ITIKAD BAIK SEBAGAI KUNCI DALAM UPAYA RENEGOSIASI KONTRAK AKIBAT IMPLIKASI COVID19
Oleh : Estomihi FP Simatupang, SH[1]
Salah satu asas dalam perjanjian adalah asas itikad baik. Itikad baik merupakan fundamental (bersifat dasar/pokok) dalam sebuah perjanjian. Itikad menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah maksud atau kemauan. Itikad baik dapat diartikan sebagai suatu maksud/tujuan atau kemauan yang baik. Jadi itikad baik merupakan suatu keharusan atau jika tidak maka perjanjian tersebut akan menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan[2].
Mengenai itikad baik, dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat (3) dikatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik tidak dimaksudkan hanya kepada salah satu pihak saja melainkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian. Itikad baik tidak hanya dalam keadaan normal tetapi juga jika terjadi keadaan memaksa atau diluar kekuasaan yang mengakibatkan salah satu pihak atau para pihak tidak dapat melaksanakan perjanjian.
Demikian juga hal-nya dengan keadaan saat ini yaitu pandemi wabah corona yang ditetapkan pemerintah sebagai sebuah bencana nasional non alam, telah mengakibatkan sebagian orang atau pihak tidak dapat melakukan kewajibannya untuk melaksanakan kontrak dengan sempurna akibat implikasi covid19. Hal ini menjadi persoalan baru bagi kreditur maupun debitur yang terikat dalam sebuah kontrak/perjanjian. Disinilah salah satu fungsi itikad baik[3] yang disebutkan dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat (3) dalam melaksanakan perjanjian yaitu itikad baik ketika debitur karena keadaan memaksa atau diluar kekuasaannya tidak dapat melaksanakan atau memenuhi perjanjian.
Itikad baik yang dimaksud disini adalah bahwa tidak ada niat jahat dari debitur untuk tidak melaksanakan perjanjian. Tetapi oleh karena keadaan memaksa sehingga debitur tidak dapat melaksanakan perjanjian. Namun perlu digaris bawahi, bahwa tidak adanya niat jahat untuk tidak melaksanakan perjanjian secara otomatis menghindarkan debitur dari penggantian biaya, kerugian dan bunga. Hal ini oleh kreditur dapat dianggap sebagai wansprestasi.
Lalu bagaimana agar debitur tidak dikenakan penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian ?
Dalam KUHPerdata pasal 1244 dinyatakan bahwa
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Hal ini dapat diartikan bahwa tidak dilaksanakannya perjanjian karena keadaan memaksa atau diluar kekuasaan harus dibuktikan oleh debitur. Jika tidak maka debitur dapat dihukum mengganti kerugian dan bunga oleh kreditur. Dalam hal pembuktian sebagaimana dalam pasal 1244 KUHPerdata, jika debitur tidak dapat melaksanakan perjanjian dalam hal memberikan sesuatu seperti melakukan suatu pembayaran, maka debitur dapat membuktikannya dengan laporan keuangan (diaudit jika diperlukan) jika dalam hal ini debitur adalah badan usaha. Namun jika debitur adalah seorang karyawan atau pekerja atau wiraswasta, maka dapat membuktikannya dengan slip gaji, foto copy buku tabungan yang dimiliki dan atau surat keterangan pemotongan gaji dari karyawan dari perusahaan (jika ada). Jika perjanjian mengenai melakukan sesuatu seperti menyelesaikan suatu pekerjaan maka debitur harus membuktikannya kenapa debitur tidak dapat menyelesaikan suatu pekerjaan seperti adanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang menyebabkan terkendalanya dalam pengadaan material dan mobilisasi tenaga kerja atau terlambatnya pekerjaan karena adanya protokol kesehatan dll.
Dengan diajukannya bukti-bukti ini oleh debitur, maka kewajiban debitur sebagaimana pasal 1244 KUHPerdata telah terpenuhi, sehingga seorang kreditur dalam melaksanakan haknya harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan itikad baik (R. Subekti, 1989 :16). Lebih lanjut lagi Subekti mengatakan bahwa jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban dalam kontrak tersebut.
Selain pembuktian dari debitur, hal penting lain yang dapat menjadi pertimbangan kreditur adalah track record (history) debitur selama melaksanakan perjanjian. Hal ini akan menjadi pertimbangan kreditur dalam melakukan renegosiasi kontrak dengan debitur. Hal ini penting agar tidak terulang kejadian seperti beberapa waktu lalu. Sebagaimana kita ketahui kendaraan seorang debitur ditarik paksa oleh kreditur karena ketidakmampuan debitur dalam melaksanakan perjanjian (pembayaran cicilan kendaraan) akibat implikasi Covid19, padahal selama ini debitur tidak pernah wansprestasi dalam melaksanakan perjanjiannya. Sehingga pada akhirnya kreditur mengembalikan kendaraan yang ditarik paksa tersebut kepada debitur karena kreditur menilai bahwa debitur tersebut merupakan debitur dengan kredibilitas baik.
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
[2] http://berandahukum.com/a/itikad-baik-dalam-perjanjian
[3] Menurut penulis bahwa itikad baik juga harus difungsikan ketika debitur mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya perjanjian oleh debitur setidak-tidaknya melakukan pemberitahuan kepada kreditur terkait dengan keadaan si debitur.