Sejarah Hukum Pidana Indonesia
Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tentu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat Indonesia baik dalam masyarakat Indonesia yang belum mengenal bentuk negara, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan-kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda, dan masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan. Hukum Pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda ke Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemerintah Belanda dikenal dengan Hukum Adat. Hukum pidana modern Indonesia sendiri dapat dibagi menjadi hukum pidana pada masa penjajahan Belanda, hukum pidana pada masa penjajahan Jepang, dan hukum pidana pada masa kemerdekaan.
Hukum pidana pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dari dua masa, yaitu masa sebelum kekuasaan pemerintah Belanda dan masa pemerintahan Belanda. Masa sebelum pemerintah Belanda dimulai dari masa kedatangan Vereenigne Oost Indische Compagnie (VOC). Hukum pidana yang dibuat pada masa ini dapat dikatakan sebagai awal dari berkembangnya hukum pidana modern Indonesia, karena pada masa inilah mulai dikenal hukum pidana dalam bentuk tertulis yang berlaku di wilayah Indonesia (pada masa itu disebut dengan istilah Hindia Belanda).
Pada awal masa sebelum pemerintahan Belanda hukum pidana yang berlaku untuk orang Belanda di Indonesia adalah hukum mereka di Belanda (bagi mereka berlaku Hukum Belanda Kuno dan asas-asa Hukum Romawi yang disebut hukum Kapal). Namun hukum tersebut kemudian berkembang disesuaikan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh VOC di Indonesia. Hukum yang dibuat oleh VOC di Indonesia berdampingan pula dengan hukum yang dibuat oleh direksi-direksi mereka di negeri Belanda yang disebut Heeren Zeventien. Untuk melaksanakan peraturan-peraturan dari direksi di Belanda tersebut maka pengurus VOC di indonesia membuat peraturan organik yang diumumkan dalam plakat- plakat. Plakat-plakat yang kemudian disusun secara sistematis disebut Statuten van Batavia (Statuta Batavia) yang kemudian pada tahun 1650 mendapat pengesahan oleh direksi VOC di Belanda.
Pada awalnya Statuta Batavia ini hanya berlaku untuk daerah Betawi, namun kemudian diberlakukan di wilayah-wilayah pusat perdagangan VOC di Hindia Belanda. Walapun Statuta Batavia dimaksudkan untuk semua penduduk yang ada dalam kedaulatan VOC, namun pada kenyataannya dalam pelaksanaannya tidak dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan, karena hanya masyarakat Belanda dan Eropa saja yang tunduk pada ketentuan ini. Masyarakat Bumiputra dan masyarakat Timur Asing masih tetap tundak pada hukumnya masing-masing. Kondisi seperti ini telah mendorong VOC melakukan kodifikasi hukum adat bagi beberapa wilayah :
- Kodifikasi hukum Adat Tionghoa yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa disekitar Betawi;
- Kodifikasi Papakem Cirebon yang berlaku bagi penduduk Bumiputara di wilayah Cirebon dan sekitarnya;
- Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer, berlaku bagi penduduk Bumiputra di Semarang dan sekitarnya;
- Kodifikasi Hukum Bumiputra Bone dan Goa, berlaku bagi penduduk Bumiputra Bone dan Goa.
Selanjutnya pada tahun 1766 Statuta Batavia diperbaharui diberikan nama Nieuwe Bataviase Statuten (Statuta Betawi Baru) yang berlaku sampai dengan tahun 1866.
Memasuki masa Pemerintahan penjajahan Belanda (Setelah dibubarkan VOC pada tahun 1798 dan Pemerintah Belanda langsung berkuasa atas daerah jajahan mulai 1 Januari 1800), pemerintahan Belanda masih memberlakukan ketentuan lama. Demikian pula pada masa
penjajahan inggris yang mengambil alih pemerintahan Belanda di Hindia Belanda (1811-1814) ketentuan tersebut masih dipertahankan. Walaupun tidak ada perubahan dalam hukum pidana subtantif, perubahan terjadi pula dalam hal hukumannya. Pemerintahan Inggris mengubah aturan-aturan tentang penjatuhan pidana yang disesuikan dengan kepentingan pemerintahan Inggris, diantaranya dihapuskannya hukuman pijnbank. Demikian pula keberadaan hukum adat dibatasi, hukum adat hanya diberlakukan bila tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan. Namun demikian ada beberapa perubahan yang dilakukan, yaitu berkaitan dengan hukum acara dan susunan pengadilan.
Setelah berakhirnya pemerintahan Inggris di Hindia Belanda (berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1948), pemerintahan beralih lagi ke pemerintahan Belanda. Pada masa ini pemerintah Belanda tidak melakukan perubahan peraturan yang berlaku, Statuta Betawi Baru dan hukum Adat masih tetap berlaku. Namun demikian Pemerintah Hindia Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum yang dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, kodifikasi ini tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana, dalam hukum pidana kemudian diberlakukan Interimaire strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan ini menentukan bahwa hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap berlaku dengan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya.
Walaupun sudah ada Interimaire Strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana, terutama bagi golongan Eropa. Usaha ini membuahkan hasil dengan diundangkannya Koninklijk Besluit 10 Februari 1866. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Wetboek voor de Europeanen) dikonkordansikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di Belanda. Ketentuan ini kemudian diberlakukan pula untuk golongan penduduk lainnya berdasarkan Koninklijk Besluit 1872. Dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Wetboek voor de Europeanen) teresebut menyebabkan tidak berlakunya lagi hukum Adat dilingkungan hakim pemerintah. Untuk melengkapi kodifikasi di atas pemerintah Belanda menetapkan Politie Strafreglement untuk golongan Eropa dan Politie Strafreglement untuk golongan bukan Eropa. Kedua Politie Strafreglement ini mengatur tentang pelanggran, jadi merupakan pelengkap bagi kodifikasi terdahulu yang mengatur tentang kejahatan.
Sementara itu upaya kodifikasi di Belanda untuk menggantikan Code Penal telah berhasil dirampungkan dengan lahirnya Wetboek van Strafrecht tahun 1881 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886. Kodifikasi ini kemudian diberlakukan juga di Hindia Belanda. Dasar berlakunya adalah Koninklijk Besluit No. 33 (stb. 1915 No. 732) tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Ketentuan ini berlaku dengan disertai beberapa perubahan disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan tanah jajahan. Berlakunya ketentuan ini menjadikan hanya satu hukum yang berlaku di Hindia Belanda.
Masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 setelah mengalahkan Belanda ternyata tidak menyebabkan terjadinya perubahan yang besar dalam bidang hukum pidana. Wet Boek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie tetap berlaku berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Pemerintahan Bala Tentara Jepang yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1942. Namun demikian pemerintahan Bala tentara Jepang pada tahun 1944 mengeluarkan Gunsei Keizirei (semacam WvS) yang diterapkan pengadilan pada masa itu. Ketentuan ini lebih dikedepankan bila mana terjadi kualifikasi delik yang berbeda antara Wet Boek van Strafrecht dengan Gunsei Keizirei. Sementara itu untuk orang Jepang yang ada di Indonesia berl aku hukumnya sendiri.
Setelah Indonesia merdeka WvSNI tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUDRI 1945 untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. Hal ini juga dikuatkan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 pada tanggal 10 Oktober 1945. Namun demikian masuknya kembali Pemerintahan Belanda ke Indonesia dengan menguasai Jakarta, dan beberapa daerah di Jawa Madura, Sumatra dan beberapa daerah lain telah menyebabkan terjadinya perbedaan peraturan dalam hukum pidana untuk daerah kekuasaan Belanda, Pemerintah Belanda melakukan perubahan atas beberapa pasal dalam WvSNI.
Sementara itu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia meninggalkan Jakarta dan menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara. Pada tanggal 26 Februari 1946 Pemerintah RI mengeluarkan UU No.1 tahun 1946 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, sementara untuk daerah lain akan ditentukan berikutnya oleh presiden. Undang-undang ini selain mengatur bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang (1946) adalah peraturan- peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, juga menentukan :
Mencabut semua peraturan pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia dahulu
Menetapkan peraturan-peraturan pidana yang seluruhnya atau sebagian pada tanggal 26 Pebruari 1946 tidak dapat dijalankan, karena bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku
Merubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Membuat perubahan kata-kata disesuai dengan keadaan Indonesia sebagai negara merdeka
Menciptakan delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI dengan tujuan melindungi negara yang baru merdeka
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nerderlndsch Indie merupakan peraturan pidana yang berlaku, namun namanya diganti menjadi Wetboek van Straftrecht dengan terjemahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, disingkat dengan KUHP. Teks resmi KUHP Indonesia yang berbahasa Belanda ini kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1946 diberlakukan juga untuk daerah Sumatra.
Disisi yang lain Pemerintah Belanda yang datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan dan menguasai beberapa wilayah Indonesia (di luar Jawa dan Madura) kemudian mengeluarkan ordonantie tanggal 24 September 1948 (stb. 1948 No. 224) yang mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch indie menjadi Wetboek van Straftrecht voor Indonesie. Akibatnya ada dua kodifikasi hukum pidana berlaku di wilayah Indonesia yaitu Wetboek van Straftrecht (WvS) dan Wetboek van Straftrecht voor Indonesie (WvSI).
Kondisi ini tetap berlaku ketika konstitusi RIS berlaku, bahkan sampai dengan berlakunya UUDS, walaupun terjadi perbedaan wilayah karena berdasarkan UU No. 1 tahun 1950 Jo. UU No. 8 tahun 1950 WvS dibelakukan oleh pemerintah Indonesia di wilayah-wilayah yang kembali menjadi bagian Indonesia (wiayah yang masih berada dalam kekuasaan pemerintah Belanda adalah Indonesia Timur, Sumatra timur, Kalimanatan Barat, dan Jakarta Raya.
Dualisme hukum pidana Indonesia baru berakhir setelah Belanda kembali meninggalkan Indonesia. Untuk mengatasi persoalan ini dikeluarkan UU No. 73 tahun 1958 yang menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1946 berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa KUHP yang berlaku sekarang adalah WvSNI dengan perubahan- perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Perubahan- perubahan tersebut dapat berupa penghapusan tindak pidana, penambahan tindak pidana baru, penambahan jenis sanksi, maupun perubahan sanksi pidana, dan sebagainya
Sejarah Lengkap KUHP
1915
- Undang-Undang No KUHP Tahun 1915
1946
- Undang-Undang No 1 Tahun 1946
Memberlakukan Undang-Undang No KUHP Tahun 1915
varian : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
1958
- Undang-Undang No 73 Tahun 1958
Mengubah Undang-Undang No 1 Tahun 1946
varian : Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
1960
- Undang-Undang No 1 Tahun 1960
Mengubah Undang-Undang No 73 Tahun 1958
varian : Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
1976
- Undang-Undang No 4 Tahun 1976
Mengubah Undang-Undang No 1 Tahun 1960
1999
- Undang-Undang No 27 Tahun 1999
Mengubah Undang-Undang No 4 Tahun 1976
2012
- PERMA No 2 Tahun 2012
Menafsirkan Undang-Undang No KUHP Tahun 1915
Kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)
Referensi :
- Buku Ajar Hukum Pidana Universita Udayana 2016
- Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, https://putusan3.mahkamahagung.go.id/