disusun oleh : Estomihi Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum MPU Tantular
BAB I
Minimnya pengetahuan masyarakat akan akibat hokum terhadap pengangkatan anak membuat masyarakat berpikir bahwa tidak ada tindak pidana dalam pengangkatan anak. Tidak tahunya masyarakat akan tindak pidana apa saja yang dapat terjadi dalam pengangkatan anak, menjadi salah satu factor yang membuat masyarakat dalam melakukan pengangkatan anak tidak mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku.
- · Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib okum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib okum dan terjaminnya kepentingan okum.
- · Menurt Van Hamel, Pengertian Tindak Pidana ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain
- · Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar okum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang okum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum
- · Menurut E.Utrecht, Pengertian Tindak Pidana dengan isilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu)
- · Kanter dan Sianturi, Pengertian Tindak Pidana didefinisikan suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang/ diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang okum pidana, bersifat melawan okum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).
- Perbuatan (manusia)
- Memenuhi rumusan dalam Undang-Undang (formil)
- Bersifat melawan okum (syarat materiil).
Simons[4], merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar okum yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum”.
Simons sebagai penganut pandangan monistis mengemukakan unsur-unsur stafbaar feit adalah sebagai berikut[5]:
- Perbuatan manusia (positif atau okumus, berbuat atau tidak berbuat)
- Diancam dengan pidana
- Melawan okum
- Dilakukan dengan kesalahan
- Oleh orang yang bertanggungjawab.
- Menurut Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anakdan Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, bahwa : pengertian Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan okum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawabatas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluargaorang tua angkat.
- Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, danmembesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.
- Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnyaberdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
- Menurut Shanty[6] Dellyana : Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut okum yang berlaku dimasyarakat yang bersangkutan
- Menurut Soedharyo Soimin[7] : Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain kedalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hokum.
- Menurut Muderis Zaini[8] : Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipunggut itu timbul suatu okum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
- Menurut Djaja S. Meliala[9] :Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan okum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah.
- Menurut Soepomo[10] : Pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain. Atau anak ini timbul hubungan okum antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti hubungan orang tua dengan anak kandung .
- Menurut Amir Martosed[11] : Pengangkatan anak adalah anak yang diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan orang yang mengangkatnya.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak.
- Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak.
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
- Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
- Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia
- Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat;
- Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.
- Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapanpengadilan.
- Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan
- Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudmencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatananak melalui lembaga pengasuhan anak.
- Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui penetapan pengadilan.
- Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat;
- Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
- Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, meliputi:
- pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing; dan
- pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia.
- Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing anak sebagaimana diatas dilakukan melalui putusanpengadilan.
- Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, meliputi:
- Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
- Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
- Berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan
- Memerlukan perlindungan khusus
- Sehat jasmani dan rohani;
- Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling linggi 55 (lima puluh lima) tahun;
- Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
- Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
- Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
- Tidak merupakan pasangan sejenis;
- Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
- Dalam keadaan mampu ekonomi dan okum;
- Memperoleh persetujuan anak dan ijin tertulis orang tua atau wali anak;
- Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
- Adanya laporan okum atau pekerja okum setempat;
- Tidak mengasuh calon anak selama 6 (enam) bulan sejak ijin pengasuhan diberikan;
- Memperoleh ijin Menteri dan/atau Kepala Instansi Sosial.
- Memperoleh ijin tertulis dari Pemerintah Warga Negara asal Pemohon melalui kedutaan atau Perwakilan Negara Pemohon melalui Kedutaan atau Perwakilan Negara Pemohon yang ada di Indonesia;
- Memperoleh Ijin dari Menteri;
- Melalui lembaga pengasuhan anak;
- Orang tua asing tersebut telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
- Mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara Pemohon;
- Membuat pernyataan tertulis bahwa akan melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat;
- Memenuhi syarat-syarat seperti yang termuat dalam Persyaratan Pengangkatan okumusr Warga Negara Indonesia.
- Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia; dan
- Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara Asal Anak.
- Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;
- Mengajukan pengajuan Permohonan Penetapaan Pengangkatan Anak ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan Negeri (bagi yang beragama Non-Islam);
- Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan mengeluarkan Penetapan;
- Kemudian Pengadilan akan meneruskan Salinan Penetapan tersebut kepada Instansi terkait seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian.
- Tata Cara Pengangkatan Anak antara WNI dengan Warga Negara Asing
- Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;
- Mengajukan pengajuan Permohonan Putusan Pengangkatan Anak ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan Negeri (bagi yang beragama Non Islam);
- Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan mengeluarkan Putusan;
- Kemudian Pengadilan akan meneruskan Salinan Putusan tersebut kepada Instansi terkait seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian.
3. Tindak Pidana Dalam Pengangkatan Anak
- Pasal 79 merupakan tindak pidana perbuatan melawan hokum dalam bentuk pelanggaran administrasi yaitu Tindak Pidana bagi mereka yang melakukan pengangkatan anak yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.
- Pasal 80, 81,82,84,85,86,87,90 merupakan Tindak Pidana kejahatan dalam bentuk tidak melakukan tanggung jawab dan melakukan kekerasan fisik, jiwa maupun secara psikologis kepada anak yang diangkat antara lain : kekerasan, pelecehan seksual.
- Pasal 83,88, 89 merupakan tindak pidana dalam bentuk kejahatan yaitu pemanfaatan anak dengan cara ekploitasi ekonomi maupun seksual dan perdagangan anak dengan dalih pengangkatan anak.
b. Tindak Pidana dalam KUHP
“setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum”.
“Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Yang mana pada ayat 1 berbunyi : “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Melihat pasal tersebut diatas maka pengertian kekerasan lebih mendekati dengan pengertian penganiayaan yang terdapat dalam KUHP Bab XX Tentang Penganiayaan, yang mana unsur-unsur dalam KUHP tersebut sama dengan unsur-unsur yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak maka ketentuan yang terdapat KUHP Bab XX Tentang Penganiayaan tidak berlaku karena asas lex spesialis derogate lex generalis. Namun hal ini tidak berlaku dengan ketentuan yang terdapat pada Bab XIX tentang Kejahatan Terdapap Nyawa (Pasal 338 s/d 350) karena pengertian dan unsur-unsur kejahatatan terhadap nyawa dengan cara melakukan pembunuhan tidak sama dengan unsur-unsur kejahatan terhadap anak dengan cara kekerasan yang mengakibatkan kematian.
- izin tertulis dari orang tua atau wali;
- perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
- waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
- dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- adanya hubungan kerja yang jelas;
- menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
- diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
- pekerjaan dilakukan di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
- waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari, dan;
- kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, okum, dan waktu sekolah.
“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Tindak Pidana Eklpoitasi anak secara ekonomi dengan cara mempekerjakan anak haruslah sesuai dan tidak bertentangan antara UU Perlindungan Anak yang dipakai untuk memidana pelaku kejahatan dengan UU Ketenagakerjaandengan yang mengatur lingkup dan batas pekerjaan anak. Selain hubungan tersebut diatas UU No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dapat juga dihubungkan (juncto) dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 190 dalam hal penambahan sanksi administrasi bagi perusahaan (badan hokum/badan usaha) dengan mencabut izin perusahaan.
- Adanya tindakan atau perbuatan yang dilakukan yaitu: perekrutan , pemindahan , pengiriman, penampungan atau penerimaan seseorang dalam perdagangan manusia
- Cara, ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
- Tujuan yaitu untuk eksploitasi. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hokum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial
“tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”.
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (okumus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
- Tindak Pidana dalam KUHP
- Tindak Pidana Tenaga Kerja
- Tindak Pidana Perdagangan Orang
Daftar Pustaka
[1] Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, hal 60
[2] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 72
[3] Ibid hal. 75
[4] Ibid hal. 75
[5] Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal. 39
[6] Shanty Dellyana, 1988:28
[7] Soedharyo Soimin. 1992, 35
[8] Muderis Zaini, 1995: 5
[9] Djaja S. Meliala, 1982: 3
[10] Soepomo, 1985: 76
[11] Amir Martosedono, !990:15
[12] Baker 1987:23
[13] Wahbah Zuhali, 1989: 217
[14] http://simomot.com/2015/06/13/kisah-lengkap-angeline-dari-lahir-hingga-diadopsi/