Teori Hukum Critical Legal Studies

by Estomihi FP Simatupang, SH

Posted on July 08, 2021 15:50

Teori Critical Legal Studies

Pada tahun 1977 di kota Madison, negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat diadakan “Conference on Critical Legal Studies”. Penyelenggara konferensi tersebut adalah para akademisi hukum yang terlibat dalam gerakan hak-hak sipil dan kampanye anti perang Vietnam. Mereka menganggap formalisme hukum tidak dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat Amerika dan juga Perang Vietnam. Jadi, konferensi ini mencari cara baru dalam menafsirkan hukum dan lahirlah Critical Legal Studies. 3 Tokoh dibalik Critical Legal Studies ini adalah Dunkan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton Horwitz, Jack Balkin dan Roberto M. Unger. Ideologi keilmuan para tokoh hukum ini beragam. Dunkan Kennedy adalah seorang Marxis, sementara Roberto M. Unger adalah seorang liberalradikal. Walau ideologi keilmuan mereka beragam, tapi mereka disatukan oleh anggapan, bahwa hukum tidak terpisahkan dari politik. Gagasan tersebut antara lain mendapat inspirasi dari realisme hukum yang pragmatis itu dan yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 1920-an dengan tokoh seperti Oliver Wendel Holmes dan Jerome Franks. Filsafat pragmatisme ini mendorong orang untuk lebih memperhatikan cara hakim mempraktekan hukum daripada asas-asas dan teori-teori hukum. Menurut mereka banyak faktor non-hukum―seperti pandangan hidup pribadi, situasi politik dan kepentingan sosial―yang mempengaruhi hakim saat memeriksa dan memutus kasus hukum.

Itu sebabnya Unger mengatakan, bahwa hukum tak terpisahkan dari politik dan berbagai norma non-hukum lainnya. Hukum dibentuk oleh berbagai faktor nonhukum seperti kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik. Pembentukan hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi antar berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari konteks sosial-politiknya, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik: diskriminasi ras, gender, agama, atau kelas. Dalam perkembangannya Critical Legal Studies makin menunjukkan identitasnya sebagai sebuah mazab yang menampung berbagai aliran hukum penentang formalisme hukum atau positivisme hukum. Dengan kata lain Critical Legal Studies adalah nama generik untuk menyebut realisme hukum, teori hukum marxis, teori hukum feminis, ataupun teori hukum postmodern.

Bukan hanya itu pada masing-masing negara Critical Legal Studies hadir dengan watak yang berbeda. Critical Legal Studies di Kanada lebih didominasi oleh filsafat hukum Marxis. Sementara di Amerika Serikat oleh postmodernisme.6 Critical Legal Studies―yang menganggap hukum tidak terpisah dari politik ―barang tentu juga menampung gerakan pluralisme hukum. Sebab gerakan pluralisme hukum memungkinkan berbagai norma dan aturan yang secara “tradisional” tidak dikategorikan sebagai “hukum negara” ambil bagian dalam penyelesaian kasus. Bahkan berbagai norma dan aturan non-hukum tersebut turut mengubah “norma hukum".

Menurut padangan Teori Critical Legal Studies, batas pemisah antara hukum dan politik sebenarnya tidak pernah ada. Hukum bekerja sebagai agenda politik atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan agenda politik. Roberto Uger menunjukkan bahwa betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasi hukum dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah., melainkan direkonstruksi secara sosial. Analisis bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan sesuatu tatanan sosial tertentu. Teori Critical Legal Studies mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral. Teori Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa dibalik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagaimana sesuatu yang netral, sebenarnya didalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bisas kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi.

Teori Critical Legal Studies menolak anggapan dari ahli hukum tradisional menyangkut :

  1. Hukum itu objektif, artinya kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum;
  2. Hukum itu netral, artinya hukukm menyediakan jawaban yang pasti dan dimengerti;
  3. Hukum itu netral, artinya tidak memihak kepada pihak tertentu;
  4. Hukum itu otonom, artinya tidak dipengaruhi oleh politik atau ilmu-ilmu lain;

Untuk mengkritisi hukum yang terbentuk selama ini, Teori Critical Legal Studies menggunakan tiga metode, yakni :

  • pertama, trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yanng bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
  • kedua, deconstrucion, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
  • ketiga,genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interprestasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interprestrasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu kontruksi hukum.

Referensi 

  • Donny Danardono, Critical Legal Studies: Posisi Teori dan Kritik,  Kisi Hukum, Vol 14, No 1 ,2015
  • Abdul Chair Ramadhan, Syiah Menurut Sumber Syiah Ancaman Nyata NKRI, Jakarta: Lisan Hal, 2018 
     

 

Total Views : 5352

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image

Kirim Pertanyaan

Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay