- Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa gugatan dapat dikabulkan dengan verstek apabila:
- tergugat atau para tergugat tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban;
- tergugat atau para tergugat tersebut tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak mengirimkan jawaban;
- tergugat atau para tergugat telah dipanggil dengan patut;
- gugatan beralasan dan berdasarkan hukum.
- Dalam hal tergugat tidak hadir pada panggilan sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang pengadilan negeri tidak berwenang mengadili, maka perkara diputus berdasarkan Pasal 125 HIR.
- Dalam perkara penceraian yang tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, harus diperhatikan apakah dilakukan dengan patut, yaitu dengan cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak matang, maka diumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu 1 bulan antara pengumuman pertama dan kedua selanjutnya tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
- Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1964 mengenai verstek.
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 9 TAHUN 1964 Tangal 13 April 1964
Oleh karena ada beberapa tafsiran mengenai putusan verstek, maka dengan ini Mahkamah Agung memberi pendapatnya mengenai hal itu.
Menurut Pasal 125 H.I.R. apabila tergugat, meskipun telah dipanggil secara sah, akan tetapi tidak hadir, maka Hakim dapat:
- menjatuhkan putusan verstek atau
- menunda pemeriksaan (berdasarkan Pasal 126 H.I.R.) dengan perintah memanggil tergugat sekali lagi;
- kemudian apabila dalam hal sub B tergugat tidak dapat lagi, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.
- pendapat yang dimaksudkan dalam sub C ditentang dengan alasan bahwa dalam Pasal 125 H.I.R. dimuat perkataan-perkataan: "tendage dienende", yang diartikan "hari sidang pertama". Akan tetapi alasan itu tidaklah kuat, dari sebab perkataan-perkataan: "tendage dienende" dapat berarti juga "ten dage dat de zaak dient", dan dalam hal ini "hari ini" dapat berarti tidak saja hari sidang ke-1, akan tetapi hari sidang ke-2 dan sebagainya. Selain dari pada itu, apabila perkara ditunda, sebagaimana yang dimaksudkan dalam sub B, dan tergugat tidak hadir lagi, maka timbul pertanyaan: apakah putusan Hakim pada sidang ke-2 itu adalah suatu putusan contradictoir ? Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan "tidak", oleh karena putusan itu tidak menjumpai contradictie alias tegenspraak. Jadi kesimpulan dari pada yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut, yakni bahwa putusan verstek dapat diberikan pada sidang ke-2 dan seterusnya ;
- Pahlawan (opposant) terhadap suatu putusan verstek berkedudukan sebagai tergugat semula, dan hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 129 ayat (5) H.I.R. yang menentukan bahwa apabila "opposant voor de twede maal bij verstek laat vonnisen dat", dan ini berarti, bahwa pelawan adalah tetap menjadi tergugat yang untuk kedua kalinya dihukum dengan verstek. Apabila pelawan berkedudukan sebagai penggugat, maka bunyi Pasal 129 ayat (5) H.I.R. tidak serupa demikian, melainkan misalnya sebagai berikut: "Zal zijn vervallen worden verklaard";
- Kini timbul pertanyaan apakah terhadap putusan verstek yang dimaksudkan dalam sub E dapat diajukan banding ? Pertanyaan tersebut dijawab dengan "Ya", berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No. 20 tahun 1947;
- Selanjutnya terdapat anggapan bahwa dalam suatu perkara perlawanan karena verstek, pelawan harus memulai dengan memberi alat-alat pembuktian, seolah-olah pelawan adalah penggugat. Anggapan atau pendapat serupa itu adalah keliru. Pelawan sebagaimana telah diterangkan di atas berkedudukan sebagai tergugat dan pada terlawanlah sebagai penggugat asal diletakkan beban untuk lebih dahulu memberi alat pembuktian.
Referensi
- Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008,
- SE Mahkamah Agung No 9 Tahun 1964 Mengenai Verstek