Itikad Baik dalam Perjanjian

by Estomihi FP Simatupang, SH

Posted on May 22, 2020 07:50

Itikad Baik dalam Perjanjian

 

Salah satu asas dalam perjanjian adalah asas itikad baik. Itikad baik merupakan fundamental (bersifat dasar/pokok) dalam sebuah perjanjian. Itikad menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah maksud atau kemauan. Itikad baik dapat diartikan sebagai suatu maksud/tujuan atau kemauan yang baik. Jadi itikad baik merupakan suatu keharusan atau jika tidak maka perjanjian tersebut akan menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. 

Secara subjektif itikad baik diartikan sebagai suatu sikap bathin atau bentuk kejiwaan yang melekat pada seseorang. Sedangkan secara objektif itikad baik diartikan sebagai perbuatan atau tindakan seseorang.

Menurut penulis, bahwa itikad baik harus ada dalam setiap tahapan perjanjian, yaitu :

  1. Tahap pra perjanjian (itikad baik sebelum mengadakan perjanjian)
  2. Tahap menyusun perjanjian (itikad baik pada saat mengadakan perjanjian) 
  3. Tahap pelaksanaan perjanjian (itikad baik dalam pemenuhan perjanjian)
  4. Tahap Pasca Perjanjian (itikad baik setelah berakhirnya perjanjian)

 

ad.1 Itikad Baik Pra Perjanjian

Mengenai itikad baik, dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat (3) dikatakan bahwa "suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik". Perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian yang sah menurut pasal 1320 KUHPerdata. Yang mana salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah sepakat mereka yang mengadakan perjanjian. Sepakat bukan karena kehilafan, paksaan ataupun tipu muslihat sesuai dengan pasal 1321 KUHPerdata. Ini artinya bahwa itikad baik harus sudah ada sebelum (pra) perjanjian. 

Jika memperhatikan pasal 1321 KUH Perdata, ada beberapa unsur yang membuat suatu perjanjian tidak sah yaitu :

a. Kehilafan

Dalam pasal 1322 KUHPerdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian yang terjadi karena adanya suatu kekhilafan maka perjanjian tersebut menjadi batal apabila menyangkut objek yang diperjanjikan. Dan dapat dibatalkan (pembatalan dapat dilakukan melalui pengadilan atau kesepakatan bersama) jika kekhilafan tersebut menyangkut diri orang yang melakukan perjanjian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kehilafan adalah kekeliruan, kesalahan yang tak disengaja. Kehilafan dapat terjadi pada salah satu pihak atau bahkan pada kedua belah pihak. Kehilafan dapat menyangkut dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Kehilafan karena unsur subjektif yaitu kehilafan mengenai kecakapan salah satu pihak dan/atau kedua belah pihak dalam membuat suatu perikatan. Kehilafan yang terjadi karena unsur subjektif ini dapat dibatalkan melalui pengadilan atau melalui kesepakatan bersama. Sedangkan kehilafan karena unsur objektif adalah kehilafan mengenai objek yang diperjanjikan yaitu objek yang diperjanjikan ternyata sudah tidak ada, tidak mungkin berbuat atau tidak mungkin tidak berbuat atau oleh suatu sebab yang tidak halal yang bertentangan dengan undang-undang maupun norma agama ataupun kesusilaan untuk diperjanjikan. 

Kehilafan merupakan suatu bentuk kejiwaan yang dapat melekat pada seseorang secara subjektif. Kehilafan adalah kekeliruan, kesalahan yang tak disengaja. Dengan demikian bahwa terjadinya kehilafan dalam suatu perjanjian bukanlah merupakan suatu itikad jahat

b. Paksaan 

Paksaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hasil memaksa, tekanan atau desakan. Suatu perjanjian juga dapat terjadi karena adanya suatu paksaan. Paksaan tersebut dapat terjadi karena dua hal yaitu :

  1. Paksaan berupa ancaman fisik dan/atau psikis 
  2. Paksaan oleh karena keadaan (bukan fisik atau fisikis)

Melakukan pemaksaan dengan ancaman fisik dan/atau psikis adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki itikad yang baik. Perjanjian tersebut dibuat bukan karena adanya konsensus (kesepakatan) tetapi karena adanya paksaan dari salah satu pihak berupa ancaman fisik dan/atau psikis sehingga pihak lain terpaksa melakukan perjanjian itu sedangkan pihak yang dipaksa tersebut tidak menginginkan perjanjian itu terjadi. Terhadap perjanjian yang dilakukan dengan paksaan berupa ancaman fisik dan/atau psikis tersebut dapat dibatalkan (dimintakan pembatalan) melalui pengadilan. 

Paksaan oleh karena keadaan (bukan fisik atau fisikis) adalah paksaan oleh karena keadaan salah satu pihak (ebitur) terpaksa mengadakan perjanjian karena dipaksa oleh keadaan (pada umumnya karena keadaan ekonomi). Memang tidak ada aturan yang melarang seseorang yang sedang dalam ekonomi yang tidak baik dilarang untuk melakukan perjanjian. Namun demikian perjanjian tersebut juga harus mencerminkan asas-asas dalam hukum perjanjian seperti asas itikad baik, asas kepercayaan, asas persamaan hukum,asas keseimbangan, asas moral asas kepatutan. Terhadap perjanjian yang tidak mencerminkan asas-asas dalam hukum perjanjian yang dilakukan oleh debitur oleh karena keadaan terpaksa (keadaan ekonomi) maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (dimintakan pembatalan) melalui pengadilan.

c. Tipu muslihat. 

Selain karena kehilafan atau paksaan, suatu perjanjian juga dapat terjadi karena adanya tipu muslihat yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lain sehingga perjanjian tersebut dilakukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung;kecoh sedangkan arti kata muslihat adalah siasat, ilmu. Dengan demikian tipu muslihat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menggunakan siasat atau ilmu dengan cara melakukan perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung;kecoh dari pihak lain. 

Tipu muslihat hampir mirip dengan penipuan namun tidak sama. Menurut penulis, tipu muslihat adalah suatu rangkaian yang dilakukan salah satu pihak untuk membuat pihak lain agar mau melakukan perjanjian meskipun dari awal tidak pernah mau untuk melakukan perjanjian. Tetapi karena bujuk rayu salah satu pihak tersebut akhirnya pihak lain tersebut mau melakukan perjanjian. Perbedaan tipu muslihat dengan penipuan adalah terletak pada objek yang diperjanjikan, dalam perjanjian yang dilakukan dengan cara tipu muslihat bahwa objek yang diperjanjikan adalah benar-benar nyata namun perjanjian tersebut menguntungkan pihak yang membuat tipu muslihat sedangkan penipuan adalah bahwa objek yang diperjanjikan itu memang benar-benar tidak ada. Perjanjian itu memang dibuat untuk menipu salah satu pihak agar menyerahkan kewajibannya sedangkan haknya tidak akan pernah diserahkan karena memang tidak ada maka terhadap yang demikian termasuk pidana murni. Perjanjian yang dilakukan dengan cara tipu muslihat dapat dibatalkan (dimintakan pembatalan) melalui pengadilan

 

ad.2 Itikad Baik dalam membuat Perjanjian

Salah satu asas dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian bebas untuk menentukan isi atau klausul perjanjian serta bebas untuk menentukan bentuk perjanjian. Kebebasan dalam menentukan isi atau klausul ini seringkali disalahgunakan salah satu pihak yang memiliki keunggulan dari pihak lain seperti keunggulan secara ekonomi, keunggulan secara kejiwaan, keunggulan secara pengetahuan dan keunggulan secara kekuasaan dalam membuat/menyusun isi atau klausul perjanjian untuk membuat syarat atau ketentuan untuk kepentingannya sepihak atau mengandung tipu muslihat. Perilaku seperti ini dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini tentu bertentangan dengan pasal 1338 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dalam hal ini juga termasuk dalam membuat/ menyusun isi atau klausul perjanjian. Itikad baik dalam membuat perjanjian harus mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak. Terhadap perjanjian yang dibuat dengan menyalahgunakan keadaan pihak lain maka perjanjian ini dapat dituntut pembatalannya melalui pengadilan. baca juga "Ketidakseimbangan dalam Perjanjian dan Akibat Hukumnya". 

 

ad.3 Itikad Baik dalam pemenuhan Perjanjian

Hasil akhir dari sebuah perjanjian adalah prestasi. Menurut ketentuan pasal 1234 KUHPdt ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu. Pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan suatu kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, hibah. 

Wanprestasi adalah tidak terpenuhinya suatu kewajiban oleh salah satu pihak seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Wansprestasi dapat terjadi apabila :

  1. Salah satu pihak sama sekali tidak melakukan perjanjian;
  2. Salah satu pihak melakukan perjanjian tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
  3. Salah satu pihak melakukan perjanjian tetapi melampau waktu yang diperjanjikan
  4. Salah satu pihak melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan dalam perjanjikan. 

Dari pengertian prestasi dan wansprestasi diatas, bahwa sudah jelas bahwa kedua belah pihak dituntut untuk melakukan prestasinya masing-masing.

Itikad baik dalam pemenuhan perjanjian adalah melakukan perjanjian dengan itikad baik sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian. Tidak adanya itikad baik dalam pemenuhan perjanjian maka akan dimungkinan terjadinya gugatan ganti rugi kepada salah satu pihak. 

 

ad.4 Itikad Baik setelah berakhirnya Perjanjian

Setelah berakhirnya suatu perjanjian bukan berarti tidak adalagi ikatan antara debitur dan kreditur. Ikatan ini dapat dikatakan sebagai sebuah itikad baik bilamana  ternyata setelah berakhirnya perjanjian timbul hal-hal yang tidak sesuai atau melenceng dari yang diperjanjikan tersebut. Seperti contoh dalam perjanjian jual-beli bahwa perjanjian berakhir jika pihak debitur menyerahkan uang dan kreditur menyerahkan barang. Perjanjian tersebut secara otomatis berakhir karena kedua belah pihak telah melakukan kewajibannya dan juga telah menerima haknya. Ternyata setelah barang diterima oleh kreditur barang tersebut adalah barang palsu atau mengandung cacat tersebut atau ternyata uang yang diberikan oleh debitur adalah uang palsu. 


 

Referensi

  • Kitab Undang Hukum Perdata
  • Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, 2003
  • H.P Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai alasan (baru) untuk pembatalan perjanjian, 2010
  • Mariam Darus, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku Ketiga, 2015
  • https://kbbi.web.id/khilaf
  • https://www.berandahukum.com/2018/04/ketidakseimbangan-dalam-perjanjian-dan.html
  • Yusprudensi Mahkamah Agung No 3641 K/Pdt/2001

 

Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 6899

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image
Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay