oleh Estomihi Simatupang, SH
Perjanjian menurut KUHPerdata Pasal 1313 adalah "suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih". Sepanjang perjanjian itu dilakukan dengan tidak melanggar Undang-undang maka perjanjian itu adalah sah. Hal ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian yang harus dipenuhi yaitu 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Oleh karena perjanjian adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan, maka suatu perjanjian harus menyebutkan apakah perjanjian itu dilakukan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Terhadap perjanjian dengan memberatkan maka perlu disebutkan dan dijelaskan apa saja yang harus diberikan, dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini dapat kita lihat pada pasal 1319 KUHPerdata "Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu"
Suatu perjanjian sebaiknya dilakukan dengan tertulis meskipun suatu perjanjian tidak harus dilakukan dengan tertulis. KUHPerdata tidak mengatur apakah suatu perjanjian harus dilakukan dengan tertulis atau tidak tertulis sehingga KUHPerdata memberikan kebebasan bagi mereka yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian dengan tertulis atau tidak dengan tertulis.
Perjanjian tidak tertulis adalah sah sepanjang memenuhi ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1320 mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Akan tetapi perjanjian tidak tertulis ini akan mengalami kesulitan dalam hal pembuktian terhadap gugatan yang diajukan ke pengadilan manakala pihak yang digugat tidak mengakui adanya perjanjian tersebut (ingkar) dihadapan hakim (Pasal 1927 KUHPerdata "Suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak dapat digunakan untuk pembuktian, kecuali dalam hal pembuktian dengan saksi-saksi diizinkan."). Hal mengenai pengakuan yang dapat dijadikan sebagai pembuktian ini dapat kita lihat pada KUHPerdata Pasal 1923 s/d Pasal 1928. Disamping tidak adanya pengakuan dari pihak yang digugat, kendala yang mungkin akan dihadapi adalah saksi-saksi (lebih dari satu orang) yang mendengar dan melihat langsung ketika perjanjian itu diadakan (Pasal 1905 KUHPerdata "Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya"). Hal tentang pembuktian dengan saksi ini terdapat pada Pasal 1906 s/d Pasal 1912 KUHPerdata. Secara keseluruhan mengenai pembuktian ini dapat kita lihat pada KUHPerdata Buku ke IV (keempat) tentang Pembuktian dan Kedaluwarsa, yaitu 1) Pembuktian dengan Tuliasan, 2) Pembuktian dengan saksi-saksi, 3) Pembuktian dengan Persangkaan, 4) Pembuktian dengan Pengakuan dan 5) Sumpah dihadapan Hakim.
Kesulitan dan kendala serta minimnya alat bukti yang diajukan dalam pembuktian di pengadilan akan berakibat ditolaknya gugatan tersebut.
Referensi :
1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)