Sejarah Hukum Agraria Kolonial
- Aliran Mr. Nederburg (bekas Komisaris Jenderal 1791 – 1799) yang mempertahankan stelsel bestuur lama yaitu bestuurs ambtenaar harus dipegang oleh para pedagang, dan stelsel monopoli harus dijalankan sekuat tenaga. Jadi, pada dasarnya memberikan tempat kepada para pedagang unutk memegang hak monopoli dan menentukan kemanfaatan dan penggunaan tanah.
- Aliran Dirk van Hogendorp (1799 – 1808 bertugas di Jawa Timur) mempunyai faham yang lebih maju. Bestuur harus dipisahkan dari usaha – usaha perdagangan yang bebas. Kerja rodi dan cultuur stelsel harus dihapuskan. Hendaknya dibentuk tata pemerintahan dan peradilan yang baik dan benar. Harus diadakan pengaturan untuk melindungi hak atas tanah perorangan bagi golongan bumi putra (individuel grondbezit).
Kemudian pada tahun 1808 – 1811, Mr. Herman Willem Daendels menduduki jabatan di Indonesia sebagai pengganti Wiese (Wali Negara terakhir pada zaman VOC). Herman Willem Daendels sangat menentang politik liberal yang di prakarsai oleh Van Hogendorp dan sebaliknya justru mendukung Nederburg yaitu Stelsel contingenten dan Verplichte tetap dilangsungkan, bahkan lebih ditingkatkan dengan sistem kerja rodi dan tanam paksa yang dibebankan kepada rakyat pribumi. Pendirian Daendels pada waktu itu adalah eigendom atas tanah tidak dikenal rakyat, yang sejak dahulu sudah biasa bekerja dibawa pemerintahan bupati – bupati dan kepala – kepala yang lain, dan rakyat lebih berbahagia, diperlakukan sebagai penanam, asal menerima upah yang layak.
Tonggak ketiga terjadi pada masa pemerintahan Governeur Generaal Thomas Stamford Raffles (1811 – 1816). Pada masa ini, Thomas Stamford Raffles telah menciptakan pemikiran religius yang berupa azas fiskal dan untuk pertama kalinya diterapkan sistem Landrente di Indonesia yang diterapkan besarnya jumlah pajak tanah :
- - Bagi tanah sawah : ½ , 2/5, atau 1/3 dari hasil panen;
- - Bagi tanah kering : ½ sampai dengan 1/9 dari hasil tanah.
Dasar pemungutan pajak (landrente) tersebut menurut Raffles berpendirian bahwa semua tanah – tanah di daerah taklukannya maupun daerahnya dikuasai atas dasar perundang – undangan, kesemuanya itu dinamakan tanah gubernemen. Sedangkan rakyat yang mendiami dan memanfaatkan tanah disebut dianggap sebagai penyewa (pachter) dengan seijin penguasa, yang berarti dia harus membayar pacht atau sewa, baik berupa hasil bumi maupun uang. Ternyata pengaruh sistem landrente ini sangat luas sekali terhadap perkembangan struktur pertanahan di negara kita yaitu timbulnya tanah – tanah partikelir atau tanah – tanah gubernemen yang sangat luas dijual kepada golongan swasta/partikelir. Pada zaman Raffles inilah yang dapat dianggap sebagai tonggak sejarah yang pertama dalam keagrariaan di Indonesia.
Tujuan Raffles dengan teori domein itu sederhana saja yakni ingin menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti apa yang diterapkan Inggris di India. Setelah Conventie London (1816), Indonesia kembali dikuasai oleh Belanda dan ditunjuk sebagai Komisaris Jenderalnya adalah Mr. C. Th. Elout yang berhaluan liberal.
Elout melanjutkan kebijakan pemerintahan Inggris dengan sistem landrente– nya. Elout pada waktu itu memberikan tanah – tanah kepada para pengusaha Belanda, tujuannya adalah memajukan perdagangan dan membawa kemakmuran bagi negara Belanda, membiayai pertahanan guna melindungi rakyat jajahan. Untuk memenuhi maksud tersebut ditempuh dua cara, yaitu :
- Stelsel Belasting Sebagai sumber penghasilan negara, maka rakyat dipungut pajak, sehingga rakyat menjadi dasar bagi keuangan pemerintah.
- Stelsel Kandel Raja itu pedagang, sedangkan rakyat itu harus mengabdi kepada kepentingan perdagangan (sebagaimana stelsel yang dilakukan pada zaman VOC).
Dari kedua cara tersebut, Stelsel Belasting– lah yang dipilih untuk digunakan, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya peraturan landrente (staatblad 1818 No. 14 yang dipengaruhi dengan staatblad 1819 No. 5)
Sumber : Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma | Volume 9 No. 2, Maret 2019