Sumber dasar penerapan Hukum Acara Perdata dalam praktik peradilan serta keterkaitannya dengan hukum positif lainnya adalah sebagai berikut:
1. HIR (Het Herziene Indonesich Reglement Atau Reglemen Indonesia Baru, Stb. 1848-16, Ingevolge Stb. 1848-57 I.W.G. 1 Mei 1848, Opnieuw Bekend Gemaakt Bij Stb. 1926-559 En Stb. 1941-44)
Pada ketentuan HIR yang mengatur Hukum Acara Perdata diatur dalam Bab IX tentang Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata Yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri‖ yang terdiri dari:
- Bagian Pertama tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan mulai Pasal 115 sampai dengan Pasal 161.
- Bagian Kedua tentang bukti mulai Pasal 162 sampai dengan Pasal 177.
- Bagian Ketiga tentang musyawarah dan putusan mulai Pasal 178 sampai dengan Pasal 187.
- Bagian Keempat tentang banding mulai Pasal 188 dengan Pasal 194.
- Bagian Kelima tentang menjalankan putusan mulai Pasal 195 sampai dengan Pasal 224.
- Bagian Keenam tentang beberapa hal yang menjadi perkara-perkara yang istimewa mulai Pasal 225 sampai dengan Pasal 236.
- Bagian Ketujuh tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara mulai Pasal 237 sampai dengan Pasal 245.
Disamping Bab IX (Pasal 115 s/d 245 HIR) maka pada Bab XV (Pasal 372 s/d 395 HIR) merupakan Peraturan Rupa-rupa‖ yang meliputi Acara Pidana dan Acara Perdata. Untuk itu Hukum Acara Perdata diatur dalam Pasal 372, 373, 374, 379, 380, 381, 388, 390, 391, 392 dan 393 HIR.
Pada dasarnya dalam praktik peradilan ketentuan HIR diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 19 Tahun 1964. 62)
2. RBG (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor: 227)
Ditetapkan berdasarkan ordonansi 11 Mei 1927 dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927 khususnya Bab II Pasal 104 sampai dengan Pasal 323 RBg dan diterapkan untuk luar jawa dan madura sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1099 K/SIP/1972 tanggal 30 Januari 1975 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 3 Tahun 1965.
Hanya Titel IV dan V yang berlaku dan terdiri dari Titel IV, yakni:
Bagian I tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan mulai Pasal 142 sampai dengan Pasal 188.
Bagian II tentang musyawarah dan putusan mulai Pasal 189 sampai dengan Pasal 198. Bagian III tentang banding mulai Pasal 199 sampai dengan Pasal 205.
Bagian IV tentang menjalankan putusan mulai Pasal 106 sampai dengan 258.
Bagian V tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa mulai Pasal 259 sampai dengan Pasal 272.
Bab VI tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 281.
Titel V tentang bukti mulai pasal 282 sampai Pasal 314 R.Bg.
3. RV. (Rgelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering Voorderaden Van Justitie Opa Java En Het Hoogerechtshof Van Indonesie, Alsmede Voor De Risidentiegerechten Op Java En Madura) yang lazim disebut reglemen Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa (Stb. 1847 Nomor: 52 jo Stb. 1849 Nomor: 63)
Rv. merupakan reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum acara perdata berlaku khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentiegerecht.
4. BW (Burgerlijk Wetboek)
Burgerlijk Werboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Mate-iil, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV 5tentang pembuktian dan daluwarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993). Selain itu, juga terdapat dalam beberapa Pasal Buku I, misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 sampai dengan Pasal 25), serta beberapa Pasal Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533, Pasal 535, Pasal 1244, dan Pasal 1365).
5. WVK (Wetboek Van Koophandel )
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun didalamnya ada beberapa Pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (misalnya Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 32, Pasal 255, Pasal 258, Pasal 272, Pasal 273, Pasal 274, dan Pasal 275).
6. Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-Pasal ordonansi ini diambil oper dalam menyusun Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Juli 1947. dengan adanya undang-undang ini, maka peraturan mengenai banding dalam Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 tidak berlaku lagi.
8. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang Tindakan- tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Undang-undang ini mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 14 Januari 1951.
Pasal 1 Undang-undang Darurat menyatakan, bahwa beberapa pengadilan peninggalan Hindia Belanda seperti Magistraad, Pengadilan Kabupaten, Raad District, Pengadilan Negorij, Pengadilan Swapraja, dan Pengadilan Adat dihapuskan. Selanjutnya, dalam Pasal 3 ayat (3)a dinyatakan, bahwa perkara-perkara perdata dan/atau perkara-perkara pidana sipil yang diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu.
9. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 29 Oktober 2009. Undang-undang ini memuat beberapa Pasal mengenai hukum acara pada umumnya dan mengenai Hukum Acara Perdata khususnya.
10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan putusnya perkawinan (perceraian) (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 25, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 55, Pasal 60, Pasal 63, Pasal 65, dan Pasal 66). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur secara lebih terperinci Pasal- Pasal yang memuat Hukum Acara Perdata tersebut.
11. UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jis. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985; yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang mulai berlaku pada tanggal diundangkan 15 Januari 2004 terakhir, diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 ini diatur mengenai kedudukan, susunan, kekuasaan, dan hukum acara bagi Mahkamah Agung (Pasal 40 sampai dengan Pasal 78).
Hukum acara bagi Mahkamah Agung yang termuat dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 terdiri dari 5 (lima) bagian. Bagian pertama (Pasal 40 sampai dengan Pasal 42) tentang ketentuan umum. Bagian kedua (Pasal 43 sampai dengan Pasal 55) tentang pemeriksaan kasasi. Bagian ketiga (Pasal 56 sampai dengan Pasal 65) tentang pemeriksaan sengketa perihal kewenangan mengadili. Bagian keempat (Pasal 66 sampai dengan Pasal 77) tentang pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian bagian kelima (Pasal 78) tentang pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal.63)
12. UU No 2 Tahun 1986 Jo UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umum, yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Dalam undang-undang ini diatur mengenai kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Peraturan Hukum Acara Perdata antara lain termuat dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 61.
13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang Advokat, yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 5 April 2003. Dalam undang-undang ini, antara lain diatur tentang pengangkatan sumpah, status, penindakan, dan pemberhentian advokat. Selain itu, juga diatur tentang hak dan kewajiban advokat, bantuan hukum cuma-cuma, kode etik, organisasi, dan Dewan Kehormatan Advokat.
14. UU No 5 Tahun 1986 Jo UU No 9 Th 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 ttg Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga telah mengatur tentang Hukum Acara yang terdapat di dalam Bab IV bagian pertama yang dimulai dengan gugatan Pasal 53 ayat (1) yang berbunyi sbb:
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
Selanjutnya di dalam Undang undang nomor 9 Tahun 2004 Sebagaimana telaah diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN telah mengatur pula mengenai salinan putusan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 116 yang diubah, sehingga berbunyi sbb:
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan biaya perkara di dalam UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN juga telah mengatur sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 144A sbb:
(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan tata usaha negara dapat menarik biaya perkara.
(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.
(3) Biaya perkara sebagaimana pada ayat (1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. UU No. 7 Tahun 1989 Jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. (Pasal 54)
16. UU No: 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan sebagaimana diubah dengan UU No. 37 Tahun 2004 ( berkaitan dengan proses perkara di Pengadilan Niaga)
Berkaitan dengan proses perkara di Pengadilan Niaga, Pasal 284 (1) UUK Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam Pasal 299 menentukan bahwa hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niagara, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang. Atas dasar Pasal ini, Pengadilan Niaga tetap menerapkan ketentuan-ketentuan HIR/RBg yang berlaku pada Peradilan Umum, sepanjang UUK tidak mengatur secara khusus. Demikian juga dalam proses memeriksa dan memutuskan perkara-perkara HaKI, Pengadilan Niaga pun tetap berpedoman pada HIR/RBg, sepanjang Undang-Undang HaKI tidak menentukan lain. Ketentuan-ketentuan lain dalam Undang-Undang HaKI merupakan suatu ketentuan khusus yang menyampingkan ketentuan umum (lex specialis derogot lex generali).
Hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan umum berlaku juga pada Pengadilan Niaga, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Dengan demikian berarti bahwa HIR dan RBg tetap berlaku pada pengadilan Niaga. Akan tetapi apabila UUK mengatur secara khusus yang menyimpangi ketentuan-ketentuan HIR atau RBg, maka berlakulah asas lex specialis derogate lex generali. Ketentuan-ketentuan khusus tersebut antara lain berupa tata cara pemeriksaan, upaya hukum dan kuasa pihak berperkara.
Pengadilan niaga lahir sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPU) Nomor: 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 1998 kemudian jadi Undang-Undang Nomor: 37 Tahun 2004. Undang-Undang inilah yang dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan (UUK) baru sebagai pengganti Undang-Undang Kepailitan lama yang diatur dalam Failissements Verordening Staatsblad Tahun 1905 Nomor: 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor: 348.
Pengadilan Niaga adalah Pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pengadilan Niaga bukanlah lembaga peradilan khusus yang berdiri terpisah dari peradilan umum, melainkan hanyalah suatu langkah deferensiasi atas peradilan umum, yang pembentukannya dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman kemudian diubah dengan Undang- Undang Nomor: 4 Tahun 2004. Pengadilan Niaga juga berwenang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara di bidang perniagaan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang (Pasal 300) ayat 1 dahulu Pasal 280 ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan pemerintah. Perkara perniagaan yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah perkara di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 2000, tentang Desain Industri, Nomor: 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Nomor: 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Nomor: 15 Tahun 2001 tentang merek, Undang-Undang Nomor: 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, sedangkan Undang-Undang Nomor: 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman Baru dan Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang kewenangan Pengadilan Negeri.
17. Berkaitan dengan Gugatan Class Actions
Acara gugatan perwakilan di Indonesia belum diatur dalam Hukum Acara Perdata, tetapi pengakuan secara hukum bagi gugatan class-action diatur dalam UU Perlindungan konsumen, UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan, serta UU Jasa Konstruksi
Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampur adukkan pengertian gugatan class-actions dengan konsep hak gugat (standing). Sebenarnya gugatan kelompok/class action dan hak gugat/standing memiliki perbedaan konseptual. Pengertian standing atau hak gugat secara luas adalah akses perorangan ataupun kelompok/organisasi yang bertindak untuk dan mewakili kepentingan publik maupun kepentingan lingkungan hidup ke Pengadilan sebagai penggugat. Hak gugat Organisasi Lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing (standing law) yang berkembang di berbagai negara yang dilatar belakangi teori yang dikemukakan oleh Christoper Stone. Teori Stone ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyek-obyek alam (natural objects). Menurut Stone hutan laut atau sungai sebagai obyek alam, layak memiliki hak hukum, hanya karena sifatnya yang inanimatif, maka perlu diwakili. Teori ini sebenarnya sejalan dengan doktrin perwalian yang kita kenal, yang juga mengakui hak hukum obyek inanimatif, baik pada perorangan, negara maupun anak dibawah umur. Dalam membela kepentingan hukumnya mereka diwakili oleh wali atau kuasa hukumnya. Gugatan Perwalian/class action ini telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 2002. Sementara class Actions juga telah diatur dalam Undang-undang sbb:
a. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 91 menyatakan :
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan/atau untuk kepetingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
b. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Pasal 71 UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan sbb:
Ayat 1: Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Ayat 2: Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi dalam Pasal 38 (1) menyatakan ― Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara :
- a)Orang perseorangan
- b) Kelompok orang dengan pemberian kuasa
- c) Kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan‖ pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
d Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 46 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 mengatur gugatan secara kelompok, bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
- 1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
- 2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
- 3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
- 4) Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
e. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik Dalam Pasal 38 (2) mengatur:
Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
f. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Dalam Pasal 90 mengatur:
Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan.
g. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Dalam Pasal 274 (2e) menyebutkan :
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa:
e. Melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan pelayaran yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum
h. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara Dalam Pasal 145 (1ab)menyebutkan :
Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
a. Memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
b. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan i. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Dalam Pasal 396 (2h) menyatakan :
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa:
h. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum:
Sedangkan dalam Pasal 397 menyatakan:
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 396 (1) dapat dilakukabn secara perseorangan kelompok, organisasi profesi, badan usaha atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
j. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Dalam Pasal 21 (1b) mengatur:
- 1. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan
- 2. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
k. Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis Dalam Pasal 14 menyatakan:
Setiap orang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya.
Penjelasan pasal 14:
Yang dimaksud dengan ―mengajukan gugatan secara bersama-sama‖ adalah gugatan perwakilan (class action) dalam pasal ini adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar persamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena kegiatan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis.
l. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Terpencil
Dalam Pasal 68 menyatakan:
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kepengadilan sesuai dengan peraturan perundang undangan
18 Berkaitan dengan proses Pemeriksaan di KPPU
Hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatakan :
(1) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(2) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 45
(1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.
(2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.
Pasal 46
(1) Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri
19 Berkaitan dengan proses Pelaksanaan Putusan Arbitrase sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mengenai ketentuan beracara dalam UU ini di atur dalam Pasal 59 s/d Pasal 72 Bab VI Pasal 59 s/d Pasal 64 mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase sbb:
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Pasal 60
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Pasal 61
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Pasal 62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan atbitrase.
Pasal 63
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
Pasal 64
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankaan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya dalam Bagian kedua mengatur mengenai Arbitarase Internasional yang terdapat dalam Pasal65 s/ Pasal 69.
Pasal 65
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat.
Pasal 66
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- (1) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional.
- (2) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
- (3) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
- (4) Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
- (5) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksankaan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 67
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan :
- a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
- b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
- c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Pasal 68
(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang mengajui dan melaksanakan Putusan Arbitrasi Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.
(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Pasal 69
(1) Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan periksa eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.
(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.
(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
Sedangkan Bab VII mengatur mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase terdapar dlm Pasal 70 s/d 72:
Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
(1) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
(2) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
(3) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrasi harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial
Proses Pemeriksaan dalam pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana terdapat dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor: 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan bahwa:
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Peraturan lainnya
1. Yurisprudensi
Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung juga memuat ketentuan Hukum Acara Perdata. Bahkan, yurisprudensi Mahkamah Agung menjadi sumber Hukum Acara Perdata yang sangat penting di negara kita sekarang, terutama untuk mengisi kekosongan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang banyak terdapat dalam peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan zaman Hindia Belanda.
2. Peraturan Mahkamah Agung
Dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini termuat dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyatakan:
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.
Dalam penjelasannya disebutkan:
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang- undang. Penyelenmggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, alat pembuktian serta penilaian ataupun pembagian beban pembuktian.
Adapun beberapa Peraturan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan acara perdata adalah sbb:
a. Hakim tidak lagi bersifat pasif melainkan bersifat Aktif
Putusan MA RI Nomor 425 K/Sip/1975, tanggal 15 Juli 1975 menyatakan bahwa hakim boleh mengabulkan lebih dari petitum sepanjang sesuai dengan posita. Disamping itu di dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata hakim bersifat aktif.
b. Berkaitan dengan Prorogasi
Yang dimaksud dengan prorogasi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak berwenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi. Di dalam HRI tidak dijumpai ketentuan ini, melainkan diatur dalam Rv Pasal 324 sampai dengan Pasal 326.
c. Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2010 tentang Proses mediasi di Pengadilan
Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dan bantuan mediator.
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.
d. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (class action)
Untuk kepentingan efsiensi dan efektifitas berperkara penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan serentak atau sekaligus dan missal terhadap banyak orang yang memiliki fakta, dasar hukum, dan tergugat yang sama, dapat dilakukan dengan mengajukan gugat perwakilan kelompok.
e. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan
Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan, MA menyatakan bahwa paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitur yang beritikad baik dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.
f. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formal.
Menurut Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 : Panitera Pengadilan Tingkat Pertaman yang memutus perkara yang memohonkan kasasi, tidak meneruskan kepada Mahkamah Agung permohonan kasasi yang tidak memenuhi persayaratan formal. Persyaratan formal adalah persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UUNomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung
Surat edaran juga merupakan salah satu pedoman yang dipakai dalam hukum acara perdata. Ada beberapa contoh Surat Edaran Mahkamah Agung antara lain adalah:
a. SEMA Nomor 04 Tahun 1975 tentang Sandera (Gijzeling)
b. SEMA Nomor 09 Tahun 1976 tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim
c. SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
d. SEMA Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya-biaya Perkara
e. SEMA Nomor 5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi.
f. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1962 tentang Cara Pelaksanaan Sita Atas barang-barang yang tidak bergerak. Perintah kepada semua juru sita untuk melakukan penyitaan ditempat dimana barang-barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan dengan disaksikan oleh Pamong desa.
g. SEMA Nomor 05 Tahun 1975 tentang sita jaminan
Dalam melaksanakan sita jaminan (conservatoir beslaag) tidak mengabaikan syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-Undang (Pasal 227 HRI/261RBg) dan mengingat adanya perbedaan syarat dan sifat antara conservatoir beslaag dan revindicatoir beslaag.
h. Surat Edaran MA Nomor 9 Tahun 1964 tentang Putusan Verstek Putusan Verstek dapat diberikan pada sidang ke-2 dan seterusnya.
B. Perjanjian Internasional
Salah satu sumber Hukum Acara Perdata adalah perjanjian Internasional. Sebagai contoh, perjanjian bilateral antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand (Keppres Nomor 6 Tahun 1978) mengenai kesepakatan kerjasama kedua negara dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam perkara perdata dan dagang.
C. Doktrin
Doktrin adalah ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan salah satu sumber oleh hakim untuk menggali Hukum Acara Perdata. Berbeda dengan sumber Hukum Acara Perdata lainnya, doktrin itu sendiri bukanlah aturan hukum sehingga tidak bersifat mengikat. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta bersifat obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga menyebabkan putusan hakim juga bernilai obyektif.
Seperti juga doktrin, instruksi, dan surat edaran bukanlah hukum, melainkan sebagai sumber menggali hukum. Artinya, itu bukanlah sebagai tempat menggali hukum. Hakim dapat juga menggunakan lembaga-lembaga Hukum Acara Perdata yang tercantum dalam suatu instruksi atau surat edaran, asal saja sebagai ciptaan sendiri tanpa menunjuk kepada instruksi atau surat edaran yang bersangkutan.
Sumber : RUU Hukum Acara Perdata