Upaya Indonesia Sebagai Welfare State Terhadap Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat Impl

by Estomihi FP Simatupang, S.H

Posted on May 17, 2020 16:25

UPAYA INDONESIA SEBAGAIWELFARE STATETERHADAP
PENCEGAHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
AKIBAT IMPLIKASI COVID19

 

Oleh :

Estomihi FP Simatupang, S.H

Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

 


Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Dalam konsep negara kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi negara intervensionis abad ke-20. Fungsi Negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada di luar jangkauan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus, seperti social security, kesehatan, kesejahteraan-sosial, pendidikan dan pelatihan serta perumahan[1].

Menurut Esping-Anderson (Triwibowo & Bahagijo, 2006; 9), negara kesejahteraan pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negaranya. Secara umum suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya, yaitu: (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation systems; dan (4) rights to education and the expansion of modern mass educations systems. Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the granting of social rights) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dapat dilanggar (inviolable), serta diberikan berdasar basis kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas

Ciri Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Menurut Goodin (1999; dalam Simarmata, 2008: 19) negara kesejahteraan sering diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait erat dengan kebijakan sosial-ekonomi yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum. Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan kerja[2].

 

Model Kesejahteraan (Welfare State)

Secara umum, paling tidak terdapat tiga model utama tentang Negara Kesejahteraan (Simarmata,2008: 31-33). Ketiga model utama ini dapat dijabarkan secara sederhana, sebagai berikut[3]:

1. Model Liberal atau Residual (Anglo-Saxon) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Dukungan sosial yang means-tested, atau terbatas, atau bersyarat, dan lebih berupa jaring pengaman; (2) Upaya negara yang lebih besar dipusatkan pada upaya menciptakan skema pembiayaan supaya warga negara dapat berpartisipasi (kembali) dalam arus besar ketenagakerjaan; dan (3) Secara sekaligus, pengembangan industri dan perdagangan dikembangkan terlebih dahulu (precursory) untuk menciptakan akses atas barang dan jasa, serta daya beli yang berkelanjutan. Contoh negara penganut model ini adalah: Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.

2. Model Konservatif (Korporatis, Continental Europe) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Negara mengusahakan skema kesejahteraan yang dikelola oleh negara; (2) Dalam produksi dan pengorganisasian, negara bukan satu-satunya pelaksana, melainkan juga kolaborasi warga negara/pekerja dengan sektor swasta, dan juga pajak negara yang dikaitkan dengan tunjangan tertentu; (3) Namun demikian, pajak dapat dikatakan tetap tinggi, yang ini terkait dengan pembiayaan secara meluas kebutuhankebutuhan warga negara, termasuk hal-hal yang tidak dapat dibiayai dengan kolaborasi warga negara/pekerja dan sektor swasta; dan (4) Arah dari skema kesejahteraan terutama membiayai kondisi-kondisi dimana warga negara sakit baik secara sosial (pengangguran, cacat, tua, dan sebagainya) maupun secara fisik (soal kesehatan), sehingga seringkali model ini disebut model proteksi sosial.Contoh negara penganut model ini adalah: Austria, Perancis, Jerman, dan Italia.

3. Model Sosial-Demokratis (Redistributif-Institusional) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Satu skema pajak dipakai untuk membiayai keseluruhan pembiayaan skema kesejahteraan; (2) Skema kesejahteraan ini mencakup layanan yang menyeluruh dengan standar setinggi-tingginya, dan akses yang semudah-mudahnya (universal coverage), warga negara dianggap mempunyai hak atas pengaturan skema kesejahteraan (prinsip equity); dan (3) Kebijakan negara diarahkan pada integrasi industri dan perdagangan dengan skema-skema kesejahteraan itu. Contoh negara penganut model ini adalah negara-negara: Skandinavia, seperti: Swedia dan Norwegia

 

Indonesia Sebagai Welfare State

Dari konsep, model dan ciri welfare state, bahwa Indonesia dikatakan sebagai Welfare State, ini dapat dilihat dari Falsafah Bangsa Indonesia yaitu Pancasila dalam sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. UUD 1945 dalam pembukaan yang menyatakan Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 27 (2) menyatakan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, kemudian Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya; demikian pula pada pasal 28B, 28C, 28H, 31, 33, dan pasal 34.

Implementasi welfare state sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, diwujudkan kedalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain :

1) Dibidang kesehatan,Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan

2) Dibidang Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Program Indonesia Pintar

3) Dibidang Kesejahteraan Masyarakat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

Wujud nyata Indonesia sebagai welfare state dalam mengupayakan kesejahteran rakyatnya antara lain :

1) Bantuan beras sejahtera (Rastra), adalah bantuan beras bagi orang miskin

2) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada KPM setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan/e-warong yang bekerjasama dengan bank[4].

3) Kartu Indonesia Pintar (KIP), merupakan kerja sama tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Agama (Kemenag). Bertujuan untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin/rentan miskin/prioritas tetap mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah, baik melalui jalur pendidikan formal (mulai SD/MI hingga anak Lulus SMA/SMK/MA) maupun pendidikan non formal (Paket A hingga Paket C serta kursus terstandar). Melalui program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah, dan diharapkan dapat menarik siswa putus sekolah agar kembali melanjutkan pendidikannya. PIP juga diharapkan dapat meringankan biaya personal pendidikan peserta didik, baik biaya langsung maupun tidak langsung[5].

4) Jaminan Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat), Nama untuk Program Jaminan Kesehatan SJSN (JKN) bagi penduduk Indonesia, khususnya fakir miskin dan anak tidak mampu.

 

Upaya Welfare State Terhadap Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat Implikasi COVID19?

Implikasi Covid19 terhadap pelaku usaha dalam setiap kebijakan pemerintah dapat dilihat sebagai berikut

1. Kebijakan Social Distancing

Kebijakan social distancing hal ini tentu berimplikasi terhadap pelaku usaha, karena pelaku usaha masih dapat melaksanakan aktivitasnya meskipun ada pengaruhnya.

2. Kebijakan Work From Home (WFH)

Dengan diberlakukannya kebijakan work from home, maka pelaku usaha harus melakukan work from home terhadap karyawannya. Hal ini akan berimplikasi pada:

a. Kinerja kurang

b. Mengalami penurunan penghasilan

c. Mengalami kerugian

3. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Sebagai contoh adalah kebijakan Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang memutuskan setiap pelaku usaha untuk menutup usahanya sementara selain pelaku usaha yang disebutkan dalam pasal 10 Keputusan Gubernur DKI tersebut.

 

Bahwa akibat dipaksanya pelaku usaha untuk menutup usahanya sementara, telah berimplikasi pada pelaku usaha, antara lain :

1. Menghentikan kegiatan usahanya

2. Mengalami penurunan penghasilan secara drastis

3. Mengalami kerugian

4. Dihadapkan pada ancaman Kebangkrutan

5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

 

Pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK)[6] diatur dalam Dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikatakan bahwa Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja dan juga melalui Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-643/MEN/PHI-PPHI/IX/2 tanggal 26 September 2005 tentang Pencegahan Pemutusan Tenaga Kerja. Namun Namun hal itu tidaklah cukup melihat fakta bahwa banyaknya karyawan yang kena PHK di tengah COVID19. Sebagai welfare state, negara harus mengupayakan melalui kebijakan-kebijakan konkrit yang dapat membantu perusahaan agar tidak melakukan PHK. Bahwa pemerintah tidak dapat hanya bergantung pada himbauan berupa surat edaran menteri atau diskusi-diskusi mengenai upaya pencegahan PHK. Negara harus hadir dengan segala upayanya dalam mengusahakan kesejahteraan rakyat melalui pencegahan PHK.

Belajar dari keadaan tahun 2004[7], maka pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan-kebijakan dalam upaya mencegah terjadinya PHK sebagai upaya pemerintah dalam mengusahakan kesejahteraan rakyatnya, yaitu melalui pemberian insentif-insentif atau stimulus ekonomi yang dapat mengurangi beban perusahaan, antara lain:

1. Pada sektor fiskal pemerintah menanggung PPh 21 atau pajak penghasilan pekerja pada sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta per tahun[8].

2. Pemerintah juga membebaskan PPh impor untuk 19 sektor tertentu yang juga menyasar Wajib Pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan Wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah[9]

3. Pemerintah juga mengurani PPH 25 sebesar 30 persen untuk sektor tertentu KITE dan Wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah. Tarif PPh badan juga diturukan menjadi 22 persen untuk tahun 2020 dan 2021 serta menjadi 20 persen mulai tahun 2022[10]

Terhadap karyawan yang telah kena PHK dan bagi masyarakat yang belum memiliki pekerjaan termasuk juga karyawan yang penghasilannya terkena imbas akibat COVID19, pemerintah juga telah mengambil beberapa kebijakan yaitu program Kartu Kerja[11] yang merupakan programpengembangan kompetensi berupa bantuan biaya[12] yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja ter-PHK atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi.

 

 

 

 

 


[1]
Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR Vol. 3 No.
2 (2015) hal. 253
[2]
Sukmana, Oman. Jurnal Sospol, Vol 2 No.1 (Juli-Desember 2016), h. 110
[3]
Sukmana, Oman. Op. cit h. 112-113
[4]
Bantuan Pangan Non Tunai, https://pusdatin.kemsos.go.id/bantuan-pangan-non-tunai-bpnt
[5] https://indonesiapintar.kemdikbud.go.id/
[6] Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang
Hubungan Internasional Shinta Kamdanimengatakan bahwa efektifnya
pencegahan pemutusan hubungan kerja tidak hanya dapat dilakukan oleh satu
faktor dari perusahaan saja sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran
Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-643/MEN/PHI-PPHI/IX/2 tanggal 26 September 2005
tentang Pencegahan Pemutusan Tenaga Kerja. Damhuri, Elba.Dampak Virus Corona:
Berpacu Mencegah PHK Massal
https://republika.co.id/berita/q8kh09440/dampak-virus-corona-berpacu-mencegah-phk-massal tangal 9 Mei 2020
[7]
Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia memastikan harga minyak dunia naik, mereka
pun memutuskan memotong subsidi minyak.Hal ini dilakukan dengan alasan
BBM bersubsidi lebih banyak digunakan oleh orang-orang dari kalangan industri
dan berstatus mampu.Lalu, setelah didata lebih lanjut, diketahui dari
tahun 1998 sampai dengan 2005 penggunaan bahan bakar bersubsidi telah digunakan
sebanyak 75 persenPemotongan subsidi terus terjadi hingga tahun 2008
dengan kenaikan sebesar 50 persen dari harga awal, karena harga minyak dunia
kembali naik saat itu.Akibatnya, harga bahan-bahan pokok pun ikut naik.
Demi menanggulangi efek kenaikan harga bagi kelompok masyarakat miskin,
pemerintah memperkenalkan program BLT kepada masyarakat untuk pertama kalinya
pada tahun 2005. https://id.wikipedia.org/wiki/Bantuan_langsung_tunai tanggal 10 Mei 2020
[8] Raja Suhud, Langkah Pemerintah
Tangani Dampak Covid-19 Sudah Tepat, https://mediaindonesia.com/read/detail/301866-langkah-pemerintah-tangani-dampak-covid-19-sudah-tepat. Tanggal 10 Mei 2020
[9]
Ibid
[10] Andhya, Dhyaksa, 11 Poin Penting
Kebijakan Ekonomi Jokowi Menghadapi Wabah Corona,https://ekonomi.bisnis.com/read/20200401/9/1220676/11-poin-penting-kebijakan-ekonomi-jokowi-menghadapi-wabah-corona-
[11] https://www.prakerja.go.id/ tanggal 10
mei 2020
[12] Pemerintah menaikkan anggaran Kartu
Prakerja dari semula Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun.Sementara itu,
jumlah penerima manfaat ditetapkan sebesar 5,6 juta orang dan diutamakan
pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil. "Nilai manfaatnya
sebesar Rp650.000 sampai Rp 1 juta per bulan selama 4 bulan ke depan,"
kata Jokowi.Insentif ini berupa biaya pelatihan sebesar Rp1 juta dan
insentif pascapelatihan sebesar Rp600.000. https://ekonomi.bisnis.com/read/20200401/9/1220676/11-poin-penting-kebijakan-ekonomi-jokowi-menghadapi-wabah-corona- Tanggal 10 Mei 2020

 

Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 2219

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image
Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay