Sejarah Hukum Agraria Kolonial

by Admin

Posted on May 28, 2020 19:09

Sejarah Hukum Agraria Kolonial

 
Indonesia mengenal istilah tanah dengan sebutan Agraria. Dari segi masa berlakunya Hukum Agraria di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan Hukum Agraria Nasional berlaku setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
 
Sedangkan pada masa Kolonial Hindia Belanda ada beberapa periode dalam hal kebijakan pertanahan di Indonesia. Tonggak pertama terjadi pada masa VOC (Verenigde Oost Indische) sekitar tahun 1692 - 1799, mendapat actrooi atas nama Sulten General diberi kekuasaan untuk mengadakan perjanjian dengan para raja yang berkuasa pada waktu itu. Segala perjanjian yang dibuat antara lain bertujuan untuk memperluas daerah dan menanamkan pengaruh dalam rangka menjamin hasil – hasil perdagangannya. Sementara itu, VOC juga menerapkan hukum acara yang berlaku di Belanda untuk beberapa daerah kekuasaannya, khususnya memberlakukan berbagai aturan hukum Barat di bidang Pertanahan. Dalam hal ini, VOC tidak memperdulikan hak – hak tanah yang  dipegang oleh rakyat asli dan raja – raja Indonesia. Tonggak kedua terjadi pada masa Governeur Generaal Mr. Herman Willem Daendels (1808 – 1811). Ketika berakhirnya masa kekuasaan VOC di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1799, kekuasaan diserahkan kepada Bataafse Republiek yang mulai memegang kekuasaan pada 1 Januari 1800. Hal ini menandai pergantian kekuasaan dari kalangan pedagang kepada pemerintahan yang bersifat politis. Sehubungan dengan itu, Adam Smith, seorang guru besar dari Glasgow berpendapat bahwa pedagang itu tidak dapat menjalankan pemerintahan. Pedagang akan mengabaikan kepentingan pertanian dan perusahaan, bila cabang – cabang kemakmuran ini tidak memberikan keuntungan kepada usaha dagangnya. Sehubungan dengan itu, muncul dua aliran pendapat yang saling bertentangan satu sama lain yaitu :
  • Aliran Mr. Nederburg (bekas Komisaris Jenderal 1791 – 1799) yang mempertahankan stelsel bestuur lama yaitu bestuurs ambtenaar harus dipegang oleh para pedagang, dan stelsel monopoli harus dijalankan sekuat tenaga. Jadi, pada dasarnya memberikan tempat kepada para pedagang unutk memegang hak monopoli dan menentukan kemanfaatan dan penggunaan tanah.
  • Aliran Dirk van Hogendorp (1799 – 1808 bertugas di Jawa Timur) mempunyai faham yang lebih maju. Bestuur harus dipisahkan dari usaha – usaha perdagangan yang bebas. Kerja rodi dan cultuur stelsel harus dihapuskan. Hendaknya dibentuk tata pemerintahan dan peradilan yang baik dan benar. Harus diadakan pengaturan untuk melindungi hak atas tanah perorangan bagi golongan bumi putra (individuel grondbezit).

Kemudian pada tahun 1808 – 1811, Mr. Herman Willem Daendels menduduki jabatan di Indonesia sebagai pengganti Wiese (Wali Negara terakhir pada zaman VOC). Herman Willem Daendels sangat menentang politik liberal yang di prakarsai oleh Van Hogendorp dan sebaliknya justru mendukung Nederburg yaitu Stelsel contingenten dan Verplichte tetap dilangsungkan, bahkan lebih ditingkatkan dengan sistem kerja rodi dan tanam paksa yang dibebankan kepada rakyat pribumi. Pendirian Daendels pada waktu itu adalah eigendom atas tanah tidak dikenal rakyat, yang sejak dahulu sudah biasa bekerja dibawa pemerintahan bupati – bupati dan kepala – kepala yang lain, dan rakyat lebih berbahagia, diperlakukan sebagai penanam, asal menerima upah yang layak.

Tonggak ketiga terjadi pada masa pemerintahan Governeur Generaal Thomas Stamford Raffles (1811 – 1816). Pada masa ini, Thomas Stamford Raffles telah menciptakan pemikiran religius yang berupa azas fiskal dan untuk pertama kalinya diterapkan sistem Landrente di Indonesia yang diterapkan besarnya jumlah pajak tanah :

  • - Bagi tanah sawah : ½ , 2/5, atau 1/3 dari hasil panen;
  • - Bagi tanah kering : ½ sampai dengan 1/9 dari hasil tanah.

Dasar pemungutan pajak (landrente) tersebut menurut Raffles berpendirian bahwa semua tanah – tanah di daerah taklukannya maupun daerahnya dikuasai atas dasar perundang – undangan, kesemuanya itu dinamakan tanah gubernemen. Sedangkan rakyat yang mendiami dan memanfaatkan tanah disebut dianggap sebagai penyewa (pachter) dengan seijin penguasa, yang berarti dia harus membayar pacht atau sewa, baik berupa hasil bumi maupun uang. Ternyata pengaruh sistem landrente ini sangat luas sekali terhadap perkembangan struktur pertanahan di negara kita yaitu timbulnya tanah – tanah partikelir atau tanah – tanah gubernemen yang sangat luas dijual kepada golongan swasta/partikelir. Pada zaman Raffles inilah yang dapat dianggap sebagai tonggak sejarah yang pertama dalam keagrariaan di Indonesia.

Tujuan Raffles dengan teori domein itu sederhana saja yakni ingin menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti apa yang diterapkan Inggris di India. Setelah Conventie London (1816), Indonesia kembali dikuasai oleh Belanda dan ditunjuk sebagai Komisaris Jenderalnya adalah Mr. C. Th. Elout yang berhaluan liberal.

Elout melanjutkan kebijakan pemerintahan Inggris dengan sistem landrente– nya. Elout pada waktu itu memberikan tanah – tanah kepada para pengusaha Belanda, tujuannya adalah memajukan perdagangan dan membawa kemakmuran bagi negara Belanda, membiayai pertahanan guna melindungi rakyat jajahan. Untuk memenuhi maksud tersebut ditempuh dua cara, yaitu : 

  1. Stelsel Belasting Sebagai sumber penghasilan negara, maka rakyat dipungut pajak, sehingga rakyat menjadi dasar bagi keuangan pemerintah.
  2. Stelsel Kandel Raja itu pedagang, sedangkan rakyat itu harus mengabdi kepada kepentingan perdagangan (sebagaimana stelsel yang dilakukan pada zaman VOC).

Dari kedua cara tersebut, Stelsel Belasting– lah yang dipilih untuk digunakan, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya peraturan landrente (staatblad 1818 No. 14 yang dipengaruhi dengan staatblad 1819 No. 5)

 


Sumber : Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma | Volume 9 No. 2, Maret 2019

 

 

Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 11931

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image

Kirim Pertanyaan

Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay