Putusan Provisioneel

by Estomihi FP Simatupang, SH.,MH

Posted on October 06, 2021 07:31

Putusan provisioneel atau disebut juga provisioneel beschikking, yakni keputusan yang bersifat sementara, diatur dalam Pasal 180 H.I.R dan Pasal 191 R.Bg. Putusan ini berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Dalam beberapa literatur ada perbedaan pendapat mengenai sifat dari putusan ini. Muhammad Nasir berpendapat bahwa sifat dari putusan ini adalah berhubungan dan mempengaruhi pokok perkara, sementara menurut Yahya Harahap putusan ini tidak mengenai pokok perkara, tetapi hanya terbatas mengenai tindakan sementara, misalnya melarang untuk meneruskan pembangunan di atas tanah terperkara dengan ancaman hukuman membayar uang paksa. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa gugatan provisioneel seharusnya bertujuan agar ada tindakan sementara dari hakim mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara, sehingga gugatan atau permohonan provisioneel mengenai pokok perkara harus ditolak.

Pada dasarnya gugatan atau permohonan provisioneel ini dapat diajukan dalam gugatan tersendiri dan diajukan berbarengan dengan gugatan pokok. Akan tetapi, biasanya diajukan bersama-sama dalam satu kesatuan dengan gugatan pokok, sebab tanpa gugatan pokok, gugatan provisioneel tidak mungkin diajukan, karena itu gugatan provisioneel merupakan accessoir dari gugatan pokok.

Dalam gugatan provisioneel ada beberapa syarat formil yang harus dipenuhi, diantaranya:

  1. Gugatan provisioneel harus memuat dasar alasan permintaan yang menjelaskan urgensi dan relevansinya;
  2. Gugatan provisioneel harus mengemukakan dengan jelas tindakan sementara apa yang harus diputuskan;
  3. Gugatan provisioneel tidak boleh menyangkut materi pokok perkara.

Sementara dalam proses pemeriksaan perkara, dengan adanya gugatan provisioneel ada beberapa tata tertib yang harus dipatuhi oleh hakim dalam menangani perkara, diantaranya adalah:

  1. Mendahulukan pemeriksaan gugatan provisioneel
    • Dengan adanya gugatan provisioneel, maka hakim dilarang untuk lebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara, tetapi harus lebih mendahulukan pemeriksaan terhadap gugatan provisioneel.
  2. Sistem pemeriksaan gugatan provisioneel mempergunakan prosedur singkat
    • Hal ini sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 283 Rv. yang menghendaki bahwa gugatan provisioneel harus segera diberikan putusan. Bahkan pada prinsipnya harus diperiksa dan diputus pada saat itu juga. Namun, Pasal 285 Rv. memberi kemungkinan untuk menunda atau memundurkan pemeriksaan dengan syarat apabila hal itu tidak menimbulkan kerugian yang besar atau kerugian yang tidak dapat diperbaiki.
  3. Harus menjatuhkan putusan provisioneelPada hakikatnya, secara tersirat Pasal 286 Rv. tidak memberi pilihan lain kepada hakim, selain daripada harus menjatuhkan putusan atas gugatan provisioneel tersebut, dan putusan yang dijatuhkan tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap pokok perkara. Adapun putusan yang dapat dijatuhkan hakim antara lain:
    • Menyatakan gugatan provisioneel tidak dapat diterima
      • Hal ini dapat dikarenakan gugatan provisioneel bukan merupakan tindakan sementara, tetapi sudah menyangkut materi pokok perkara. Sehingga dapat dikatakan bahwa gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil yang telah ditentukan oleh undang-undang.
    • Menolak gugatan provisioneel
      • Hal ini dapat terjadi apabila apa yang diminta dalam gugatan tidak ada kaitannya dengan pokok perkara atau tidak ada urgensinya sama sekali.
    • Mengabulkan gugatan provisioneel
      • Adapun   alasan   yang   cukup   untuk   dapat   mengabulkan   gugatan provisioneel   yakni   apabila   secara   obyektif   dan   realistis   gugatan  provisioneel berkaitan erat dengan pokok perkara dan apabila tidak diambil tindakan sementara akan menimbulkan kerugian yang besar.

Selain itu, sebelum menjatuhkan putusan provisioneel, hakim perlu mempertimbangkan akibat langsung yang melekat pada putusan tersebut. Dalam putusan provisioneel melekat langsung putusan serta merta atau uitvoerbaar bij voorraad yang dapat mengakibatkan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun perkara pokok belum diperiksa dan diputus. Sedangkan bagi Pengadilan Negeri, apabila hendak melaksanakan putusan provisioneel itu, maka Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan sekiranya harus memperhatikan beberapa S.E.M.A. yang secara kronologis telah dikeluarkan berturut-turut oleh Mahkamah Agung dalam beberapa kurun waktu, diantaranya adalah:

  1. S.E.M.A. No. 4 Tahun 1965 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Desember 1965, kemudian dicabut dengan S.E.M.A. No. 16 Tahun 1969. Dalam S.E.M.A. ditegaskan, bahwa diperlukan adanya persetujuan khusus dari Mahkamah Agung untuk dapat melaksanakan suatu putusan provisioneel.;
  2. S.E.M.A. No. 16 Tahun 1969 yang dikeluarkan pada tanggal 11 Oktober 1969, kemudian dicabut dengan S.E.M.A. No. 3 Tahun 2000.Selain mencabut S.E.M.A. No. 4 Tahun 1965, dalam S.E.M.A. Mahkamah Agung mendelegeer pemberian persetujuan atas pelaksanaan putusan provisioneel kepada Ketua Pengadilan Tinggi yang meliputi wilayah hukum Pengadilan Negeri dimana perkara perdata yang bersangkutan diputus.;
  3. S.E.M.A. No. 3 Tahun 2000 yang dikeluarkan pada tanggal 21 Juli 2000. Terkait dengan putusan provisioneel, S.E.M.A. ini menegaskan kembali atas S.E.M.A. No. 16 Tahun 1969, yaitu mengenai diperlukannya persetujuan dari Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan terhadap permohonan pelaksanaan putusan provisioneel yang diajukan oleh Penggugat. Selain itu dalam S.E.M.A. ini ditambahkan, bahwa Berdasarkan kewenangannya Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan atau meminta jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek executie, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama.;
  4. S.E.M.A. No. 4 Tahun 2001 yang dikeluarkan pada tanggal 20 Agustus 2001. S.E.M.A. ini hanya menegaskan kembali apa yang telah diinstruksikan dalam S.E.M.A. No. 3 Tahun 2000, khususnya mengenai adanya pemberian jaminan.

Dari berbagai S.E.M.A. di atas terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan provisioneel, diantaranya:

  1. Sebelum melaksanakan putusan provisioneel Ketua Pengadilan Negeri dimana perkara itu diperiksa harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tinggi terkait yang telah diberikan kewenangan oleh Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan dan memutuskan hal tersebut;
  2. Berdasarkan kewenangannya Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan atau meminta jaminan barang atau uang kepada penggugat.

Sementara terkait dengan upaya hukum terhadap putusan provisioneel, terdapat kontroversi antara ketentuan Pasal 289 Rv. dengan Pasal 9 Undang- Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Djawa dan Madura. Disatu sisi Pasal 289 Rv. memberi hak kepada para pihak, terutama kepada tergugat yang mengajukan banding terhadap putusan provisioneel secara tersendiri, namun dilain pihak Pasal 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Djawa dan Madura menegaskan bahwa putusan Pengadilan Negeri yang bukan putusan akhir, tidak dapat diajukan secara tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan putusan akhir. Apabila ditinjau dari segi kedudukan Rv. terhadap Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Djawa dan Madura, maka dari segi tata tertib perundang- undangan, Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Djawa dan Madura harus diunggulkan. Karena pada dasarnya Rv. tersebut telah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil.

Selain kontroversi di atas, sebenarnya masih ada lagi perdebatan mengenai putusan provisioneel ini, terutama terkait dengan permohonan sita jaminan (consevatoir beslag). Muhammad Nasir berpendapat bahwa perintah atas pengangkatan sita jaminan (consevatoir beslag) seharusnya dituangkan dalam bentuk putusan provisioneel, sehingga permohonannya dituangkan dalam gugatan provisioneel. Karena pada dasarnya sita jaminan (consevatoir beslag) merupakan tindakan sementara yang bersifat mendahului pemeriksaan dan putusan pokok perkara, yakni berupa tindakan sementara atas penyitaan harta terperkara guna menjamin pemenuhan putusan kelak, apabila putusan berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pendapat tersebut dianggap keliru oleh Yahya Harahap. Dalam buku karangannya, Yahya berpendapat bahwa dari segi sistem sebenarnya sita jaminan (consevatoir beslag) telah diatur secara khusus dalam hukum acara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 227 H.I.R. Lagi pula, pelaksanaan sita jaminan (consevatoir beslag) ini tidak dimasukkan dalam berbagai S.E.M.A. yang mengatur mengenai putusan provisioneel, sehingga pelaksanaannya tidak perlu meminta izin dari Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Oleh karena itu, tidak tepat apabila permohonannya sita jaminan (consevatoir beslag) dituangkan dalam gugatan provisioneel. Yang tepat, kedudukan dan formulasinya merupakan gugatan tambahan yang bersifat accessoir kepada gugatan pokok. Yahya menambahkan bahwa sebenarnya dalam praktik tidak begitu dipermasalahkan klasifikasi putusan preparatoir, interlocutoir, dan incidenteel. Semua jenis itu dimasukkan dalam satu kelompok yang disebut dengan putusan sela. Hanya putusan provisioneel yang agak berbeda penyebutannya, meskipun dimasukkan juga dalam kelompok putusan sela.


Sumber :

  • http://lib.ui.ac.id/
Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 1287

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image

Kirim Pertanyaan

Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay