Oleh : Mas Hushendar, S.H., M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur
A. PENDAHULUAN
Tuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita seseorang atau sekelompok orang sebagai subyek hukum yang diakibatkan oleh perbuatan orang atau suatu badan/lembaga melalui pengadilan merupakan hak yang dilindungi oleh hukum. Pintu masuk tuntutan kerugian pada umumnya mendasarkan kepada “Perbuatan Melawan Hukum (onrechmatige daad)” atau “Wanprestasi (wanprestatie)” dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Pembahasan dalam tulisan ini bukan mengupas tuntutan kerugian melalui proses gugatan, melainkan memfokuskan terhadap tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh seseorang akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, dan khususnya akibat putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) oleh pengadilan yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penulis pertama ditempatkan sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Soe tahun 1987 s.d 1991 pernah mengabulkan permohonan tuntutan ganti kerugian karena tidak sahnya penangkapan dan penahanan serta sahnya penghentian penyidikan, kompensasi penggantian berupa sejumlah uang setelah diproses usulannya dibayarkan oleh pemerintah. Padahal saat itu sepertinya tabu pihak kepolisian kalah dalam perkara praperadilan. Dewasa ini pun tergolong relatif kecil jumlah permohonan tuntutan ganti rugi dalam perkara praperadilan yang dikabulkan pengadilan. Tulisan ini paling tidak membantu untuk mengetahui berbagai macam inti putusan atau penetapan tentang tuntutan ganti kerugian. Ada yang menyampaikan tidak mudah mencari putusan tuntutan ganti kerugian praperadilan atas dasar putusan bebas yang dikabulkan pengadilan.
Ruang lingkup perkara praperadilan, antara lain tentang tuntutan ganti kerugian karena tersangka, terdakwa atau terpidana ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 95 ayat (1) KUHAP). Pihak yang dirugikan menurut hukum wajib diberikan ganti rugi dan rehabilitasi (remedy and rehabilitation), sesuai dengan sistem peradilan kita yang menganut doktrin “civil law system”. Ini mengandung pengertian hukum bahwa tuntutan ganti kerugian dapat diajukan melalui persidangan praperadilan di pengadilan negeri akibat adanya tindakan yang merugikan pada tingkat : Penyidikan di Kepolisian, Penuntutan di Kejaksaan, dan Peradilan di Pengadilan.
B. PEMBAHASAN
Di tingkat Penyidikan dan Penuntutan akibat perkara tersebut tidak diajukan ke pengadilan negeri atau yang dikenal dengan penghentian penyidikan atau penuntutan diatur dalam Pasal 81 KUHAP. Adapun tuntutan ganti kerugian di tingkat pengadilan karena adanya putusan pengadilan yang dinilai merugikan menurut Pasal 95 ayat (4) dan (5) KUHAP untuk memeriksa dan memutus perkara ini, maka ketua pengadilan menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan dan pemeriksaan mengikuti acara praperadilan. Dalam KUHAP berulang diatur perlindungan hukum terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian melalui sidang praperadilan sebagaimana dalam pasal 1 angka 10 huruf c dan angka 22, Pasal 30, Pasal 68, dan pasal 77 huruf b KUHAP, kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.
Terdakwa yang diadili tanpa berdasarkan undang-undang dapat ditafsirkan pasal atau pasal-pasal peraturan perundangan yang didakwakan dan dituntutkan kepada terdakwa tidak tepat sesuai dengan kesalahan perbuatan pidana terdakwa sehingga rumusan unsur-unsur pasal yang didakwakan tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum dalam persidangan, akibat hukumnya terdakwa diputus bebas oleh pengadilan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Menurut Yahya Harahap “Sekiranya seorang terdakwa dituntut dan diadili dalam pemeriksaan sidang pengadilan, kemudian ternyata apa yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasar alat bukti yang sah, sehingga apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan terdakwa dibebaskan dari tuntutan pidana. Berarti terdakwa telah dituntut dan diadili tanpa dasar alasan hukum. Putusan pembebasan tersebut, menjadi dasar bagi terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas alasan telah dituntut dan diadili tanpa berdasarkan undang-undang” (Hukum Online, Hak Terdakwa yang Dinyatakan Bebas, Letezia Tobing, SH.,M.Kn, Selasa, 11 Agustus 2015).
Dapat pula terjadi sesuai pembuktian di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Menurut para ahli hukum karena perbuatan terdakwa tersebut termasuk ranah hukum perdata, hukum adat, hukum dagang atau hukum tata usaha negara.
Adapun kekeliruan mengenai orangnya karena salah tangkap terhadap seorang yang disidik, didakwa, diperiksa, dan terakhir diputus oleh pengadilan terbukti dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, kemudian terungkap atau muncul orang yang mengaku sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya, contoh kasus yang sangat terkenal yaitu : Sengkon dan Karta.
Lain halnya dengan putusan pidana tentang kekeliruan hukum yang diterapkan, misal : Terdakwa telah didakwa dengan surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP sehingga dalam putusan pengadilan dinyatakan “Surat dakwaan batal demi hukum”. Kasus lainnya “Terdakwa untuk kedua kalinya dilakukan penyidikan, penuntutan atau diadili dalam kasus yang sama sehingga melanggar asas nebis in idem”.
Dengan demikian tuntutan ganti kerugian, tidak hanya disebabkan adanya putusan bebas melainkan dapat pula terhadap bukan putusan pemidanaan lainnya.
Pemerintah telah menyiapkan aturan tentang besarnya pembayaran ganti kerugian dan prosedur pembayarannya kepada pemohon yang dikabulkan tuntutan ganti ruginya dalam “Sidang Praperadilan”. Mulai sejak diberlakukannya Undangundang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perubahan keduanya dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2010 tetapi tidak menyentuh pengaturan ganti kerugian. Dalam Pasal 9 ditentukan : Besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), apabila mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), sedangkan yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jauh berbeda dengan sebelumnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Dahulu awal diberlakukannya KUHAP telah terdapat putusan perkara praperadilan yang mengabulkan permohonan pemohon, namun belum dapat dibayarkan uang ganti ruginya karena saat itu belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Ini sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 05/JS/PRA/1992, tanggal 11 oktober 1982 yang amarnya menyatakan : Pemohon diberi ganti kerugian sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) sehari selama 51 hari berada dalam tahanan yang tidak sah (PRAPERADILAN DALAM PRAKTEK, O.C Kaligis SH, Rusdi Nurima SH, Denny Kailimang SH, Penerbit Erlangga Jakarta, hal 164,165,dan166).
Yang menjadi permasalahan kerugian apa yang timbul akibat tindakan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa tersebut ?. Menyangkut nama baik bagi terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum, telah dipulihkan dalam putusan pada bagian amar yang berbunyi : “Menyatakan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat (Pasal 1 angka 23 KUHAP”), kecuali apabila perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri permohonan rehabilitasi dapat diajukan dalam perkara praperadilan (Pasal 97 ayat (3) KUHAP). Tentunya tuntutan kerugian berupa materi (uang) ini sebagai akibat dikenakan tindakan pengekangan kebebasan menjalani kehidupan berupa “Penangkapan dan Penahanan” selama menjalani proses hukum. Oleh karena telah menyangkut “Hak Asasi Manusia” sehingga dalam amar putusan pengadilan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan dikurangkan seluruhnya dengan selama terdakwa menjalani penangkapan dan penahanan (Pasal 22 ayat (4) KUHAP).
Dari cuplikan Pasal 1 angka 22 KUHAP dinyatakan “Ganti kerugian merupakan hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang”. Berarti menyangkut kerugian materil yang subtansinya tidak terbatas sekedar sebagai uang pelipur lara selama tersangka atau terdakwa mendekam dalam Rumah Tahanan Negara tetapi sebagaimana dalam praktek pengadilan meliputi pula kerugian kehilangan penghasilan dan keuntungan dari kegiatan usaha selama menjalani penahanan, pula kerugian karena Pemohon harus membayar biaya Pengacara. Bahkan menuntut kerugian immaterial karena tidak dapat optimal mengurus keluarga, tidak sempat bersosialisasi dengan masyarakat, dan nama baik Pemohon yang tercemar. Jumlah tuntutan ganti kerugian yang besar ini apabila dikabulkan oleh pengadilan dapat dipenuhi oleh pemerintah karena Peraturan Pemerintah RI Nomor 92 Tahun 2015 menetapkan besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak sejumlah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Apakah Hakim dalam memutus tuntutan ganti kerugian dituangkan dalam bentuk “Putusan” atau “Penetapan” ? Pertanyaan ini menarik untuk dimunculkan, mengingat selama ini berbagai ragam berupa : Putusan, Keputusan, dan Penetapan. Apabila diperbandingkan bentuk “Putusan” jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang “Keputusan” dan “Penetapan”. Untuk contoh pengadilan memutus berupa putusan, seperti perkara : Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PN Pyk, Nomor 02 / Pid.Pra / 2014/PN Jkt.Ut, Nomor 9 /Pid.Pra/2015/PN Smg, Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr, Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP, dan Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr. Adapun yang berbentuk “Penetapan” perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN.Jkt.Sel, sedangkan berbentuk “Keputusan” perkara Nomor 05/JS/PRA/1982.
Apabila direkap dari 8 (delapan) perkara ini, yakni :
-
Berbentuk putusan dan amarnya mengadili terdapat 5 (lima) perkara (Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PNPyk, Nomor 9 / Pid.Pra / 2015 / PN Smg, Nomor 05 / Pid.Pra / 2016 / PN Pbr, Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP, dan Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr.), putusan dan bunyi amarnya memutuskan 1 (satu) perkara (Nomor 02/Pid.Pra/2014/PN Jkt. Ut), dan keputusan amarnya mengadili 1 (satu) perkara (Nomor 05/JS/PRA/1982).
-
Putusan menolak permohonan praperadilan ada 4 (empat), yakni : Perkara Nomor 01 / Pid.Pra / 2014 / PN Pyk, Nomor 02 / Pid.Pra / 2014 / PN Jkt., Nomor 7/Pid.Pra/PN Mtr.
-
Putusan menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima, yakni : Perkara Nomor 9/Pid.Pra/2015/PN Smg dan Nomor 10/Pid.Pra/2016/PN RAP.
-
Putusan menyatakan permohonan praperadilan dikabulkan, yakni : Perkara Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr dan Nomor 05/JS/PRA/1982.
Hakim yang memutus perkara ganti kerugian praperadilan tentang tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau sahnya penghentian peyidikan atau penuntutan dalam bentuk “Putusan” mendasarkan pada ketentuan Pasal 81 jo Pasal 82 ayat (2) dan (3) KUHAP. Adapun bagi Hakim yang memutus perkara praperadilan tersebut dalam bentuk “Penetapan” mendasarkan pada Pasal 95 ayat 1 jo Pasal 96 KUHAP. Sesungguhnya macam tuntutan ganti kerugian yang diatur Pasal 81 KUHAP khususnya tentang tidak sahnya penangkapan atau penahanan diulang lagi dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP sehingga sesuai Pasal 96 ayat (1) KUHAP berbentuk “Penetapan”. Untuk permohonan praperadilan yang tidak menyangkut tuntutan ganti kerugian, seperti : sah atau tidak sahnya penangkapan atau penahanan dan sah atau tidak sahnya penghentian peyidikan atau penuntutan, tidak sahnya penyitaan atau rehabilitasi (Pasal 79, pasal 80, pasal 81, pasal 82 ayat 1 huruf b, ayat (2) dan (3), dan pasal 97 KUHAP) diputus dalam bentuk “Putusan”.
Tuntutan ganti rugi diputus dalam bentuk “Penetapan” yang jumlahnya agak besar dikabulkan oleh pengadilan, sebagaimana dalam perkara Nomor 98 / Pid.Pra / 2016/PN JKT.Sel terkait dengan putusan PT DKI Nomor : 50/PID/2014/PT DKI yang membebaskan Andro Supriyanto alias Andro dan Nurdin Prianto alias Benges sehingga para terdakwa mengajukan praperadilan ganti kerugian. Menetapkan :
DALAM EKSEPSI;
- Menolak eksepsi Termohon I dan Turut Termohon;
DALAM POKOK PERKARA;
-
Mengabulkan permintaan ganti kerugian dari Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian.
-
Memerintahkan Negara dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Keuangan (Turut Termohon) untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) Kepada Pemohon I dan sebesar Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) Kepada Pemohon II
-
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
-
Membebankan biaya perkara pada Negara.
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa untuk pembayaran ganti kerugian atas korban salah tangkap Andro Supriyanto & Nurdin Priyanto dilakukan berdasarkan Permenkeu No : 108/pmk.02/2018 tentang Perubahan atas Permenkeu No: 11/PMK.02/2018 tentang Tata cara revisi anggaran tahun anggaran 2018 (GANTI KERUGIAN DALAM PRAPERADILAN, disusun oleh TIM PENGADILAN NEGERI PALANGKA RAYA).
Kasus tuntutan ganti kerugian dalam perkara praperadilan yang didasarkan adanya putusan bebas sebagai pihak Termohon bukan Hakim dan atau pengadilan, seperti dalam perkara Nomor 7/Pid.Pra/2016/PN.Pbr Termohonnya adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Prof Bagir Manan saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi dalam perkara menyangkut Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak mengatakan “Dapat saja ada kesalahan ketika mengadili tetapi hakim tidak dapat memikul suatu konsekuensi atas putusannya. Di sinilah makna putusan hakim tidak dapat diganggu gugat (detikNews, rabu, 09 Jan 2013 18:48 WIB)”. Ini sesuai dengan asas kebebasan hakim sebagai aparatur hukum pelaksana kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan hakim merupakan produk satu kesatuan kekuasaan kehakiman sehingga secara bertahap dikoreksi dan dinilai ulang oleh pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi baik dalam tingkat judex facti maupun putusan judex facti oleh judex juris. Bahkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti dari judex factie atau judex juris apabila terdapat suatu kekhilafan Hakim atau sesuatu kekeliruan masih dapat diperiksa dan diputus dalam tingkat Peninjauan Kembali. Selain pula terdapat SEMA Nomor 9 Tahun 1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim, ditandatangani oleh Prof. Oemar Seno Adji, SH., antara lain menyatakan : “Mahkamah Agung minta supaya Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan-pengadilan Negeri dalam menghadapi gugatan terhadap Pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di dalam pelaksanaan tugas peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di atas dan menolak permohonan tersebut”. Penulis ketika bertugas di Mahkamah Agung RI tahun 1982 s.d 1985 pernah menulis artikel dengan judul “Hakim Tidak Dapat Dipraperadilankan” yang dimuat di surat khabar nasional “SINAR HARAPAN”.
Sekalipun KUHAP tentang perkara praperadilan tidak mengatur proses jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon termasuk “eksepsi” di dalamnya. Dalam praktek terdapat Termohon yang mengajukan eksepsi dalam jawabannya, seperti mengenai : Surat kuasa tidak sah, gugatan error in persona, gugatan salah alamat dan salah obyek (error in obyekti), subyek Termohon kurang pihak, penetapan tersangka bukan obyek praperadilan, dan penunjukan subyek hukum yang ditujukan kepada Termohon tidak jelas. Ini merupakan dalil eksepsi yang menurut hukum acara perdata disebut sebagai eksepsi prosesuil yang bermaksud menghalangi dikabulkannya gugatan Penggugat. Kewajiban Hakim untuk mempertimbangkan eksepsi tersebut, apakah dikabulkan atau ditolak yang dinyatakan pula dalam amar putusan atau penetapan. Ada yang berpendapat karena perkara praperadilan tidak mengenal eksepsi sehingga eksepsi Termohon hanya dipertimbangan untuk ditolak dengan tidak dinyatakan dalam amar.
Pemohon praperadilan ketika mendaftar perkara di Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri, layaknya seperti perkara pidana yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum tidak dikenakan “Biaya Panjar Perkara” karena masuk jenis perkara ranah pidana sehingga diberi nomor pidana tersendiri “Pid.Pra”. Padahal permohonan tersebut menuntut ganti rugi sejumlah uang dan untuk dapat terlaksananya persidangan diperlukan pemanggilan kepada pihak Pemohon, Termohon/Para Termohon, dan Turut Termohon. Kaidah hukum acara perdata menentukan untuk perkara permohonan (Volunter) didaftar sebagai perkara perdata dengan dikenakan pembayaran biaya pendaftaran perkara dan hasil pemeriksaan hakim dituangkan dalam “Penetapan” dengan amar “Menetapkan”. Dikenal dengan sebutan “jurisdiction valuntaria” karena hanya ada satu pihak Pemohon dan permohonan yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only), tidak menghadapi pihak lawan dalam perkara ini.
Tidak demikian dengan perkara praperadilan Pemohon berhadapan dengan Termohon dan/atau Turut Termohon sehingga sebagaimana perkara gugatan perdata atau gugatan contentiosa terdapat 2 (dua) pihak yang saling berhadapan. Berimbas pada proses pemeriksaan yang dibatasi selama 7 (tujuh) hari, terdapat jawab menjawab, pemeriksaan bukti surat-surat dan saksi-saksi kedua belah pihak sebelum memutus perkara untuk terpenuhi asas “audie et alteram partem”. Proses ini, termasuk apa yang dimuat dalam putusan atau penetapan dan biaya perkara tidak diatur dalam KUHAP. Akibatnya biaya perkara yang ditetapkan dalam bagian amar bunyinya bervariasi, seperti : Membebankan biaya perkara ini pada negara, menetapkan biaya perkara dalam permohonan praperadilan ini nihil, dan menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil. Lainnya, yakni : Membebankan biaya kepada Para Pemohon sejumlah Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) dan terdapat pula biaya perkara tidak dinyatakan dalam amar putusan.
Status perkara praperadilan ini merupakan perpaduan antara perkara pidana dan perkara perdata sehingga tidak mudah dalam menetapkan biaya perkaranya. Dalam perkara permohonan perdata murni karena hanya ada satu pihak Pemohon, maka biaya perkara dibebankan kepada Pemohon. Demikian juga dalam perkara gugatan terdapat ketentuan yang jelas dan tegas, pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara. Anasir keperdataan perkara tuntutan ganti kerugiaan lebih kental ketimbang sifat pidananya, maka pilihannya condong biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah. Ini sebagaimana perkara Nomor 05/Pid.Pra/2016/PN Pbr “Membebankan biaya perkara kepada Termohon Pra Peradilan I, Termohon Pra Peradilan II dan Termohon Pra Peradilan III sejumlah Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)”.
C. PENUTUP
Putusan ganti kerugian tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 KUHAP) dan untuk perkara yang diputus “gugur” tidak dapat diajukan kasasi sesuai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung No. 227 k/kr/1982 bahwa wewenang pengadilan negeri merupakan kewenangan pengawasan horizontal. Terhadap putusan-putusan praperadilan tidak dimungkinkan pemeriksaan kasasi, karena keharusan cepat dari perkara-perkara praperadilan tidak akan terpenuhi, kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi (R. SOEPARMONO, SH, PRAPERADILAN DAN PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN DALAM KUHAP, Penerbit cv Mandar Maju, hal 55). Penetapan atau putusan praperadilan dalam perkara tertentu dimaknai sebagai produk pengadilan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Ini memberikan sinyal bahwa putusan merupakan “Mahkota Hakim” dan sang Hakim ialah hukum yang berbicara (The judge is the speaking law), sehingga Hakim praperadilan jangan sampai tidak cermat atau kurang cukup mempertimbangkan (on voldoende gemotiveerd) fakta-fakta hukum sesuai hukum pembuktian agar yang diputuskan tidak cacat hukum. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan harus dapat mewujudkan keadilan dan sesuai dengan hukum yang dianut (according to legal justice) supaya tercipta “kepastian hukum (rechts zekerheid)”.
Dengan adanya berbagai perbedaan sebagaimana diuraikan di atas karena KUHAP tidak memberikan pengaturan yang lebih rinci dan jelas untuk acara pemeriksaan perkara praperadilan dan format putusan tidak sebagaimana putusan pidana dimuat dalam Pasal 197, Pasal 199, dan Pasal 200 KUHAP sehingga diperlukan petunjuk dan penjelasan, khususnya tentang putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan (Pasal 96 ayat (1) KUHAP).
Samarinda, 29 Juni 2020
Sumber : https://badilum.mahkamahagung.go.id/berita/58-artikel-hukum.html