yang dimaksud dengan Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda adalah jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyaraka.
2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
Dalam perkembangan perbuatan melawan hukum di Indonesia pasal 1365 KUH Perdata memberikan batasan mengenai unsur-unsur dari perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Unsur-unsur tersebut antara lain :
-
Adanya perbuatan melawan hukum
-
Adanya kerugian yang ditimbulkan
-
Adanya kesalahan
-
Adanya hubungan antara kerugian dengan kesalahan
ad. 1 Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan kewajiban hukum sipelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Pasal 1365 KUH Perdata mencakup dua pengertian, yakni sebagai perbuatan yang merupakan perwujudan daripada berbuat sesuatu dan sebagai perbuatan dengan segi negatifnya yakni perbuatan yang berupa mengabaikan suatu keharusan.
Menurut Moegni Djododirdjo, daad (perbuatan) barulah merupakan perbuatan melawan hukum kalau :
-
Bertentangan dengan hak orang lain atau
-
Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau
-
Bertentangan dengan kesusilaan baik atau
-
Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
ad. 2 Kesalahan (Schuld)
Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum mensyaratkan pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Rutten mengemukakan bahwa tiada pertanggung jawaban atas akibat-akibat daripada perbuatannya yang melawan hukum tanpa kesalahan. Sependapat dengan Rutten, Meyers mengemukakan bahwa perbuatan melawan hukum mengharuskan adanya kesalahan (een onrechtmatige daad verlangt schuld).
Dengan mesyaratkan adanya kesalahan (schuld) dalam pasal 1365 KUH Perdata, pembuat undang-undang hendak menekankan bahwa si pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung-gugat atas kerugian yang ditimbulkannya, bilamana perbuatan dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan padanya . Nilai dari kesalahan ini adalah soal lain, bagaimana ringanpun kesalahan itu asal ada saja, sudah ada kemungkinan rasa keadilan mendapat kepuasan. Hanya dengan menunjuk suatu kesalahan dari pihak pembuat perbuatan melanggar hukum, dapat sipembuat itu dipertanggungjawabkan, Sebaliknya rasa keadilan akan diperkosa apabila dimungkinkan seorang pembuat perbuatan melanggar hukum dipertanggungjawabkan, meskipun sama sekali tiada kesalahan sebagaimana ringanpun dari pihak sipembuat itu.
Pengertian kesalahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kekeliruan atau kealpaan. Schuld (kesalahan) mencakup kelalaian dan kesengajaan. Kelalain dipandang sebagai suatu jenis lain dari kesalahan (culpa) walaupun tidak tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki dengan atau tanpa maksud jahat akibat yang merugikan.
Unsur kesengajaan dianggap ada dalam suatu tindakan jika memenuhi elemen-elemen sebagai berikut :
-
Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan;
-
Adanya konsekuensi dari perbuatan (tidak hanya perbuatan saja);
-
Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan. Kekhilafan bukanlah kualifikasi spesifik dari perbuatan, ia merupakan perbuatan itu sendiri yaitu kelalaian (omisi) dari ketidak hati-hatian yang harus dilakukan menurut hukum.
Jika suatu perbuatan dianggap sebagai kelalaian maka harus memenuhi unsur pokok sebagai berikut :
-
Adanya suatu perbutaan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan.
-
Adanya suatu kewajiban kehati-hatian tersebut (duty of care).
-
Tidak dijalankannya kewajiban kehati-hatian tersebut.
-
Adanya kerugian bagi orang lain.
-
Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.
Unsur kesalahan baik secara kesengajaan ataupun kelalaian terdiri dari dua pengertian, (a) pengertian objektif, yaitu suatu ukuran tingkah laku yang ditentukan menurut ukuran umum; orang-orang pada umumnya sedapat mungkin akan berlaku sama dalam keadaan yang sama untuk mencegah terjadinya suatu kerugian, (b) pengertian yang subjektif, yaitu berkenaan dengan pelaku itu sendiri apakah mempunyai suatu kecakapan untuk mengatasi suatu kerugian yang mungkin timbul. Hal itu akan menentukan apakah ia bertanggung jawab atas kerugian akibat perbuatannya tersebut.
Kesalahan (schuld) dalam pasal 1365 adalah schuld dalam arti luas. Maka perbuatan dilakukan dengan sengaja ataukah dilakukan karena kelalaian akibat hukumnya adalah sama, yakni bahwa sipelaku tetap bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas kerugian yang diderita oleh orang lain, yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kesalahan sipelaku.
ad. 3 Kerugian (Schade)
Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian kekayaan (vermogensschade) atau kerugian bersifat idiil . Kerugian kekayaan pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya (gederfdewinst). Kerugian moril atau idiil yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Terhadap kerugian moril atau idiil ini, Hoge Raad tanggal 19 Januari 1937 atas perkara Walikota Tilburg melawan Pemilik Villaa, dalam keputusannya menyatakan :
“Bilamana kenikmatan seseorang atas sesuatu benda tertentu menjadi berkurang, maka akan berkurang pulalah nilai daripada barangnya dalam lalu lintas penukaran”
Dalam keputusan Hoge Raad tanggal 3 Februari 1927 telah memberikan pertimbangan hukumnya sebagai berikut:
“Kerugian harus dianggap sebagai akibat daripada perbuatannya yang timbulnya langsung dan seketika juga bilamana akibat tersebut merupakan akibat daripada perbuatannya yang dilakukannya secara layak dapat diharapkan akan timbul (indien zij het redelijkerwije te verwachten gevolg is)”.
Besarnya kerugian ditetapkan dengan penaksiran, dalam hal mana diusahakan agar si penderita sebanyak mungkin dikembalikan pada keadaan sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum . Ada kalanya untuk kepentingan penetapan besarnya kerugian terlebih dahulu meminta seorang ahli untuk melakukan taksasi tentang besarnya kerugian. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tersebut disebut biaya-biaya expertise yang juga harus diganti oleh pelaku. Lebih sukar adalah untuk menentukan besarnya gederfdewinst (keuntungan yang diharapkan dapat diterima). Maka karenanya dalam memperhitungkan gederfdewinst orang selalu memperhitungkannya secara ex aequo et bono (menurut kelayakan dan kewajaran). Demikian pula kerugian idiil selalu akan memperhitungkan ex aequo et bono. Sekalipun prinsipnya semua kerugian yang timbul harus diberi ganti rugi, namun jelaslah bahwa pasal 1365 tidak mencakup kerugian yang diderita karena suatu kepentingan yang tidak sah.
Ad. 4 Hubungan Kausal (oorzakelijk verband)
Dalam bidang hukum perdata harus terdapat hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. Akan tetapi kalau diterima pendapat bahwa pelaku suatu perbuatan melawan hukum selalu dapat dipertanggung jawabkan bilamana perbuatannya adalah merupakan conditio sine qua non menurut pasal 1365 KUH Perdata akan sangat diperluas secara tidak wajar. Maka karenanya dicari pembatasan dengan menerapkan teori adaequate yang mengajarkan bahwa sipelaku dipertanggung jawabkan atas kerugian yang adalah merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang secara layak dapat diperkirakan akan timbul. Penerapan teori adaequate memang sudah sesuai dengan isi ketentuan pasal 1365 KUH Perdata. Dari ketentuan tersebut telah nampak dengan jelas keharusan adanya hubungan kasual antara perbuatan melawan hukumnya dengan kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tersebut. Maka diterapkanlah teori adaequate yang biasanya disebut adaequate veroorzaking.
Menurut teori adaequate bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Adapun dasarnya untuk menentukan perbuatan yang seimbang itu adalah perhitungan yang layak, maka yang menjadi sebab adalah perbuatan sebagaimana diperoleh dari pengalaman yang menurut perhitungan yang layak dapat menimbulkan akibat . Perhitungan yang layak menurut Simons adalah menurut pengalaman manusia . Menurut Von Kries yang dimaksud dengan perhitungan yang layak adalah masalah-masalah yang diketahui atau yang seharusnya diketahui oleh dipelaku . Yang dianggap sebagai sebab yang menimbulkan akibat oleh Von Kries adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat yakni perbuatan, yang menurut perhitungan yang layak dapat menimbulkan akibat, sedang pembuatnya mengetahui atau setidak-tidaknya harus mengetahui bahwa perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-undang. Sipelaku hanyalah dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian bilamana kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatannya yang melawan hukum yang secara layak dapat diperkirakan akan timbul.
Rutten berpendapat bahwa teori adaequate merupakan ajaran pertanggungan-gugat. Menurut pendapat ini, maka orang harus meneliti terlebih dahulu menurut ajaran conditio sine qua non apakah kerugian ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum. Kalau penelitian dengan cara demikian hasilnya negatif maka sudah tentu tidak ada pertanggungan-gugat. Kalau dengan penelitian tersebut diketahui bahwa memang terdapat hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian, maka kemudian dengan menggunakan adaequate teori akan harus diteliti apakah pelaku dapat dipertangung-jawabkan .
Sejak tahun 1927 Hoge Raad secara tetap menerapkan ajaran adaequate teori . Dalam perkara “De Haagsche Post dimana salah seorang pemegang saham karena berita tersebut berpendapat bahwa dalam waktu dekat saham-sahamnya tidak akan berharga lagi dan memang benar saham-sahamnya mulai merosot harganya yang mungkin disebabkan oleh berita bohong tersebut. Karenanya pemegang saham tersebut menjual saham-sahamnya dengan rugi. Akan tetapi dikemudian setelah kebohongan berita tersebut diketahui orang harga saham-saham naik lagi. Pemegang saham menuntut ganti rugi pada majalah tersebut. Akan tetapi pembelaan majalah tersebut mengemukakan kerugian tersebut bukanlah merupakan akibat langsung daripada pengumuman berita-berita bohong tersebut yakni penjualan saham-saham tidak menjadi keharusan baginya untuk melakukannya dan karenanya adalah perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Maka majalah tersebut menyangkal ada hubungan kausal antara berita-berita dalam majalah tersebut dan kerugian yang diderita oleh pemegang saham. Dalam keputusannya pada tanggal 3 Februari 1927 Hoge Raad memberikan pertimbangan hukumnya sebagai berikut :
Kerugian harus dianggap sebagai akibat daripada perbuatan yang timbulnya langsung dan seketika itu juga bilamana akibat tersebut merupakan akibat daripada perbuatan yang dilakukan secara layak dapat diharapkan akan timbul (indien zij het redelijkerwije te verwachten gevolg is).
Hoge Raad dalam keputusannya itu menganggap ada hubungan kausal antara kerugian pemegang saham dengan berita-berita bohong majalah tersebut.
3. Akibat Perbuatan Melawan Hukum
Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum perdata adalah meniadakan kerugian dari pihak yang dirugikan. Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif merujuk pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan kewajiban pelaku perbuatan untuk membayar ganti rugi.
Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu
“Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Pasal 1366 KUH Perdata, yaitu:
“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan- perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.
Pasal1367 KUH Perdata, yaitu
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya....dst
Referensi :
- Djojodirdjo, Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982)
- Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum : Pendekatan Kontemporer, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013)
- Erna Widjajati, Itikad Baik Dalam Jual Beli Tanah di Indonesia, Jurnal Hukum Volume 11 Nomor 1 Januari-Juni 2010, halaman 90
- Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung; Mandar Maju, 2018, Cetakan ke I)
- SHIDARTA, Mengungkit Kembali Konsep Dasar “Perbuatan Melawan Hukum” https://business-law.binus.ac.id/2015/01/27/mengungkit-kembali-konsep-dasar-perbuatan-melawan-hukum/. Diakses tanggal 12 Agustus 2020 pukul 09.02 WI