Teori Hukum Welfare State

by Estomihi FP Simatupang, SH.,MH

Posted on May 21, 2020 12:36

Teori Negara Kesejahteraan(Welfare State) adalah teori yang menegaskan bahwa negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat.

Teori Negara Kesejahteraan(Welfare State) tersebut sering kali dimaknai berbeda oleh setiap orang maupun Negara. Namun, teori tersebut secara garis besar setidaknya mengandung 4 (empat) makna, antara lain[1]:

(i) Sebagai kondisi sejahtera (well-being),kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya;

(ii) Sebagai pelayanan sosial,umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial(socialsecurity),pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal(personal social services);

(iii) Sebagai tunjangan sosial,kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerimakesejahteraanadalah masyarakat miskin, cacat, pengangguran yang kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, dan lain sebagainya;

(iv) Sebagai proses atau usaha terencana,sebuah prosesyang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.

Ide dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk mengelola semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian diterjemahkan dalam sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan kesejahteraan warga negaranya atau tidak. Masalah kemiskinan dan kesehatan masyarakat merupakan sebagian dari banyak masalah yang harus segera direspons oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan.

Menurut Barr (1998; dalam Simarmata, 2008:18)[2], pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara kesejahteraan haruslah berkorelasi dengan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi tugas utama yang harus diwujudkan dalam negara kesejahteraan. Menurutnya, ada dua hal yang terkait langsung dengan upaya pembangunan ekonomi: Pertama, perwujudan negara kesejahteraan bukanlah sesuatu yang terpisah dari upaya pembangunan ekonomi. Seperti yang telah dinyatakan, pembangunan ekonomi harus membuat masyarakat semakin sejahtera, bukan sebaliknya. Kedua, tujuan perwujudan negara kesejahteraan bukan hanya karena alasan kesamaan (equality), tetapi juga demi efisiensi dalam proses ekonomi. Idealnya, alasan kesamaan atau pemerataan tidak bertentangan dengan tujuan efisiensi dalam ekonomi. Dua hal ini menjadi bagian dari tujuan-tujuan kesejahteraan.

 

Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Dalam konsep negara kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi negara intervensionis abad ke-20. Fungsi Negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada di luar jangkauan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus, seperti social security, kesehatan, kesejahteraan-sosial, pendidikan dan pelatihan serta perumahan[3].

Menurut Esping-Anderson (Triwibowo & Bahagijo, 2006; 9), negara kesejahteraan pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negaranya. Secara umum suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya, yaitu: (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation systems; dan (4) rights to education and the expansion of modern mass educations systems. Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the granting of social rights) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dapat dilanggar (inviolable), serta diberikan berdasar basis kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas

Ciri Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Menurut Goodin (1999; dalam Simarmata, 2008: 19) negara kesejahteraan sering diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait erat dengan kebijakan sosial-ekonomi yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum. Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan kerja[4].

 

Model Kesejahteraan (Welfare State)

Secara umum, paling tidak terdapat tiga model utama tentang Negara Kesejahteraan (Simarmata,2008: 31-33). Ketiga model utama ini dapat dijabarkan secara sederhana, sebagai beriku[5]t:

1. Model Liberal atau Residual (Anglo-Saxon) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Dukungan sosial yang means-tested, atau terbatas, atau bersyarat, dan lebih berupa jaring pengaman; (2) Upaya negara yang lebih besar dipusatkan pada upaya menciptakan skema pembiayaan supaya warga negara dapat berpartisipasi (kembali) dalam arus besar ketenagakerjaan; dan (3) Secara sekaligus, pengembangan industri dan perdagangan dikembangkan terlebih dahulu (precursory) untuk menciptakan akses atas barang dan jasa, serta daya beli yang berkelanjutan. Contoh negara penganut model ini adalah: Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.

2. Model Konservatif (Korporatis, Continental Europe) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Negara mengusahakan skema kesejahteraan yang dikelola oleh negara; (2) Dalam produksi dan pengorganisasian, negara bukan satu-satunya pelaksana, melainkan juga kolaborasi warga negara/pekerja dengan sektor swasta, dan juga pajak negara yang dikaitkan dengan tunjangan tertentu; (3) Namun demikian, pajak dapat dikatakan tetap tinggi, yang ini terkait dengan pembiayaan secara meluas kebutuhankebutuhan warga negara, termasuk hal-hal yang tidak dapat dibiayai dengan kolaborasi warga negara/pekerja dan sektor swasta; dan (4) Arah dari skema kesejahteraan terutama membiayai kondisi-kondisi dimana warga negara sakit baik secara sosial (pengangguran, cacat, tua, dan sebagainya) maupun secara fisik (soal kesehatan), sehingga seringkali model ini disebut model proteksi sosial.Contoh negara penganut model ini adalah: Austria, Perancis, Jerman, dan Italia.

3. Model Sosial-Demokratis (Redistributif-Institusional) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Satu skema pajak dipakai untuk membiayai keseluruhan pembiayaan skema kesejahteraan; (2) Skema kesejahteraan ini mencakup layanan yang menyeluruh dengan standar setinggi-tingginya, dan akses yang semudah-mudahnya (universal coverage), warga negara dianggap mempunyai hak atas pengaturan skema kesejahteraan (prinsip equity); dan (3) Kebijakan negara diarahkan pada integrasi industri dan perdagangan dengan skema-skema kesejahteraan itu. Contoh negara penganut model ini adalah negara-negara: Skandinavia, seperti: Swedia dan Norwegia

 


[1] Prabu Bathara Kresno. Implementasi Teori Negara Kesejahteraan di Indonesia. https://www.indonesiana.id/read/127150/implementasi-teori-negara-kesejahteraan-di-indonesia

[2] Simarmata, Henry T. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijkan dan Perbandingan Pengalaman. Jakarta: 2008, PSIK Universitas Paramadina

[3] Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 3 No. 2 (2015) hal. 253

[4] Sukmana, Oman. Jurnal Sospol, Vol 2 No.1 (Juli-Desember 2016), h. 110

[5] Sukmana, Oman. Op. cit h. 112-113

Total Views : 4062

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image

Kirim Pertanyaan

Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay