Latar belakang
Dasar bagi semua hukum privat yang berlaku di kelompok Eropa, dan bekas jajahan Kelompok Eropa, adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Burgelijk Wetboek) tahun 1848. Perubahan-perubahan selanjutnya terhadap Kitab Undang-undang Hukum Belanda juga dimasukkan ke dalam hukum perdata Indonesia juga berdasarkan asas konkordansi.
Tidak jarang perubahan-perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Belanda tidak pernah sepenuhnya direalisasikan atau diterapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Indonesia. Dapat dikatakan bahwa selain dari berbagai peraturan khusus yang dimasukkan ke dalam hukum perdata Indonesia yang menyimpang dari hukum perdata Belanda, kedua hukum perdata itu tidak pernah sama persis.
Menurut Pasal 163 Indische Staatsregeling (“IS”), penduduk dibagi menjadi kelompok-kelompok dan undang-undang khusus diberlakukan untuk mengatur dan mengatur tindakan setiap kelompok. Pasal 163 IS merupakan amandemen Pasal 109 Regerings Reglement tahun 1920, dan kemudian dimasukkan ke dalam IS yang mewajibkan semua orang yang tinggal di Indonesia diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok; yaitu:
- Eropa
- Pribumi
- Orang Timur Asing yang selanjutnya dibedakan menjadi Cina dan non-Cina.
Setelah kemerdekaan, prinsip konkordansi ditinggalkan, dan merupakan konsekuensi langsung dari kemerdekaan Negara yang baru saja diperoleh. Kemerdekaan memunculkan keinginan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya bebas dari penjajah Belanda tetapi juga bebas dari pengaruh Belanda di semua lembaga negara yang baru saja merdeka. Dapat dikatakan secara adil bahwa sejak kemerdekaan perkembangan legislatif di Indonesia pada umumnya tidak mengikuti model Belanda. Namun demikian, masih banyak sisa-sisa hukum Belanda dalam hukum Indonesia dan gerakan untuk memodernisasi dan mengindonesiakan hukum telah berkembang sejak kemerdekaan meskipun penyimpangan antara kode Indonesia dan Belanda menjadi lebih jelas dari sebelumnya.
Ketentuan Peralihan Pasal I dan II Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa semua lembaga dan peraturan yang ada yang berlaku pada tanggal Kemerdekaan akan tetap berlaku sambil menunggu berlakunya undang-undang baru yang bertentangan dengan Konstitusi.
Salah satu kritik utama terhadap keberadaan hukum Belanda yang terus berlanjut dalam kode Indonesia adalah bahwa meskipun ada klaim bahwa undang-undang tersebut dirancang untuk menjaga perdamaian dan ketertiban, jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk melindungi kepentingan penjajah Belanda. Oleh karena itu, pemeliharaan unsur-unsur hukum Belanda dalam undang-undang Indonesia jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Revolusi Indonesia.
Namun demikian, segera disadari bahwa pencabutan seluruh hukum Indonesia yang dipengaruhi Belanda akan menimbulkan kekacauan karena undang-undang yang baru belum dibuat. Oleh karena itu, untuk menghindari kekosongan hukum yang akan ditimbulkan oleh pencabutan seragam, maka semua peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga yang berlaku pada tanggal kemerdekaan akan tetap berlaku sampai pada saat dicabut dan diganti.
Kesulitan dalam menentukan undang-undang mana yang tetap berlaku dan undang-undang mana yang telah dicabut adalah proses yang rumit dan agak tidak memuaskan. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 menyatakan bahwa semua hukum Belanda baik yang diubah maupun yang diganti dianggap tidak sah apabila tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Kerumitan dan kesulitan itu muncul karena mekanisme penetapan undang-undang yang sah secara konstitusional adalah melalui uji materi oleh pengadilan yang berwenang. Oleh karena itu, sampai suatu ketentuan ditentang melalui pengadilan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum Belanda tetap sah dan dapat dilaksanakan.
KUH Perdata Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memuat empat kitab yang mengatur segala urusan hukum perdata:
Buku Satu – Berjudul Perorangan, mengatur segala aspek mengenai penikmatan dan hilangnya hak-hak keperdataan, harta kekayaan dan perbedaannya, tempat tinggal atau domisili, perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama yang sah dan pengelolaannya, perjanjian pranikah, harta bersama atau perjanjian pranikah dalam hal perkawinan kedua atau selanjutnya, pembagian harta, bubarnya perkawinan, pemisahan tempat tidur dan papan, ayah dan keturunan anak-anak, hubungan darah dan perkawinan, otoritas orang tua, perubahan dan pencabutan tunjangan pembayaran, minoritas dan perwalian, emansipasi, dan konservatori.
Buku Kedua – Berjudul Barang-barang, mengatur segala hal tentang harta kekayaan dan perbedaannya, pemilikan dan hak-hak yang timbul dari padanya, pemilikan, hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik tanah yang bersebelahan, hak dan kewajiban suami-istri, penghambaan, hak membangun, hak penguasaan dengan cara sewa lama, sewa tanah, penggunaan hasil, penggunaan dan pendudukan, suksesi dengan kematian, wasiat terakhir, pelaksana wasiat dan pengelola terakhir, hak musyawarah dan hak istimewa deskripsi harta warisan, penerimaan dan penolakan warisan, pembagian harta warisan, warisan yang tidak diatur, prioritas hutang, gadai, hipotek.
Buku Tiga – Berjudul Kontrak , mengatur semua aspek tentang kontrak pada umumnya, perselisihan yang timbul dari kontrak atau perjanjian, perselisihan yang timbul karena kekuatan hukum, pembatalan kontrak, jual beli, pertukaran, pemberian dan perolehan sewa, perjanjian tentang kinerja layanan, persekutuan, badan hukum, hadiah, titipan, pinjam pakai, pinjaman untuk konsumsi, bunga tetap atau abadi, perjanjian jual beli, pemberian amanat, penjaminan, dan penyelesaian.
Buku Empat - Berjudul Pembuktian dan Tata Cara, mengatur tentang segala hal yang menyangkut pembuktian umum, pembuktian dengan saksi, kesimpulan, pengakuan, sumpah hukum, dan Acara.
Hukum Perdata Indonesia terus berkembang sejak kemerdekaan. Pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 yang menetapkan sejumlah Pasal KUHPerdata tertentu yang tidak berlaku lagi. Secara khusus, delapan Pasal dicatat:
- Pasal 108 dan 110 tentang kewenangan perempuan kawin untuk melakukan perbuatan hukum dan menghadap pengadilan tanpa bantuan suaminya.
- Pasal 284(2) tentang pengakuan (erkenning, pengakuan) oleh seorang ayah Eropa dari seorang anak yang lahir di luar nikah dari seorang Wanita Pribumi.
- Pasal 1683 yang mengharuskan semua pemberian dibuat dengan akta notaris.
- Pasal 1579 yang mengatur bahwa pemberi sewa tidak dapat mengakhiri sewa dengan alasan bahwa ia bermaksud untuk menggunakan sendiri barang yang disewa, kecuali jika perjanjian sewa secara eksplisit mengizinkannya untuk melakukannya.
- Pasal 1238 yang mengatur bahwa tuntutan tertulis untuk melakukan harus mendahului gugatan perdata atas wanprestasi.
- Pasal 1460 yang memberikan risiko kerugian kepada pembeli sejak saat kontrak penjualan dibuat meskipun penyerahan belum dilakukan.
- Pasal 1603X(1) dan (2) yang mengatur apa yang dianggap sebagai Tenaga Kerja Eropa dan apa yang merupakan tenaga kerja non-Eropa. Pasal ini membedakan dan membedakan antara buruh Eropa dan pribumi.
Referensi
- https://www.aseanlawassociation.org/