oleh Estomihi F.P Simatupang, SH
Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh berita tentang vaksin palsu, dan yang mengejutkan lagi adalah ternyata vaksin palsu ini telah berlangsung dalam kurun waktu 13 tahun sejak tahun 2003 sampai sekarang. Bagaimana sebenarnya kasus vaksin palsu ini jika ditinjau dari sudut pandang hukum kesehatan khususnya tentang malpraktek medis ?
Menurut Coughlin’s Dictionary Law, Malpraktek adalah sikap tindak professional yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hokum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, sedangkan menurut Menurut The Oxford Illustrated Dicionary, Malpraktek adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.
Dari pengertian diatas bahwa yang dimaksud dengan malpraktek adalah : tindakan dokter/ dokter gigi atau tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi, standar prosedur dan informed consent yang mengakibatkan kematian atau cacat dan/atau kerugian materi pada pasien baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi jika merujuk pada kesimpulan pengertian tentang malpraktek diatas maka kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktek yang dapat dilakukan oleh dokter, perawat atau Rumah Sakit.
Terhadap perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu terdapat dua hubungan hukum yaitu Perbuatan melawan hukum (hukum perdata) dan Perbuatan tindak pidana (hukum pidana).
Dalam hal hubungan hukum perdata dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien merupakan transaksi teraupetik (kontrak traupetik) yaitu hubungan hokum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak [1]. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien dapat kita lihat dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 50 sampai dengan Pasal 53. Dengan adanya hak dan kewajiban dalam kontrak Traupetik antara dokter dan pasien maka salah satu pihak yang dirugikan dapat melakukan tuntutan ganti rugi secara Perdata
Hubungan hukum pidana dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan. yaitu dengan memberikan vaksin palsu kepada bayi yang mengakibatkan bayi tidak memiliki system kekebalan tubuh yang dikemudian hari dapat mengakibatkan bayi mudah sakit. Perbuatan ini dapat diancam dengan pidana kurungan 1 (satu) tahun atau dengan 50jt sesuai dengan Pasal 79 huruf (c).
Salah satu kewajiban Rumah Sakit adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 15 ayat (3) yang menyatakan "Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu" dan Pasal 29 yang menyatakan "memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit". Sehingga dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi tidak boleh hanya menyalahkan dokter atau perawat saja, tetapi ini juga merupakan tanggung jawab rumah sakit. Rumah sakit tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya karena ini juga merupakan kelalaian dari pada Rumah Sakit. Salah satu sanksi terhadap pelanggaran dalam melaksanaan kewajiban Rumah Sakit (Pasal 17 dan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) adalah denda dan pecabutan izin Rumah Sakit. Terhadap pasien yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya kewajiban Rumah sakit berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit sebagaimana dalam UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 32 huruf (q)yang menyatakan "pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana";
Referensi
Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta ,2005, hlm 11