System Hukum Kewarisan Islam

by Estomihi FP Simatupang, SH., MH

Posted on October 28, 2021 05:28

Asas-asas hukum warisan Islam
  1.  Asas Ijbari, Yang dimaksud prinsip ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya. Dalam hukum kewarisan Islam, dijalankan prinsip ijbari ini berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Ditegaskanya prinsip ijbari dalam hukum kewarisan Islam, tidak dalam arti memberatkan ahli waris. Andai kata pewaris mempunyai hutang lebih besar dari pada warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebabani membayar semua hutang pewaris itu. Berapapun hutang pewaris, hutang itu hanya dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Kalau seluruh warisan sudah dibayarkan hutang, kemudian masih ada sisa hutang tersebut. Kalaupun ahli waris hendak membayar sisa hutang itu, maka pembayaran itu bukan suatu kewajiban yang diletakkan oleh hukum, melainkan karena akhlak Islam ahli waris yang baik. 
    Jika keadaan di atas dibandingkan dengan KUH Perdata, ada parbedaan yang sangat mencolok. Dalam KUH Perdata, peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada hali warisnya bergantung pada kehendak dan kerelaan ahli waris yang bersangkutan. Dalam KUH Perdata, ahli waris dimungkinkan menolak warisan. Dimungkinkannya penolakan warisan ini karena jika ahli waris menerima warisan, ia juga harus menerima segala kosekuensinya. Salah satunya melunasi seluruh hutang pewaris.
    Dilihat dari segi pewaris, saat ia belum meninggal dunia, iapun tak dapat menolak proses peralihan hartanya kepada ahli waris. Kemauannya terhadap dibatasi oleh ketentuanketentuan yang telah digariskan Allah. Walaupun pewaris diberi kebebasan untuk berwasiat berkenaan dengan hartanya, tetapi kebebasan ini juga dibatasi oleh ketentuan Allah. Pembatasannya adalah bahwa seseorang boleh mewasiatkan paling banyak sepertiga hartanya. Yang disebut terakhir ini jelas menunjukan adanya pembatasan seseorang terhadap hartanya .
  2. Asas Induvidual, adalah harta warisan dari pewaris yang telah diterima oleh ahli warisnya, dapat dimiliki secara individu perorangan. Jadi bagian-bagian setiap ahli waris tidak terikat dengan ahli waris lainnya, tidak seperti dalam hukum Adat ada bagian yang sifatnya tidak dapat dimiliki secara perorangan, tetapi dimiliki secara kelompok.
  3. Asas Bilateral, artinya ahli waris menerima harta warisan dari garis keturunan atau kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, demikian sebaliknya peralihan harta peninggalan dari pihak garis keturunan pewaris laki-laki maupun perempuan.
  4. Asas Keadilan Berimbang, Dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan darl garis keturunan pihak perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. 
    Antara laki-laki dengan perempuan keduanya mempunyai hak menerima harta warisan dari pewaris, namun tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan berbeda, laki- laki (public family) sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga (domistic family), yang mengatur rumah tangga. Dengan demikian sangat wajar kalau Al-Qur‘an menetapkan laki-laki mendapat dua bagian sedangkan perempuan satu bagian.
  5. Asas Warisan Semata Kematian, Hukum warisan Islam hanya mengenal satu bentuk warisan karena adanya kematian, seperti dalam hukum warisan perdata barat (BW), dengan istilah ―ab intestato”, namun dalam hukum warisan BW, selain ab intestato juga karena adanya” wasiat  yang  disebut  ―testament  termasuk  sebagai  bagian  dari hukum warisan. Lain halnya dangan hukum Islam wasiat suatu lembaga hukum tersendiri, bukan sebagai bagian hukum warisan.
    Menurut Amir Syarifuddin, asas ini ada hubungannya sangat erat dengan asas ijbari,101 disebabkan meskipun seorang ada kebebasan atas hartanya, tetapi setelah meninggal dunia kebebasan itu tidak ada lagi. Hal ini juga difahami bahwa harta dalam Islam mempunyai sifat amanah (titipan), artinya manusia berhak mengatur, tetapi harus sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, sehingga apabila seorang telah meninggal dunia tidak mempunyai hak lagi untuk mengaturnya, dan kembali kepada- Nya.
 
 
Unsur-unsur Hukum Warisan Islam
Hukum warisan Islam sama dengan hukum warisan Adat terdapat unsur-unsur yang dalam hukum Islam disebut rukun. Adapun unsur-unsur hukum warisan Islam, antara lain: Pertama, pewaris (muwaris), yaitu orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan; dan kedua, harta warisan adalah harta, baik berupa harta bergerak, tidak bergerak, dan harta yang tidak maujud, seperti hak intelektual, hak cipta dan lain-lain. Harta tersebut dapat dibagikan kepada ahli waris, setelah dikurangi biaya-biaya perawatan/pengobatan pewaris, pemakaman, pembayaran hutang, dan wasiat. Sedangkan unsur yang terakhir adalah ahli waris yaitu orang yang berhak menerimaharta   warisan. Pendek kata, harta warisan dapat dibagikan jika semua kewajiban muwaris telah selesai ditunaikan.
 
Pewaris
Pewaris ialah seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup103. Sedangkan apabila seseorang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup ia bukan pewaris. Dalam hukum warisan Islam, yang menjadi factor-faktor warisan adalah karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan dank arena hubungan wala‘ atau budak.
 
Kemudian dalam hukum Islam Amir Syarifuddin mengatakan bahwa pewaris dalam kelompok pengertian ―walidani‖ sebagaimana ketentuan Surat An-Nisa‘ ayat 7 dan 33 adalah ayah, ibu, kakek nenek, anak dan cucu. Sedangkan pewaris dalam kelompok pengertian   ―aqrabuna‖ , sebagaimana   ditemukan dalam Surat An-Nisa‘ ayat 12 dan 176 adalah suami dan istri dan saudara.104. Kemudian pengertian menurut Al-Qur‘an diperluas dengan Hadits Nabi SAW, dengan memasukan keturunan ayah dan keturunan kakek, sehingga termasuk anak saudara dan paman serta bibi,105 kemudian pewaris karena telah memerdekakan budak (wala‘) yang tidak meninggalkan ahli waris.
 
Pada uraian sebelumnya, penulis telah dijelaskan bahwa atas dasar prinsip meninggalnya seseorang itu, berlakunya pembagian harta warisan, sehingga pewaris itu harus nyata meninggal dunia. Kemudian ada dua bentuk meninggal dunia: pertama, seseorang meninggal dunia, artinya seseorang telah nyata putusnya nyawa dari jasad yang dibuktikan dengan pancaidera atau melalui medis atau tidak hidup lagi.106 Kedua, dianggap meninggal dunia secara hukum, artinya meninggal dunia karena putusan pengadilan, artinya seseorang dianggap atau dinyatakan meninggal dunia dengan putusan hakim, kemungkinkan orang tersebut masih hidup tetapi disebabkan oleh sesuatu hal tertentu orang itu dianggap meninggal dunia, seperti dalam kasus seorang pewaris telah hilang bertahun-tahun tidak diketahui tempat tinggalnya. Hilangnya orang ini disebabkan adanya sesuatu peristiwa, seperti adanya perang, tsunami dan lain-lain. Kemudian para ahli warisnya mengajukan ke pengadilan agar pewaris yang hilang itu diputus telah meninggal dunia, sehingga dengan putusan Pengadilan itu harta warisan pewaris dapat dibagi kepada para ahli warisnya, meskipun dimungkinkan sebenarnya seorang yang diputus sebagai pewaris itu masih hidup, dan berlakunya pelaksanaan pembagian harta warisan itu sejak hari dan tanggal putusan pengadilan tersebut.
 
Putusan Pengadilan tentang meninggal dunianya seseorang itu penting, bagi kepastian hukum warisan, karena salah satu tujuan dari pada hukum adalah untuk mencari kepastian hukum. Sedangkan apabila tidak ada putusan hakim akan menjadikan ketidak pastian kedudukan dari pada harta warisan dari pewaris itu. Apalagi dalam hukum Islam salah satu azas hukum warisan adalah asas ijbari artinya dengan kematian seseorang dengan sendirinya harta warisan itu berpindah kepada para ahli warisnya.
 
Kemudian perincian pewaris dalam hukum warisan Islam dapat dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta dikembangkan dengan ijtihad, maka dalam hal ini Amir Syarifuddin memberikan perincian pewaris menjadi 4 kelompok, yaitu :
  1. Kelompok ayah dan ibu dan dikembangkan kakek dan nenek terus ke atas;
  2. Kelompok anak baik anak laki-laki dan anak perempuan dan dikembangkan kepada cucu terus ke bawah ;
  3. Kelompok suami dan istri ;
  4. Kelompok saudara dan paman. Kelompok ini merupakan perluasan pengertian pewaris menurut Al-Qur‘an yang diperluas oleh hadist Nabi Muhammad SAW, dengan memasukan keturunan ayah dan keturunan kakek, sehingga dapat difahami bahwa seseorang dapat menjadi pewaris itu termasuk anak saudara, dan pewaris bagi pamannya.
 
Harta Warisan
Harta adalah barang (uang dsb) yang menjadi kekayaan.108 sedangkan harta warisan adalah barang atau benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris, setelah dikurangi untuk kepentingan biaya perawatan jenasah, hutang-hutang dan wasiat109. Dalam pengertian ini antara harta peninggalan dengan harta warisan dapat dibedakan. Harta peninggalan seluruh barang atau benda yang ditinggalkan oleh seseorang telah meninggal dunia, dalam arti barang tersebut milik orang pada saat meninggal dunia, sedangkan harta warisan ialah harta yang berupa barang atau benda yang berhak diterima oleh ahli waris.
Jenis harta kewarisan ada yang berwujud dan ada yang tak berwujud, yang berwujud dalam istilah   ekonomi disebut ―harta  aktiva‖,  harta  ini   dalam  istilah  hukum  ada  dua  macam sifat,    pertama    adalah  harta  disebut  ―barang    tak  begerak‖ artinya barang tersebut tidak dapat dipindahkan, dan ― harta yang    berupa    ―barang    begerak‖    artinya    harta    itu    dapat dipindahkan tempatnya, seperti mobil, peralatan rumah tangga dan lain sebagainya, namun dalam hukum perdata terdapat barang yang sefatnya dapat dipindahkan tempatnya, tetapi dikelompokan dalam barang tak bergerak, umpamanya kereta api, pesawat terbang dan kapal laut.
 
Harta yang berupa barang bergerak tersebut di atas, terdapat beberapa hak atas barang bergerak seperti:
  • (a) Hak memetik hasil atau hak memakai;
  • (b) Hak atas uang bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang;
  • (c) Saham-saham dari perseroan;
  • (d) Tanda-tanda pinjaman suatu negara baik negara sendiri maupun negara asing; dan
  • (e) Hak menuntut ke Pengadilan tentang penyerahan barang bergerak atau pembayaran uang terhadap barang bergerak. 
Dalam hukum Islam hak kebendaan yang berbentuk hutang tidak menjadi harta warisan.111 Akan tetapi, harta yang menjadi hak ahli waris itu hanya harta peninggalan dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan itu setelah dikurangi hak-hak lain, seperti biaya-biaya penguburan, pajak, zakat termasuk hutang kepada orang lain. Hutang dalam hukum Islam hutang, selain terhadap orang dan badan hukum juga hutang kepada Allah SWT. Hutang kepada Allah yaitu kewajiban materi kepada Allah yang harus ditunaikan, seperti membayar zakat, nadhar dan lain sebagainya.
Mengacu kepada pengertian tersebut di atas, bahwa harta peninggalan berbeda dengan harta warisan, harta peninggalan ialah semua harta yang ditinggalkan oleh pewaris, sedangkan harta warisan hanya harta yang berhak diterima oleh ahli waris, dimana harta harta peninggalan itu setelah dikurangi atau terlepas dari tersangkutnya segala macam hak-hak oramg lain di dalamnya.
 
Dengan demikian, harta peninggalan itu sebelum menjadi harta warisan dan dibagi kepada ahli warisnya harus dilakukan pelbagai tindakan pemurnian agar supaya harta yang menjadi hak orang lain tidak terpakai oleh ahli waris. Sebelum dilakukan pemurnian harus dilihat dahulu harta peninggalan tersebut, apakah harta peninggalan itu harta bersama atau harta bawaan, atau mungkin kedua harta itu menyatu di dalamnya.
 
Selanjutnya, jika harta bersama dan harta bawaan terpisah cara membaginya mudah, masing-masing harta itu dikuranmgi hak orang lain yang melekat di dalamnya setelah itu, dapat dibagi kepada ahli warisnya. Akan tetapi, apabila antara harta bersama dan harta bawaan itu menyatu, pertama harus dipisah dahulu antara harta bersama dengan harta bawaan, kemudian harta bersama dibagi dua, satu bagian untuk pewaris dan satu bagian untuk istri atau suaminya, lalu satu bagian dari harta bersama itu dijadikan satu atau ditambah dengan harta bawaan. Kemudian setelah dijadikan satu antara harta bawaan dengan bagian dari harta bersama tersebut, kemudian dikurangi hak-hak orang lain melekat di dalamnya, setelah itu baru bagi kepada ahli warisnya.
 
Ahli Waris
Ahli waris adalah oarng yang mempunyai hak harta warisan yang dtinggalkan oleh seorang yang telah meninggal dunia. Kemudian orang yang mempunyai hak sebagai ahli waris dalam hukum Islam ada empat faktor utama,112 yaitu :
  1. Adanya perkawinan, suami ahli waris istri sebaliknya istri ahli waris suami;
  2. Adanya nasab atau hubungan darah;
  3. Wala‘ orang yang telah memerdekakan budak, dan tidak meninggalkan ahli warisnya;
  4. Hubungan secara Islam, orang Islam yang meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris, dan harta warisannya diserahkan kepada baitul mal untuk kepentingan umat Islam.
Di Indonesia umumnya hanya dua faktor, yaitu faktor pertama dan kedua,. untuk faktor yang ketiga di Indonesia tidak terdapat perbudakan, akibatnya ahli waris ini tidak dikenal, sedangkan faktor keempat bukan sistem hukum warisan. Selain adanya kedua bentuk hubungan dalam kedua foktor tersebut, mereka baru mempunyai hak warisan, apabila pertama dalam keadaan masih hidup pada saat pewaris menimngal dunia. Dan kedua mereka tidak ada halangan menjadi ahli waris, umpamanya tidak tertutup (terhijab) oleh ahli waris lannya, perbedaan agama dan lain-lain. Dengan demikian dalam pembahasan selanjutnya hanya faktor perkawinan dan faktor nasab atau hubungan darah.
 
Kemudian ahli waris yang disebabkan adanya nasab atau hubungam darah ialah seorang yang mendapatkan hak harta warisan karena adanya hubungan darah dengan pewaris. Kemudian bila diperhatikan ahli waris ini, dapat dibedakan tiga macam, pertama ahli waris karena hubungan garis keturunan ke bawah, kedua karena hubungan garis keturunan ke atas, dan yang ketiga hubungan garis keturunan kesamping.
 

Hibah dan wasiat kepada ahli waris diperhitungkan sebagai warisan (Pasal 210 KHI).

KHI mengelompokkan ahli waris dari segi cara pembagiannya dalam tiga kelompok sebagai berikut (Pasal 176-182 KHI) :

  1. Kelompok ahli waris dzawil furud (yang ditentukan bagiannya).
    1. Ayah mendapat 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan anak/keturunan, mendapat ashabah bila pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan (Pasal 177 KHI jo SEMA Nomor 2 Tahun 1994).
    2. Ibu mendapat 1/6 bagian bila pewaris mempunyai anak/keturunan, atau pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih (sekandung, seayah, seibu), mendapat 1/3 bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan atau pewaris meninggalkan satu orang saudara (sekandung, seayah, seibu).
    3. Duda mendapat 1/2 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak / keturunan dan mendapat 1/4 bagian bila pewaris meninggalkan anak/keturunan.
    4. Janda mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan dan mendapat 1/8 bagian bila pewaris meninggalkan anak/keturunan.
    5. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian apabila sendirian, dua orang anak perempuan atau lebih mendapat 2/3 bagian bila tidak ada anak laki-laki atau keturunan dari anak laki-laki.
    6. Seorang saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/6 bagian, apabila terdapat dua orang saudara atau lebih (sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/3 bagian jika saudara (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bersama ibu pewaris (yurisprudensi)
    7. Seorang saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mendapat 1/2 bagian, dua orang saudara perempuan sekandung atau seayah atau lebih mendapat 2/3 bagian, jika saudara perempuan tersebut mewaris tidak bersama ayah dan tidak ada saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara laki-laki.
  2. Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya.
    1. Anak laki-laki dan keturunannya.
    2. Anak perempuan dan keturunannya bila mewarisi bersama anak laki-laki.
    3. Saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah.
    4. Kakek dan nenek.
    5. Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan keturunannya.
  3. Kelompok ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti.
    1. Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikan.
    2. Keturunan dari saudara laki-laki / perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bagian yang digantikannya.
    3. Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama.
    4. Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama.
    5. Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah.
    6. Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ibu. Selain yang disebut di atas tidak termasuk ahli waris pengganti.

Prinsip-prinsip Hijab Mahjub menurut KHI dan Yurisprudensi.

    1. Anak laki-laki maupun perempuan serta keturunannya menghijab saudara (sekandung, seayah, seibu) dan keturunannya, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu serta keturunannya.
    2. Ayah menghijab saudara dan keturunannya, kakek dan nenek yang melahirkannya serta paman / bibi pihak ayah dan keturunannya.
    3. Ibu menghijab kakek dan nenek yang melahirkannya serta paman/bibi pihak ibu dan keturunannya.
    4. Saudara (sekandung, seayah atau seibu) dan keturunannya menghijab paman dan bibi pihak ayah dan ibu serta keturunannya.

Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seibu dari saudara seayah dan sekandung (Pasal 181 dan 182 KHI). Dalam perkembangannya, yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan saudara seibu dengan saudara sekandung atau saudara seayah, mereka mendapat ashabah secara bersama-sama dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan.

  1. Berdasarkan prinsip dan asas kewarisan tersebut di atas, derajat kelompok ahli waris memiliki tingkatan sebagai berikut :
    1. Kelompok derajat pertama : suami/isteri, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.
    2. Kelompok derajat kedua : suami/isteri, anak dan/atau keturunannya, kakek dan nenek baik dari pihak ayah maupun dari ibu.
    3. Kelompok derajat ketiga: suami/isteri, saudara (sekandung, seayah, seibu) dan/atau keturunannya, kakek dan nenek dari pihak ayah dan pihak ibu.
    4. Kelompok derajat keempat : suami/isteri, paman/bibi dan/atau keturunannya.
  2. Untuk memudahkan perhitungan pembagian waris dapat memedomani prinsip-prinsip sebagai berikut :
    1. Mendahulukan ahli waris sesuai kelompok derajatnya yang dirumuskan dalam angka (4) di atas.
    2. Menerapkan prinsip hijab mahjub tersebut dalam angka 5 (lima) di atas.
    3. Perbandingan bagian anak laki-laki dengan anak perempuan, bagian saudara laki-laki dengan saudara perempuan, bagian paman berbanding bagian bibi adalah 2 : 1.
    4. Ahli waris pengganti mewarisi bagian yang digantikannya dengan ketentuan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang diganti. Apabila ahli waris pengganti terdiri dari laki-laki dan perempuan, laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan.
    5. Bagian ahli waris dzawil furud dibagi terlebih dahulu dari ahli waris ashabah.
    6. Sisa pembagian dari ahli waris dzawil furud untuk ahli waris ashabah, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
    7. Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan jumlah bagian ahli waris melebihi nilai 1 (satu), maka dilakukan 'aul.
    8. Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan jumlah bagian ahli waris kurang dari nilai 1 (satu), maka dilakukan radd. Radd tidak berlaku untuk janda dan duda.
  3. Contoh-contoh bagian waris sesuai derajat kelompok ahli waris
    1. Ahli waris terdiri dari duda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu. Duda memperoleh 1/4, ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya memperoleh sisa, jika anak hanya terdiri dari anak perempuan dan keturunan dari anak perempuan yang lain, dan diperlukan radd atau 'aul, maka dilakukan radd atau 'aul.
    2. Ahli waris terdiri dari janda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu. Janda memperoleh 1/8, ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya memperoleh sisa, jika anak hanya terdiri dari anak perempuan dan keturunan anak perempuan lainnya, dan diperlukan radd atau 'aul, maka dilakukan radd atau 'aul.
    3. Ahli waris terdiri dari duda, ayah dan ibu. Duda memperoleh 1/2, ibu 1/3, ayah ashabah. Masalah ini disebut tsulus bagi (ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah dikeluarkan bagian duda), pembagiannya adalah :
      Duda memperoleh 1/2 x 12 = 6 Ibu
      memperoleh 1/3 x 6 (sisa) = 2 Ayah
      memperoleh ashabah = 4
    4. Ahli waris terdiri dari janda, ayah dan ibu. Janda memperoleh 1/4, ibu 1/3, ayah ashabah. Masalah ini disebut tsulus baqi (ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah dikeluarkan bagian janda), pembagiannya adalah :
      Janda memperoleh 1/4 x 12 = 3 Ibu
      memperoleh 1/3 x 9 (sisa) = 3 Ayah
      memperoleh ashabah = 6
    5. Ahli waris terdiri dari suami/isteri, ibu dan seorang saudara laki laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Janda memperoleh 1/4 atau jika duda ia memperoleh 1/2, ibu 1/3 dan seorang saudara laki-laki/ perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6 bagian lika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan 'aul dan jika jumlah bagian kurang dari satu, maka harus dilakukan radd.
    6. Ahli waris terdiri dari suami/isteri, ibu dan dua orang atau lebih saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Janda memperoleh 1/4 atau jika duda ia memperoleh 1/2, ibu 1/6 dan dua orang atau lebih saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/3 bagian. Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan aul, jika jumlah bagian lebih kecil dari satu dilakukan radd.
    7. Ahli waris terdiri dari suami/isteri, kakek dan nenek pihak ayah, kakek dan nenek pihak ayah mendapat bagian dari ayah, kakek nenek dari pihak ibu mendapat bagian dari pihak ibu.
    8. Ahli waris terdiri dari suami/isteri, kakek dan nenek dari pihak ayah mendapat bagian dari pihak ayah dan kakek nenek dari pihak ibu mendapat bagian dari pihak ibu.
    9. Ahli waris terdiri dari suami/isteri, paman/bibi pihak ayah dan ibu dan/atau keturunannya, isteri memperoleh 1/4 atau jika suami memperoleh 1/2, paman/bibi daripihak ayah dan/atau keturunannya memperoleh bagian ayah, paman/bibi dari pihak ibu dan/atau keturunannya memperoleh bagian ibu.

Pembagian harta warisan yang ahli warisnya sudah bertingkat-tingkat akibat berlarut-larutnya harta warisan tidak dibagi, harus dilakukan pembagian secara jelas ahli waris dan harta warisannya dalam seitap tingkatan. Contoh :
A (suami) dan B (isteri) memiliki anak C, D (laki-laki) dan E (perempuan). A meninggal dunia tahun 1955. B meninggal dunia tahun 1960. D meninggal dunia tahun 1975 dengan meninggalkan 3 orang anak F, G (laki-laki) dan H (perempuan). Pembagian warisnya : Ahli waris A adalah B, C, D dan E. Ahli waris B adalah C, D dan E. Ahli waris D adalah F, G (laki-laki) dan H (perempuan). Maka amar putusannya harus berbunyi sebagai berikut :

    1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya/sebagian;
    2. Menetapkan ahli waris A adalah B, C, D dan E;
    3. Menetapkan harta warisan A adalah X
    4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris A adalah sebagai berikut :
      4.1 B memperoleh 1/8 x X:
      4.2 C memperoleh 2/5 x (7/8 x X);
      4.3 D memperoleh 2/5 x (7/8 x X);
      4.4 E memperoleh 1/5 x (7/8 x X);
    5. Menetapkan ahli waris B adalah C, D dan E;
    6. Menetapkan harta warisan B adalah Y;
    7. Menetapkan bagian ahli waris B adalah sebagai berikut :
      7.1 C memperoleh 2/5 x Y;
      7.2 D memperoleh 2/5 x Y;
      7.3 E memperoleh 1/5 x Y;
    8. Menetapkan ahli waris D adalah F, G dan H;
    9. Menetapkan harta warisan D adalah N;
    10. Menetapkan bagian ahli waris D adalah sebagai berikut :
      10.1 F memperoleh 2/5 x N;
      10.2 G memperoleh 2/5 x N;
      10.3 H memperoleh 1/5 x N;
    11. Memerintahkan Tergugat ........... dst.

Referensi :
  • Laporan Akhir Kompendium Hukum Waris BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011
  • Wati Rahmi Ria & Muhammad Zulfikar Buku Waris Berdasarkan Hukum Perdata Barat dan Kompilasi Hukum Islam
  • Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Mahkamah Agung RI 2013
 
Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 2413

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image
Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay