Hukum waris Barat, bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, berlaku ketentuan dalam KUHPerdata (BW). Hukum waris diatur bersama-sama dengan hukum benda, alasannya:
-
Hukum waris dianggap sebagai suatu hak kebendaan (Pasal 528 KUHPerdata)
-
Hukum waris merupakan salah satu cara yang ditentukan secara limitative oleh UU untuk memperoleh hak milik (Pasal 584 KUHPerdatta))
Unsur-unsur Hukum Kewarisan KUH Perdata
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
-
Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan berada.
-
Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
-
Harta Warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada
Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
Tidak Patut Menerima Warisan (Onwaardig)
Terdapatnya sebab-sebab menurut Undang-undang ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris.
-
Ahli waris menurut undang-undang yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, dalam Pasal 838 KUH Perdata, adalah:
-
Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
-
Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
-
Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
-
Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
-
Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan dalam Pasal 912 KUH Perdata, adalah :
-
Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris.
-
Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
-
Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya
Cara mendapat warisan
Undang-undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu warisan yaitu:
-
Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), dalam Pasal 832 KUH Perdata. Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.
-
Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat= testamen ), dalam Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen
Asas-asas Hukum Waris Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
-
Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
-
Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
-
Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
-
Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.
-
Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
-
Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya
Ahli Waris Pengganti
Ahli waris pengganti dalam hukum waris Perdata dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 s/d 857 dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866. Adanya pasal-pasal ini menunjukkan kepada kita bahwa KUH Perdata mengenal dan mengakui adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris. Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 KUH Perdata umpamanya : seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa batas (Pasal 842 ayat 1). Dalam segala hal, penggantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal beberapa orang anak pewaris, mewarisi bersama-sama satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya (Pasal 842 ayat 2).
Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama (Pasal 844).
Bila disamping ayah atau ibu yang masih hidup itu hanya ada seorang saudara, maka ayah atau ibu itu menerima ½ dan ½ lagi untuk saudara atau keturunannya Jadi dengan penggantian tempat (plaatvervulling), maka keturunan dari seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang digantinya, seandainya orang yang diganti masih hidup. Lalu undang-undang mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan memperoleh hak-hak (dan juga kewajiban) dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak meninggal sebelum pewaris meninggal dunia
Sumber :
* Bahan kuliah Hukum Perdata ( Pokok Bahasan Hukum Waris) Fakultas Hukum Universitas Udayana
* Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988)
* Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani: 1995)
* Wati Rahmi Ria & Muhammad Zulfikar Buku Waris Berdasarkan Hukum Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam
* Laporan Akhir Kompendium Hukum Waris BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011
* Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 2003