Asas-Asas Hukum Acara Pidana

by Admin

Posted on May 22, 2020 18:59

Undang-undang Hukum Acara Pidana disusun dengan didasarkan pada falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara, dimana penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi pasal dan ayat harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tergambar dari sejumlah hak asasi manusia yang terdapat dalam KUHAP yang pada dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan lainnya yaitu UU No. 28 tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang N0. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Disamping itu asas-asas ini juga merupakan panduan penting dalam pelaksanaan berjalannya system peradilan pidana. Karenanya dengan asas-asas ini mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap berjalannya sistem ini dapat berjalan. Asas-asas hukum acara pidana terdiri dari :

 

1. ASAS PRADUGA TAK BERSALAH

Asas ini disebutkan dalam undang-undang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman. Sementara dalam KUHAP. Pasal 8 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam KUHAP Asas ini memang tidak dirumuskan secara tegas. akan tetapi dapat ditafsirkan dari Pasal 66 KUHAP

“Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”

 

Mengandung asas utama perlindungan hak Warga Negara melalui proses hukum yang adil yang mencakup sekurang-kurangnya:

  1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara (aparat penegak hukum);
  2. Pengadilanlah yang berhak menentukan Salah tidaknya tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana;
  3. dan itu (nomor 2) dilakukan dalam sidang pengadilan yang harus terbuka (tidak boleh dirahasiakan);
  4. Tersangka atau terdakwa diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela dirisepenuhnya.

 

Dalam praktik penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, ketentuan pasal 66 KUHAP tidak sepenuhnya dapat diadopsi. Menurut ketentuan pasal 37 undang-undang No.31 tahun 1999 junto undang-undang no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, antara lain memberikan hak terhadap terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Kutip pasal 12 B Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, tentang pembuktian terbalik

 

Hal yang hampir sama juga diatur dalam undang-undang no. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Didalam pasal 78 UU no. 8 tahun 2010 menentukan :

Kutip pasal 78 UU Nomor 8 thn 2010; pembuktian terbalik Kesimpulan:

  • Kesalahan tersangka/terdakwa hanya berdasarkan putusan pengadilan.
  • Karena belum tentu bersalah, tersangka/terdakwa dalam semua tahap pemeriksaan tidak boleh di paksa karena ia belum tentu bersalah.
  • Upaya paksa hanya dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang.

 

 

2. PERLAKUAN YANG SAMA DARI SETIAP ORANG DIMUKA HUKUM DENGAN TIDAK MENGADAKAN PERBEDAAN PERLAKUAN.

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan dimana setiap orang. Asas ini menjadi fundamental dalam Hak asasi manusia karena sangat terkait dengan persoalan diskriminasi yang merupakan dianggap merupakan salah satu permasalahan HAM utama.

Diskriminasi dimaknai sebagai:

“Segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang berdasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dari kehidupan masyarakat” Bagian I, Pasal 1 (1) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965

Dalam melindungi dan melayani masyarakat, penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi secara tidak sah berdasarkan ras, gender, agama, bahasa, Wama kulit, pandangan politik, asal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (UDHR, Pasal 2; ICCPR, Pasal 2 dan 3, CERD, Pasal 2 dan 5) Dalam hal ini upaya-upaya bagi penegak hukum untuk memberlakukan langkah-langkah khusus tertentu yang dirancang untuk menangani status dan kebutuhan khusus dari perempuan (termasuk perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan), anak-anak, orang sakit, orang tua dan lain-lain yang membutuhkan perlakuan khusus sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional (ICCPR), Pasal 10; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women CEDAW, Pasal 4 (2) dan 12 (2); Convention on the Rights of the Child Pasal 37 dan Pasal 40; Standart Minimum Rules for The Treatmen of Prisoners, Pasal 5,8,53,82 dan 85 (2); Body of Principles for the Protection of/Sill Persons under Any Form of Detention or Imprisonment prinsip 5(2); United Nations Standard of Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice Y Peraturan Beijing - peraturan l- 8, Pasal 6 dan 7 UDHR, Pasal l6 ICCPR, Pasal 5 Konvensi Intemasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial).

Setiap negara dihimbau untuk melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan menjamin hak bagi setiap orang, tanpa melihat ras, warna kulit, atau asal bangsa atau suku, untuk diperlakukan sama di dalam hukum, khususnya dalam menikmati hak-hak di bawah ini:

  1. Hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum, pengadilan dan dihadapan badan-badan administrative keadilan lainnya
  2. Hak untuk rasa aman dan perlindungan dari Negara terhadap kekerasan atau kerusakan fisik, baik yang disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, atau lembaga tertentu”. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999, namun belum menyusun UU Anti Diskriminasi.
    • Karenanya secara sederhana asas ini harus dimaknai :
      1. Sama derajat di depan hukum (equal before the law)
      2. Mempunyai perlindungan sama oleh hukum (equal protection on the law)
      3. Mendapat perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal justice under the law).
  3. Dikecualikan dari asas ini ialah asas oportunis menurut Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung berwenang mengesampingkan parkara demi kepentingan umum.

 

3. PERADILAN YANG BEBAS, SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN.

Asas ini harus ditegakkan pada semua tingkat pemeriksa dan sangat menyangkut pada sikap mental aparat penegak hukum. Pada pasal-pasal dalam KUHAP di samping ada tindakan aparat yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu, akan tetapi lebih banyak pasal yang hanya menyebutkan dengan kata “ Adanya dua titik perhatian yang penting, yaitu:

  1. Adanya peradilan yang bebas dari pengaruh apapun (independent judiciary);
  2. Proses peradilan pidana harus dilakukan secara cepat dan sederhana (speedy trial).

Kebebasan peradilan adalah titik pusat dari konsep negara hukum yang menganut paham “rule of Iaw”, di mana hukum ditegakkan dengan secara tidak memihak (impartial), baik terhadap tersangka/ terdakwa/ pelaku, Jaksa Penunut Umum dan korban (masyarakat).

Peradilan yang bebas tidak akan mengijinkan bahwa seseorang telah “dianggap bersalah” sebelum adanya pembuktian yang kuat tentang hal itu, Tidak akan mengijinkan adanya “show trials” di mana terdakwa tidak diberikan atau dikurangi kesempatan yang layak untuk membela diri secara maksimal. Sehingga pembatasan Waktu persidangan dengan mematok sekian hari, adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap upaya hukum untuk mencari kebenaran materiil. Tidak hanya merugikan terdakwa namun juga merugikan hakim dan terutama adalah merugikan hukum.

Adalah suatu bentuk penjelmaan “peradilan yang sesat” apabila orang sudah dapat menduga bahwa putusan hakim akan mempersalahkan terdakwa tanpa menghiraukan pembuktian ataupun pembelaan. Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 1981, menyatakan :

“Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa”

Proses peradilan yang cepat dan sederhana merupakan tuntutan yang logis dari setiap tersangka atau terdakwa, apalagi dirinya dalam tahanan. Dengan mengingat pada:

  • Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa Surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (Pasal 18 (2))
  • Atas setiap waktu pengurangan kebebasan tersangka atau terdakwa harus dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya demi kepentingan penyelesaian perkaranya
  • Pasal 24 (3), Pasal 25 (3), Pasal 26 (3), Pasal 27 (3), Pasal 223 (3), Pasal 29 (5) “ tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi”
  • Pasal 29 (4) ”Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat 3 dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggungjawab”
  • Pasal 50 “Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum, dan kemudian segera pula diadili oleh pengadilan”
  • Pasal 52 “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”
  • Pasal 102 : Penyelidik yang menerima laporan wajib segera melakukan...
  • Pasal 107 : ...... la segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada ......
  • Pasal 110 : ...... Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara ......

Dan banyak lagi pasal-pasal yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk melaksanakan tugas wewenangnya dengan cepat dan tepat dengan menggunakan kata segera sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan berapa lama (jangka waktu) suatu penyelidikan atau penyidikan dilakukan. Kalau bisa penyidikan diselesaikan dalam Waktu 20 hari mengapa harus menunggu sampai 60 hari. Semua tindakan harus dilakukan segera mungkin, apa yang dapat diselesaikan hari ini jangan ditunggu sampai hari esok.

Adapun mengenai asas sederhana, artinya dalam penanganan suatu perkara harus cepat dan tepat, jangan bertele-tele, asas sederhana ini dapat dilihat pada acara pemeriksa singkat dan cara pemeriksaan cepat. Asas sederhana juga tercermin dalam hal tertangkap tangan, pemeriksaan praperadilan, penggabungan pemeriksaan, perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi.

Sedangkan mengenai asas biaya ringan dapat kita lihat pada Surat edaran MA No. KMA/155/X/1881 tanggal 19 Oktober 1981 yaitu minimal Rp 500,00 dan maksimal Rp. 10.000,00.

 

4.PERADILAN YANG TERBUKA UNTUK UMUM.

Dimaksudkan adalah adanya “public hearing” dan dimaksudkan untuk mencegah adanya “secret hearings”, di mana masyarakat tidak dapat berkesempatan untuk mengawasi apakah pengadilan telah secara seksama melindungi hak terdakwa dan dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada (hukum beracara).

Asas ini tidak dimaksudkan untuk diartikan peradilan merupakan suatu “show case” atau dimaksudkan sebagai “instrument of deterence” baik dengan cara mempermalukan terdakwa (prevensi khusus) atau untuk menakut-nakuti masyarakat atau „potential offenders” (prevensi umum).

Pasal 53 (3) KUHAP berbunyi:
”Untuk keperluan pemeriksaan hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak (pengadilan anak).

Dalam hal ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Bahkan dalam pasal 195 KUHAP berbunyi ;

”Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”.

Dengan demikian berarti dalam perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak pun, putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam hal perkara tindak pidana yang terkait dengana anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), menentukan bahwa persidangan terhadap perkara tersebut dilakukan secara tertutup. Kutip pasal dalam UU SPPA

 

5. GANTI RUGI DAN REHABILITASI

Hak ini mengandung dua asas:

Pertama, hak warga negara untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk ganti kerugian (uang) dan rehabilitasi (pemulihan nama);

Kedua, kewajiban dari pejabat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perilakunya dalam melaksanakan penegakan hukum, dengan tidak membebankan keseluruhan tanggungjawab kepada Negara.

Penjelasan UU Nomor 8 Tahun 1981 ”bahwa pembangunan hukum nasional dibidang acara pidana adalah untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia”.

Jaminan akan hal tersebut tertuang di dalam:

  • Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 9 ayat (1) menyatakan “ Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”. Sedangkan ayat

 

  • Praperadilan Pasal 77 - Pasal 83 UU Nomor 8 Tahun 1981
  • Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Pasal 95-Pasal 97 UU Nomor 8 Tahun 1981 dan PP Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 7 - Pasal 15
  • Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 9 ayat (2) dengan tegas menyatakan “pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana”. Artinya setiap pejabat yang telah menangkap, menahan, menuntut dan mengadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, maka pejabat tersebut dapat dipidana.

Kutip ketentuan UU Terorisme, TPPO, Perlindungan Saksi dan Korban, dsb.

 

6. PENANGKAPAN, PENAHANAN. PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN HANYA DILAKUKAN BERDASAR PERINTAH TERTULIS.

Undang - Undang Pokok - Pokok kekuasaan Kehakiman (update dengan UU yang baru) merumuskan :

Pasal 7
 
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, atau penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
  • Hak-hak individu tersebut hanya dapat dilanggar berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan oleh pejabat negara yang ditentukan dalam undang-undang.
  • Kutip Perma No. 1 tahun 2013 tentang tata cara penanganan aset yang tidak diketahui pemiliknya.
  • Dalam hal penyidik melakukan kewenanganya khususnya dalam melakukan tindak upaya paksa yang pada dasarnya merampas kebebasan baik terhadap harta maupun orangnya. Pada dasarnya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia akan tetapi dibenarkan asal dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang.
  • Dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan penyidik terlebih dahulu memperkenalkan diri, menunjukkan surat perintah penggeledahan/penyitaan; surat izin penetapan ketua Pengadilan Negeri, dibuatkan berita acara yang disaksikan dua orang saksi dan ditandatangani semua pihak yang terkait, kalau perlu disaksikan lurah/kepala desasetempat.
  • Dalam melakukan Penangkapan/penahanan harus memperlihatkan identitas diri, surat perintah penangkapan/penahanan, dibuatkan berita acara penangkapan/penahanan dan ditandatangani penyidik dan tersangka.
  • Turunan surat perintah penangkapan/penahanan harus memuat identitas lengkap tersangka dengan menyebutkan alasan dilakukan penangkapan/penahanan dengan surat perintah penangkapan/penahanan diberikan kepada tersangka dan turunannya disampaikan kepada keluarganya.

 

Sumber : Modul Hukum Acara Pidana Diklat Kejaksaan RI

 

Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 1798

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image
Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay