Teori Hukum Progresif (Satijpto Rahardjo)

by Admin

Posted on July 08, 2021 14:22

Teori Hukum Progresif

Satijpto Rahardjo

Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan” hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivisme dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut bisa dilihat setidaknya gejalanya Pada tahun 1970-an ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi.

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.

Dari sudut teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan mengarah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya konsep hukum progresif bersentuhan, dipengaruhi beberapa teori hukum yang telah mendahuluinya, antara lain:

  • konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri;
  • Legal Realism;
  • Freirerechtslehre;
  • Critical Legal Studies .

Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran hukum tersebut mengkritik doktrin hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak anti terhadap keberadaan sistem hukum positif. Menjalankan hukum secara progresif tidak semata-mata berpijak pada rule and logic namun juga rule and behavior. Hal ini mengingatkan pada penyataan Oliver Wendell Holmes: “…The live of the law has not been logic. It has been experience”. Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan logika peraturan namun juga harus mempertimbangkan hukum yang bersumber dari pengalaman empiris misalnya kearifan lokal. Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hukum progresif tidak memposisikan hukum sebagai intuisi yang netral. Hukum Progresif merupakan hukum yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang lemah, pro rakyat dan pro keadilan. Hukum yang diposisikan sebagai intuisi yang netral merupakan pengaruh dari paham liberalisme yang apabila diterapkan pada situasi yang timpang justru cenderung menguntungkan pihak yang kuat.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam mewujudkan tujuannya hukum bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Bahkan hukum progresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih baik. Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan “kacamata kuda” (masinal, atomizing, mekanistik, linier) dan merubahnya menjadi pada cara pandang yang utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekonstruksi fakta. Dengan demikian Dalam menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja hukum harus menjalankan profesi atau tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesubudi/doing to the utmost).

Landasan filosofis hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo, semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice), melainkan menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian dipahami semata-mata sebagai produk dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, maka bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Hukum harus terus dibedah dan digali melalui upayaupaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan. Hukum sebagai kaidah dan pedoman yang mengatur kehidupan dalam bermasyarakat agar tercipta ketentraman dan ketertiban bersama.

Gagasan Hukum Progresif menempati posisi hukum tersendiri. Berbagai kalangan dalam penanganan suatu kasus hukum, khususnya di dalam negeri yang menekankan preposisi teori Hukum Progresif. Terutama penekanan pada unsur kemanfaatan berupa ketentraman manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. 

Kualitas hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut ideologi “hukum yang prokeadilan dan hukum yang pro-rakyat”. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empat dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.

Asumsi yang mendasari progresivisme hukum adalah:

  1. Hukum adalah untuk manusia, dan tidak untuk dirinya sendiri;
  2. Hukum itu selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final;
  3. Hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak bernurani.

Asumsi yang mendasari progresivisme hukum tersebut menekankan bahwa Hukum Progresif adalah hukum yang membebaskan. “Hukum untuk manusia” artinya, apabila terjadi hambatan-hambatan terhadap pencapaiannya maka dilakukan pembebasan-pembebasan, baik dalam berilmu, berteori, dan berpraktik.

Perspektif Hukum Progresif tidak bersifat pragmatis dan kaku, yang menggarap hukum semata-mata menggunakan “rule and logic” atau rechtdogmatigheid, dengan alur berfikir linier, marginal, dan deterministik.

Bahwa paradigma Hukum Progresif akan senantiasa mencari keadilan dan kemanfaatan hukum dan harus berani keluar dari alur linier, marsinal, dan deterministic, serta lebih ke arah hukum yang senantiasa berproses (law as process, law in the making).

Taverne, terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi, “berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”. Kata-kata Taverne itu mencerminkan bahwa baiknya suatu putusan hakim tidak tergantung kepada baiknya peraturan yang dibuat. Ia ingin menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang baik dan sempurna sekali pun, jika penerapannya oleh orang yang berprilaku buruk, maka hasilnya akan buruk dan mengecewakan banyak pihak.

Dengan demikian, hukum progresif sejatinya hanya berada ditangan hakim (penegak hukum) yang progresif pula. Maka jika hakim dapat digolongkan kepada dua golongan, yaitu hakim yang hanya berpegang kepada teks formal saja dan hakim yang teks hanya dijadikan panduan, maka hakim golongan kedua dianggap sebagai hakim yang progresif.

Selanjutnya dalam proses memutus suatu perkara, hakim dapat dibagi kepada dua tipe, yaitu:

  • pertama, adalah hakim yang apabila memeriksa ia bertanya kepada putusan hatinya terlebih dahulu dan kemudian baru mencarikan pasal-pasal undang-undangnya untuk legitimasi,
  • kedua, hakim yang apabila memeriksa, bertanya kepada “perutnya” terlebih dahulu dan kemudian baru mencarikan pasal-pasal untuk memberi legitimasi.

Hakim tipe pertama telah berpikir secara sempurna karena menggunakan hati nuraninya atau kecerdasan spiritual. Logika yang dibangun tidak hanya menggunakan “logika peraturan” tetapi telah menggunakan “logika kepatutan sosial” (social reasonableness) dan “logika keadilan”. Tipe hakim seperti itulah yang merupakan hakim progresif.

Penegakan hukum dengan pendekatan hukum progresif di Indonesia membutuhkan hakim progresif, yaitu hakim yang mau bertindak dan berpikir luar biasa. Berpikir biasa berarti adalah berpikir, yang secara kaku, memegang aturan yang sudah disepakati. Berpikir yang hanya menggunakan IQ yang bersifat linier, mekanistis, rasional, logis dan ketat berdasarkan aturan. Sedangkan berpikir luar biasa adalah cara berpikir progresif yang berani membebaskan diri dari keterikatan dengan kalimat-kalimat yang tersusun dalam suatu aturan perundang-undangan. Aturan-aturan itu hanya sebagai panduan dan selanjutnya ia berpikir secara mendalam untuk mencari makna yang tersembunyi. Tidak hanya logika peraturan, logika kepatutan sosial dan logika keadilan telah menjadi dasar pertimbangan setiap memutuskan perkara dengan pendekatan hukum progresif


Referensi :

  • Farkhani, Filsafat Huku " Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme", Solo: Kafilah Pubishing; 2018

Total Views : 9830

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image

Kirim Pertanyaan

Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay