Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

by Estomihi FP Simatupang, SH.,MH

Posted on May 11, 2022 06:51

  1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
  2. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, Advokat, Lembaga Sosial, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan Penetapan Pengadilan, sebagaimana diatur dalam Bab VI Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  3. Lingkup rumah tangga meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga yang menetap dalam rumah tangga tersebut.
  4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menganut prinsip minimum pembuktian keterangan saksi. Yaitu bahwa keterangan seorang saksi saja ditambah alat bukti lain sudah cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.
  5. Korban berhak mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan.
  6. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan Penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak permohonan diterima.
  7. Perintah perlindungan tersebut dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang atas Penetapan Pengadilan yang diajukan 7 (tujuh) hari sebelum masa berlakunya habis.
  8. Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pembimbing rohani.
  9. Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan yang diajukan oleh keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pembimbing rohani dengan persetujuan korban.
  10. Dalam keadaan tertentu misalnya: pingsan, koma, sangat terancam jiwanya, permohonan perlindungan dapat dimohonkan tanpa persetujuan korban.

Referensi

  • Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Pidana Umum Dan Pidana Khusus Mahkamah Agung RI 2007 
Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 1658

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image
Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay