Asas-asas Hukum Acara Perdata

Posted on May 21, 2020 17:09

Menurut terminologi bahasa, yang dimaksud dengan istilah asas ada dua pengertian. Arti asas yang pertama adalah dasar, alas, fundamen. Sedangkan arti asas yang kedua adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat dan sebagainya. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip, dan jiwa atau cita-cita. 

Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.

Asas-asas pada dasarnya yang berlaku dalam bidang Hukum Acara Perdata telah diperkenalkan oleh van Boneval Faure pada tahun 1873 dalam bukunya Het Nederlandse Burgerlijke Procesrecht. Sejak tahun 1970-an dikenal istilah Asas-asas Umum Peradilan yang Baik (Algemene beginselen van beheerlijkrechtspraak) atau Asas-asas Hukum Acara yang Baik (Algemene beginsele behoorlijk procesrecht). 

Berkenaan dengan asas-asas hukum acara perdata Setiawan mengemukakan 7 (tujuh) asas hukum acara perdata, yakni: 
  • asas kesederhanaan, 
  • kesamaan kedudukan para pihak, 
  • keaktifan hakim memimpin persidangan, 
  • persidangan dilakukan dalam bentuk tanya jawab secara lisan, 
  • terbuka untuk umum, 
  • putusan berdasarkan pertimbangan yang cukup dan 
  • penyelesaian perkara dalam jangka waktu yang wajar. 

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo beberapa asas penting dalam hukum acara perdata adalah 
  • hakim bersifat menunggu, 
  • hakim pasif, 
  • sifat terbuka persidangan, 
  • mendengar kedua belah pihak, 
  • putusan harus disertai alasan-alasan, 
  • beracara dikenakan biaya dan 
  • tidak ada keharusan mewakilkan. 


Subekti mengatakan bahwa beberapa sifat hukum acara dalam HIR masih juga bisa dipertahankan, misalnya:
  • bentuk pengajuan gugat sebagai suatu permohonan kepada hakim, 
  • prinsip musyawarah dan mufakat, 
  • pemeriksaan langsung terhadap para pihak yang berperkara atau wakil mereka yang pada prinsipnya dilakukan secara lisan. 

Sifat hukum acara ini menurut Prof. Supomo juga adalah: 
  • Acara dengan lisan, 
  • acara langsung, 
  • tidak diwajibkan bantuan ahli, 
  • hakim adalah aktif, 
  • kewajiban hakim memberi keterangan kepada kedua belah pihak, 
  • hakim memimpin proses, 
  • kemerdekaan hakim, 
  • sidang terbuka dan
  • musyawarah tertutup serta pengucapannya terbuka.

Asas-asas yang dirumuskan oleh ahli-ahli hukum tersebut diatas, selain terdapat persamaannya juga terdapat perbedaannya, meskipun perbedaan itu hanya dalam penyebutan atau penggunaan istilah. Perbedaan yang terdapat dalam rumusan tersebut pada hakekatnya tidak bersifat prinsip dan bahkan dapat pula dijadikan bagian dari asas. Setelah ditambah dan dilengkapi serta disempurnakan akhirnya dapat dirumuskan asas hukum acara perdata yang dapat dipertimbangkan bagi perumusan materi muatan hukum atau perundang- undangan mengenai Hukum Acara Perdata yaitu: 


1) Asas Negara Hukum Indonesia 

Asas Negara Hukum Indonesia merupakan salah satu asas terpenting dari Undang- Undang Dasar 1945. Karenanya menjadi salah satu asas penting pula dari Hukum Tata Negara dan Peradilan. Dalam konteks pembangunan nasional umumnya dan pembangunan hukum nasional khususnya, asas negara hukum mutlak dijadikan sebagai salah satu asas pembangunan. 

Asas Negara Hukum Indonesia mempunyai korelasi erat dengan peradilan, sebab salah satu unsur Negara Hukum Indonesia adalah peradilan, sehingga baik secara teoritis maupun yuridis jaminan eksistensi peradilan menemukan landasan, dasar atau fundamennya dalam konsep Negara Hukum Indonesia. Karena itu pula secara teoritis- yuridis sangat tepat dan beralasan apabila asas Negara Hukum Indonesia, dijadikan dasar utama dalam konsiderans dan Penjelasan Umum Undang-Undang Hukum Acara Perdata. 

Mengingat Asas Negara Hukum Indonesia merupakan salah satu asas penting dari asas peradilan, maka asas tersebut tidak dapat dipisahkan dari asas-asas lainnya, bahkan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling terkait dengan asas lainnya, yakni asas demokrasi, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan dan keserasian, peradilan bebas dan merdeka, musyawarah dan persamaan dihadapan hukum dan lain-lain. 


2) Asas Kekeluargaan 

Asas kekeluargaan akan melahirkan kerukunan hubungan Pemerintah dengan warga masyarakat. Inilah salah satu substansi konsep Negara Hukum Indonesia. Karenanya Hukum Acara Perdata harus pula didasari dan dirujuk kepada asas kekeluargaan tersebut terutama dengan dimasukkannya upaya perdamaian sebagai bagian dari sistem Hukum Acara Perdata Indonesia. Upaya perdamaian harus mampu berperan menjaga dan mewujudkan keserasian, keseimbangan dan keselarasan hubungan antara Pemerintah dengan warga masyarakat dalam kesatuan dan persatuan, sehingga terwujud kerukunan yang ditopang semangat asas kekeluargaan dengan tetap berpedoman pada asas musyawarah. 


3) Asas Serasi, Seimbang Dan Selaras 

Keserasian, keseimbangan dan keselarasan dalam segala aspek serta dimensinya merupakan jiwa dari Pancasila. Apabila jiwa Pancasila diformulasikan ke dalam cita-cita Negara Hukum Indonesia, maka tujuan Negara Hukum Indonesia pada dasarnya adalah mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang dan selaras, antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan warga masyarakat serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. 

Karena asas serasi, seimbang dan selaras dijadikan atau dinormativisasikan sebagai salah satu asas dalam konsiderans dan Penjelasan Umum Undang-Undang Hukum Acara Perdata, maka tujuan tidak semata-mata memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perseorangan, melainkan sekaligus melindungi dan meletakkannya secara serasi, seimbang dan selaras dengan hak-hak masyarakat. 


4) Asas Persamaan Dihadapan Hukum 

Asas persamaan dihadapan hukum (the equality before the law) merupakan salah satu asas penting negara hukum, meskipun dalam penegakannya terdapat penonjolan yang berbeda antara negara hukum (the rule of law) di negara-negara anglo saxon, dengan negara hukum (rechtsstaat) di negara-negara Eropa continental. Asas persamaan dihadapan hukum melahirkan ketentuan, setiap tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dapat dituntut pertenggungjawabannya dihadapan pengadilan, tidak terkecuali tindakan yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh pemerintah. 


5) Asas Peradilan Netral 

Peradilan Netral ialah peradilan yang bebas dan merdeka. Sebab suatu peradilan yang netral hanya dapat diwujudkan apabila peradilan itu bebas dan merdeka. Secara teoritis peradilan merupakan salah satu unsure penting negara hukum dan merupakan sarana untuk menegakkan dan melindungi hak-hak asasi manusia serta sebagai benteng terakhir dalam menegakkan hukum dan keadilan. Secara yuridis jaminan Eksistensi peradilan netral, bebas dan merdeka dipatrikan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 24 beserta Penjelasannya UUD 1945, dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman, termasuk dari campur tangan pemerintah baik langsung maupun tidak langsung. 


6) Asas Kesatuan Beracara 

Hukum Acara (formal) merupakan sarana untuk menegakkan hukum material yang menggambarkan proses atau prosedur yang harus ditempuh dalam proses peradilan. Untuk itu harus terdapat kesatuan atau keseragaman beracara bagi peradilan umum (perkara perdata) di seluruh dilayah Republik Indonesia. Ketiadaan kesatuan beracara dapat berakibat goyahnya sendiri-sendiri kepastian hukum dan merugikan warga masyarakat pencari keadilan, selain itu dapat pula menimbulkan kesulitan bagi penegakan hukum untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. 

7) Asas Musyawarah Dan Perdamaian 

Prinsip musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat dan dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 menanamkan prinsip adanya kewajiban bagi setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya untuk selalu berdasarkan musyawarah. Tujuannya adalah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan (absolute) kepada seseorang dalam pengambilan keputusan, sehingga dapat merugikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat. 

Melaksanakan musyawarah harus dilandasi oleh jiwa persaudaraan sesuai dengan prinsip negara hukum Indonesia, dengan tidak mengutamakan siapa yang menang atau kalah. Dalam musyawarah yang diutamakan adalah hal-hal kebaikan karena itu prinsip perdamaian haruslah selalu dijunjung tinggi dan diutamakan dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, termasuk dalam hubungan antara Pemerintah dengan rakyatnya. Dengan demikian, penyelesaian sengketa melalui putusan peradilan hanya akan dijadikan sarana terakhir apabila prinsip musyawarah dan perdamaian telah diupayakan semaksimal mungkin. 

Asas musyawarah dan perdamaian juga tercermin dalam hukum acara perdata, misalnya dalam perdamaian para pihak yang harus diupayakan maksimal oleh hakim dan dalam mekanisme pengambilan putusan. Memang ada pendapat yang mempertanyakan apakah dalam proses hukum acara, masih dimungkinkan adanya musyawarah dan perdamaian antara pihak penggugat dengan tergugat. Apabila pertanyaan tersebut disambung-hubungkan dengan konsep negara hukum Indonesia, misalnya asas kekeluargaan, kerukunan, keserasian, keseimbangan, dan keselarasan, sudah barang tentu adanya musyawarah dan perdamaian itu tidak bertentangan dan bahkan sejalan dengan cita-cita negara hukum Indonesia. 

Pendapat lain yang mempersoalkan, bagaimanakah hubungannya dengan asas presumtio justea causa atau asas het vermoeden van rechtmatigheid. Asas ini tentu hanya dimungkinkan apabila dikaitkan dengan adanya suatu sengketa atau keberatan atau banding dari pihak yang terkena keputusan dan merasa dirugikan dengan keputusan tersebut. Akan tetapi bilamana masing-masing pihak yang bersengketa menyadari kesalahan dan kekeliruannya, maka dengan sendirinya sengketa tidak lagi perlu diteruskan dan sengketa dapat diselesaikan dengan cara musyawarah sehingga tercapai perdamaian. 

Hukum acara perdata mengenal asas perdamaian kepada penggugat dan tergugat, yang pelaksanaannya dilakukan diluar persidangan. Konsekuensi dari perdamaian itu penggugat akan mencabut gugatannya dan apabila pencabutan dikabulkan, maka hakim memerintahkan agar Panitera mencoret gugatan dari register perkara ataupun para pihak sepakat membuat akta perdamaian yang kemudian dimintakan kepada Majelis dibuat putusan perdamaian. 


8). Hakim Bersifat Menunggu 

Hukum Acara Perdata, dalam hal tuntutan hak diajukan para pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya (iudex no procedat ex officio). Asas ini disebut dengan asas hakim bersifat menunggu (lihat Pasal 118 HIR, 142 RBg). Dengan kata lain, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Bila tidak ada tuntutan hak dari para pihak, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein richter; nemo judex sine actor). 


9). Hakim Bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van Rechter) 

Batas ruang lingkup pokok perkara tidak ditentukan oleh hakim, melainkan oleh para pihak yang berperkara. Hakim dalam hal ini bersifat pasif saja. Hakim hanya berfungsi membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak saja (secundum allegat iudicare). 

Asas hakim bersifat pasif ini juga mengisyaratkan adanya batasan kepada hakim untuk tidak dapat mencegah, bila para pihak mencabut gugatannya atau menempuh jalan perdamaian (Pasal 130 HIR, 154 RBg, dan 10 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009). Disamping itu hakim hanya berhak mengadili luas pokok perkara yang diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2), (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBg). Namun dalam perkembangannya, asas ini banyak mengalami pergeseran dan perubahan, dimana hakim cenderung bersifat aktif. Padahal Mahkamah Agung senantiasa berupaya tetap mempertahankan eksistensi ketentuan Pasal 178 HIR dan Pasal 189 RBg. 

Konteks ini juga mengenal asas Verhandlungs-maxime yaitu hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Dengan demikian para pihak saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Kebalikan dari asas ini adalah Untersuchung-maxime yaitu hakim diwajibkan untuk mengumpulkan bahan pembuktian untuk kepentingan pemeriksaan sengketa. 


10). Peradilan Terbuka Untuk Umum (Openbaarheid Van Rechtspraak) 

Asas ini mengisyaratkan bahwa sidang pemeriksaan di pengadilan bersifat terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mengikuti jalannya pemeriksaan perkara di persidangan. Sebelum perdata mulai disidangkan, hakim harus menyatakan bahwa sidang perkara tersebut dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. Bila kaedah formal ini tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan batal demi hukum. 

Secara formil, asas ini memberikan kesempatan bagi control sosial dan memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam bidang peradilan. Disamping itu, asas ini bertujuan untuk menjamin proses peradilan yang fair dan obyektif, tidak memihak, serta terwujudnya putusan hakim yang adil. 

Berdasarkan Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa ―sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-undang menentukan lain. Tujuannya yaitu untuk mencegahpenjatuhan putusan-putusan berat sebelah atau semena-mena, siding-sidang harus berlangsung di muka umum. 

Hakim dapat memerintahkan dilakukannya pemeriksaan sepenuhnya atau sebagiannya dengan pintu tertutup yaitu: 

a) Untuk perkara kesopanan atau kesusilaan; 
b) Untuk kepentingan anak-anak dibawah umur; 
c) Untuk persidangan rahasia dalam perkara paten. 

Prinsip keterbukaan, dipakai sebagai landasan beracara perdata yang mempunyai arti preventif dengan maksud untuk menjamin keobjektifan pemeriksaan Pengadilan. 

Musyawarah Hakim (Raad kamer) dilakukan dengan pintu tertutup sehingga pendapat hakim yang berbeda (dissenting) opinion) dalam musyawarah itu dirahasiakan. 

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, hasil musyawarah hakim beserta dissenting opinions-nya terbuka untuk diketahui untuk umum. 


11). Proses Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan 

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) mensyaratkan adanya asas penting dalam Hukum Acara Perdata yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. 

Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif; biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun demikian asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. 


12). Prinsip Penyelesaian Perkara dalam Tenggang Waktu yang Pantas 

Pasal 4 (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Bahkan, dicantumkan ketentuan bahwa dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri tanggal 21 Oktober 1992, ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI tenggang waktu penyelesaian perkara paling lambat 6 (enam) bulan dengan ketentuan apabila tenggang waktu tersebut terlampaui harus melaporkan keterlambatan tersebut kepada pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI. 


13). Hakim Mengadili Kedua Belah Pihak (Horen Van Beide Partijen) 

Hukum Acara Perdata merupakan salah satu bagian dari hukum privat yang mengatur kepentingan perseorangan (bijzondere belangen). Konsekuensi yuridis yang ditimbulkan adalah hakim harus adil dalam memeriksa perkara. Dengan kata lain, hakim harus memperlakukan kedua belah pihak yang berpekara dalam kapasitas yang sama, tidak memihak, dan mendengar keterangan dari kedua belah pihak tersebut. Konkritnya pengadilan mengadili menurut hukum dengan tanpa membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009). 

Mendengar kedua belah pihak juga disebut ―prinsip kesetaraan atau audi et alteram partem. Prinsip kedua pihak berhak atas proses atas proses pemeriksaan di pengadilan (audi et alteram partem) bila prinsip tersebut tidak ditunjang oleh proses pemeriksaan yang memadai, dapat menimbulkan keputusan yang tidak fair. Dengan aturan yang mengatur hak kedua belah pihak untuk didengar oleh Hakim, harus ada keseimbangan kepentingan tergugat dan penggugat dan hak diadili tidak boleh dirusak dengan fakta tergugat tidak dapat menghadap pengadilan. 

Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai keterangan yang benar, bila pihak lawan tidak diberi kesempatan untuk didengar keterangan atau pendapatnya. Hal ini juga bermakna bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka siding yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 ayat (2) HIR, 145 ayat (2), 157 RBg. 47 Rv). 


14). Pemeriksaan dalam dua Instansi (Onderzoek In Twee Instanties) 

Pengertian pemeriksaan dalam dua instansi dilakukan oleh Pengadilan negeri dan pengadilan Tinggi yang merupakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor: 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 

8 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009) dan kemudian berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Negeri Tertinggi (Pasal 3 ayat (2) Undang- undang Nomor: 2 Tahun 1986 dan Pasal 2 Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 jo. 

Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009). Disamping itu pula pada Pasal 6 Undang-undang Nome: 2 Tahun 1986 ditegaskan pula bahwa Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan Tingkat Banding. 

Para pihak yang tidak puas dan tidak menerima putusan pengadilan negeri dapat melakukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Sebenarnya pemeriksaan perkara di tingkat banding identik dengan apa yang dilakukan di pengadilan negeri, dan merupakan pengulangan pemeriksaan perkara saja. Peradilan tingkat pertama disebut juga dengan original jurisdiction, sedangkan peradilan dalam tingkat banding yang bersifat mengulang pemeriksaan perkara yang telah diputus oleh pengadilan dalam peradilan tingkat pertama disebut dengan appellate yurisdiction. 

Putusan Mahkamah Agung RI sebagaimana tersebut di atas jelaslah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi merupakan peradilan yang memeriksa mengenai faktanya (Yudex Facti). Sehingga dengan demikian menurut Asas-asas Umum Hukum Acara Perdata Indonesia lazim dalam praktik disebut pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek in twee instanties). 


15). Pengawasan Putusan Pengadilan Lewat Kasasi (Toezicht Op De Rechtspraak Door Middel Van Cassatie) 

Pengawasan putusan Pengadilan lewat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sedangkan putusan Pengadilan yang diawasi adalah putusan yudex facti dimana dilakukan oleh pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Pengadilan Tingkat Banding) atau tingkat terakhir dari semua Lingkungan Peradilan (Undang- undang Nomor: 48 Tahun 2009), Pasal 28, 29 Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, Pasal 32 Undang-undang Nomor: 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009). 

Karena sifat pengawasan putusan Pengadilan lewat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung RI sebagaimana tersebut di atas apabila dijabarkan lebih lanjut pada hakekatnya. Asas ini mengandung 2 (dua) elemen penting, yaitu: 

Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 30 Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jis. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 sebagai pengawasan putusan Pengadilan lewat kasasi maka Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena: 
  • Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,
  • Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
  • Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Kedua, karena Mahkamah Agung hanya melakukan cara mengadili sebagaimana ketentuan Pasal 30 Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 maka dapat disebutkan lebih jauh bahwasanya Mahkamah Agung bukanlah peradilan (instansi) tingkat tiga. Hal ini disebabkan mengenai fakta-fakta tidak termasuk penilaian Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. 

Mahkamah Agung memisahkan masalah fakta (feitelijke vragen) dengan masalah hukum (rechtsvragen). Jadi Mahkamah Agung RI terikat pada fakta-fakta yang telah diputus oleh pengadilan tingkat akhir (yudex facti) dimana tentang penguraian duduknya perkara tidak akan diperiksa ulang. Maka oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa peradilan kasasi bukanlah merupakan peradilan tingkat tiga. 

Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung bukan merupakan instansi/peradilan tingkat tiga. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 30 Undang-undang Nomor: 

14 Tahun 1985 sehingga dengan demikian Mahkamah Agung harus memisahkan masalah fakta (feitelijke vragen) dengan masalah hukum (rechtsvragen). 

Tugas pengawasan dalam teknis peradilan seperti di atas maka Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi juga berfungsi sebagai pengawas teknis administrative yaitu terhadap teknis peradilan, administrasi peradilan dan perbuatan dan tingkah laku Hakim dan Pejabat Kepaniteraan. 


16). Berperkara Dikenakan Biaya (Niet-Kosteloze Rechtspraak) 

Berperkara di peradilan perdata akan dikenakan biaya perkara Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR, Pasal 145 ayat (4), Pasal 192, Pasal 194 RBg). 

Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan, biaya materai dan biaya administrasi (SEMA No. 5 Tahun 1994). Demikian pula, bila para pihak menggunakan jasa pengacara atau konsultan hukum, maka tentu juga harus mengeluarkan biaya. 

Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada Ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara cuma-cuma (profesional deo) dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 RBg). Dalam praktik, surat keterangan tidak mampu ini cukup dibuat oleh kepala desa yang disahkan oleh camat di daerah yang berkepentingan menetap. Permohonan perkara secara prodeo ini akan ditolak hakim, bila ternyata penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu. 


17). Tidak Ada Keharusan Mewakilkan Dalam Beracara 

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan penyelesaian perkaranya kepada orang lain. Dengan demikian, pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Namun demikian, para pihak dapat dibantu dan atau diwakili oleh kuasa hukumnya bila dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg). 

Hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, bila pemeriksaan para pihak dilakukan secara langsung. Para pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwa. 

HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa hukum, namun tidak ada ketentuan bahwa kuasa hukum tersebut harus seorang ahli hukum atau sarjana hukum. Meskipun dalam praktik, hampir semua kuasa hukum yang mewakili para pihak adalah sarjana hukum. Menurut RO, yang dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa hukum antara lain adalah ia adalah seorang sarjana hukum (Pasal 186 RO). Tujuannya adalah untuk lebih menjamin pemeriksaan yang obyektif, melancarkan jalannya persidangan, dan mendapatkan putusan hakim yang adil. 

Berbeda dengan HIR, Rv justru mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain (procureur) untuk beracara di muka persidangan. Dalam hal ini mewakilkan suatu perkara adalah suatu keharusan, dengan akibat batalnya tuntutan hak atau dapat diputuskan di luar hadir tergugat (verstek) bila para pihak ternyata tidak diwakili (asal 106 ayat (1) dan Pasal 109 Rv). 

18). Prinsip Memberi Alasan (Motivering) Yang Cukup (Voldoende Gemotiveerd) Suatu Putusan Pengadilan 

Prinsip memberi alasan (motivering) terhadap putusan mempunyai hubungan dengan prinsip terbuka untuk umum dan mempunyai maksud dan tujuan: 

  • Memberikan kepada para pihak pemahaman tentang cara berpikir hakim yang telah menghasilkan putusan.
  • Memberikan ruang dan peluang bagi hakim pengadilan yang lebih tinggi untuk menilai kebenaran putusan yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan yang lebih rendah.
  • Menjamin mutu peradilan.

Putusan pengadilan harus disertai dengan alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 dan 53 Undang-undang Nomor: 48 Tahun 2009, dan Pasal 319 HIR, dan 195, 618 RBg). Alasan atau argumentasi ini dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga dengan demikian memiliki nilai- nilai obyektif. Karena adanya alasan dan argumentasi inilah maka putusan hakim memiliki wibawa dan bukan karena figure hakim tertentu yang memutuskannya. Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. 

Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terikat dan harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan sebelumnya oleh PN, PT, atau MA. Meskipun sistem peradilan di Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent, seperti yang dianut di Inggris, namun dirasakan amatlah naf bila hakim memutuskan bertentangan dengan putusan yang telah ada sebelumnya dalam perkara yang sejenis. Hal ini disebabkan karena akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. 

Prinsip yang menyatakan bahwa suatu putusan pengadilan harus diberi suatu pertimbangan yang cukup (voldoende gemotiveerd). Apabila tadi dikatakan bahwa sifat terbukanya siding merupakan prasyarat bagi adanya kepercayaan terhadap lembaga peradilan, adanya suatu pertimbangan yang cukup dalam putusan hakim merupakan salah satu upaya untuk memupuk timbulnya kepercayaan tadi. 

Dicantumkannya motivering dalam suatu putusan hakim merupakan jaminan bagi peradilan yang tidak memihak dan bahkan membantu menghindarkan kesan bahwa seorang hakim bertindak sekehendak kesan bahwa seorang hakim bertindak sekehendak hati dalam menjatuhkan putusan-putusannya. Di permulaan abad ini, Van Boneval Faure sudah menyatakan bahwa kekuatan moral suatu putusan hakim terletak pada pertimbangan-pertimbangannya: In die motivering light de zedelijke kracht van het vonnis 


19). Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 

Lingkungan peradilan yang ada di Indonesia dalam proses pengadilan harus dilakukan atas prinsip ―Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009).

Sumber : RUU Hukum Acara Perdata

Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 6431

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image
Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay