Putusan
Indonesia memiliki empat cabang kehakiman yang dituangkan dalam Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004; yaitu, Umum; Militer; Keagamaan; dan, Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan umum meliputi Pengadilan Negeri tingkat pertama, Pengadilan Tinggi (Pengadilan Banding), dan Mahkamah Agung. Pengadilan umum adalah pengadilan yang mengadili perkara sipil (non-militer) dan pidana di antara dan di antara warga sipil.
Di Pengadilan Umum, semua kasus akan dibawa ke pengadilan harian tingkat pertama atau Pengadilan Negeri. Hukum Indonesia mensyaratkan bahwa segala sesuatunya diadili di hadapan majelis hakim. Panel harus menyertakan setidaknya tiga hakim untuk membentuk sidang yang sah, penilaian dalam kebanyakan kasus perdata diberikan oleh tiga hakim. Undang-undang lebih lanjut mensyaratkan bahwa semua keputusan dibacakan di pengadilan terbuka dan setiap kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan keputusan menjadi batal demi hukum. Cara pengambilan keputusan mengharuskan para hakim bertemu di ruang tertutup untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang dihadirkan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua musyawarah dalam ruang tertutup tetap rahasia dan rahasia. Perubahan yang termuat dalam UU No.4 Tahun 2004 mengharuskan setiap hakim memiliki kewajiban untuk menyampaikan pendapat secara tertulis untuk dicantumkan dalam putusan. Undang-undang secara tegas menyatakan bahwa perbedaan pendapat juga harus dimasukkan dalam putusan tertulis. Pengadilan Umum biasanya mengharuskan para pihak untuk melakukan mediasi jika perlu. Dalam hal proses mediasi ini menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima bersama antara para pihak, maka kesepakatan ini akan dikukuhkan oleh pengadilan dalam suatu Akta Perdamaian yang akan dianggap final dan mengikat bagi semua pihak yang terkait.
Setelah putusan Pengadilan Umum pada tingkat pertama diberikan, banding terhadap isi putusan itu dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi. Banding ini harus diajukan dalam waktu 7 hari sejak putusan dibacakan dalam sidang terbuka, dan dapat diajukan oleh pihak manapun pada putusan tingkat pertama. Tidak ada banding yang dapat diajukan terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan dengan persetujuan para pihak. Setiap keputusan yang dijatuhkan berdasarkan kesepakatan para pihak di antara mereka sendiri atau dengan pengadilan dianggap final dan mengikat.
Pengadilan Tinggi yang bertindak sebagai Pengadilan Tinggi biasanya duduk sebagai panel yang terdiri dari 3 hakim, namun praktik yang dapat diterima untuk masalah perdata adalah bahwa hanya satu hakim yang akan duduk dalam penilaian banding. Pengadilan banding dapat meninjau semua keputusan pengadilan tingkat pertama.
Dalam hal salah satu atau kedua belah pihak tidak puas dengan putusan pengadilan banding, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu 14 hari sejak pengadilan banding menjatuhkan putusannya. Banding ini dikenal sebagai kasasi.
Alasan kasasi dalam kasus-kasus hukum perdata adalah: pertama, apabila putusannya tidak memenuhi syarat-syarat formil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, mengenai pembatalan, kedua apabila pengadilan-pengadilan yang lebih rendah dalam memberikan putusannya melampaui kewenangannya. Terakhir, kasasi dimungkinkan jika undang-undang dan peraturan telah diterapkan secara tidak benar atau ada beberapa bentuk ketidakwajaran yang dapat diidentifikasi dan dapat dibuktikan. Tidak ada banding yang dapat diajukan untuk Akta Perdamaian.
Dalam yurisdiksi pidana, tata cara pengambilan keputusan yang bersifat final dan mengikat adalah sama dengan yurisdiksi Pengadilan Umum lainnya. Tata cara khusus yang berlaku di wilayah hukum pidana Peradilan Umum diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Masalah pidana pertama kali diadili di Pengadilan Umum tingkat pertama dan untuk mencapai keputusan hakim harus disajikan dengan setidaknya dua alat bukti dan iman untuk meyakinkan mereka bersalah atau tidak bersalah. Begitu keputusan telah dicapai oleh para hakim, keputusan itu harus dibacakan di pengadilan terbuka agar sah. Dalam waktu 7 hari pihak yang dirugikan dapat mengajukan banding ke pengadilan banding yang relevan di yurisdiksi tersebut. Tidak ada banding yang dapat diajukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Segala putusan yang telah diputus di tingkat Pengadilan Negeri dan dimohonkan kasasi ke Pengadilan Tinggi dalam wilayah hukum pidana dapat diajukan kasasi.
Segala pertimbangan wajib diawali dengan pernyataan berikut – Demi Kebaikan dan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan ("Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"). Hal ini penting untuk memastikan bahwa keputusan tersebut mendapat dukungan penuh dari undang-undang karena yurisprudensi baru-baru ini menunjukkan bahwa penilaian yang diberikan tanpa pernyataan ini akan dianggap batal demi hukum.
Upaya Hukum Luar Biasa dalam Hukum Indonesia
Semua putusan yang telah dianggap final dan mengikat pada tingkat banding terakhir dapat mencari upaya hukum terakhir yang luar biasa, Peninjauan Kembali. Peninjauan Kembali adalah suatu bentuk peninjauan kembali atau kasasi yang digunakan untuk kepentingan hukum (Kasasi Demi Kepentingan Hukum).
Pelaksanaan Putusan
Dalam masalah perdata, Jurusita dari pengadilan yang bersangkutan melaksanakan setiap perintah pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan. Pihak atau para pihak dapat meminta “Sita Jaminan” atau Perintah Penyitaan atau Consevatoir Beslag dan “Sita Eksekusi” atau Surat Perintah Eksekusi.
Dalam perkara pidana, putusan yang dianggap telah berkekuatan hukum tetap itu dilaksanakan oleh penuntut umum (jaksa). Setiap pembahasan tentang penegakan putusan pengadilan pidana memerlukan analisis dan pemeriksaan yang lebih mendalam terhadap sistem pidana Indonesia.
A. Pemberlakuan Surat Berharga
Ketika peminjam perusahaan berada dalam kesulitan keuangan dan hutang yang dijamin telah jatuh tempo, biasanya atau biasa bagi pemberi pinjaman yang dijamin dan/atau peminjam perusahaan untuk mencoba menegosiasikan pengaturan yang sesuai untuk pembayaran kembali dan/atau pembiayaan kembali sebelum pemberi pinjaman yang dijamin meminta metode penegakan hukum. Dalam metode ini pemberi pinjaman dan peminjam hampir selalu berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan damai untuk pembayaran kembali hutang atau pembiayaan kembali hutang sebelum pemberi pinjaman, dijamin atau tidak, menggunakan metode penegakan hukum yang diakui di Indonesia. Keduanya sadar akan ketidakpastian metode penegakan hukum. Jika tidak mungkin setelah jangka waktu yang sesuai bagi pemberi pinjaman yang dijamin untuk mencapai kesepakatan, maka metode penegakan dapat digunakan oleh pemberi pinjaman, termasuk penyitaan keamanan oleh pemberi pinjaman yang dijamin.
Ada beberapa mekanisme yang tersedia bagi pemegang sekuritas untuk menegakkan surat berharga mereka di bawah sistem hukum Indonesia termasuk kuasa untuk mengambil harta benda, kuasa untuk menunjuk kurator, kuasa untuk menyita hipotek, kuasa untuk menjual barang yang dijaminkan, dan kuasa untuk mengakhiri peminjam perusahaan. Kreditur terjamin harus menggunakan hak sitanya terhadap jaminannya melalui pengadilan, jika debitur menolak penyitaan. Prosedur penyitaan bervariasi tergantung pada jenis keamanan yang terlibat. Tidak ada pengobatan swadaya di Indonesia. Oleh karena itu, jika debitur menolak untuk diambil alih dengan cara penyitaan jaminan, diperlukan campur tangan pengadilan.
B. Penegakan Putusan Asing
Untuk menegakkan suatu putusan asing asas umum yang dimaksud dalam hukum Indonesia adalah asas teritorial. Akibatnya, sebagai aturan umum, putusan asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan oleh pengadilan Indonesia karena putusan yang dijatuhkan di satu negara tidak memiliki kekuatan hukum yang diperlukan di beberapa yurisdiksi lain. Namun demikian, meskipun putusan arbitrase asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, putusan asing dapat dilaksanakan jika Indonesia memiliki perjanjian bilateral atau multilateral dengan negara yang mengeluarkan putusan arbitrase tersebut. Namun demikian, ada beberapa perkembangan baru-baru ini bahwa Indonesia bekerja sama dengan Thailand dan Filipina sedang mengkaji cara-cara untuk menerapkan prinsip pengakuan penghargaan universal atau lintas batas yang akan memungkinkan pengakuan penilaian asing.
C. Penegakan Putusan Arbitrase Internasional
Pengadilan Indonesia secara historis sangat enggan untuk menegakkan putusan arbitrase internasional tanpa terlebih dahulu mengkonfirmasi putusan atau putusan tersebut melalui sistem peradilan Indonesia. Contoh keengganan ini disorot dalam kasus Karaha Bodas di mana Karaha mengajukan klaim arbitrase internasional mereka di Swiss. Arbitrase Swiss menghasilkan putusan sebesar USD 261 juta dari USD560 juta yang diklaim. Atas diterimanya putusan tersebut Karaha menyortir untuk melaksanakan penghargaan tersebut di Indonesia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Pengakuan dan Pemberlakuan Putusan Arbitrase Asing (Konvensi New York 1958) melalui ketentuan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Namun, Pasal 5 konvensi ini mengatur bahwa pemberlakuan putusan arbitrase internasional dapat menolak jika melanggar kebijakan publik atau akan mengganggu ketertiban umum. Dalam kasus Karaha Bodas, penangguhan proyek dianggap melanggar kebijakan publik dan oleh karena itu Pengadilan Tingkat Pertama di Indonesia, Pengadilan Negeri, menolak untuk mengeluarkan surat perintah eksekusi yang diperlukan untuk menegakkan putusan tersebut.
Media massa Indonesia dan asing memanfaatkan penolakan penerbitan Writ of Execution ini sebagai bukti bahwa Indonesia tidak hanya enggan tetapi tidak akan memaksakan putusan arbitrase asing.
D. Penegakan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Putusan yang dikeluarkan dan dianggap final dan mengikat oleh Peradilan Tata Usaha Negara memiliki akibat sebagai berikut:
- Sebuah keputusan berarti bahwa perselisihan diselesaikan
- Putusan tersebut bersifat final dan mengikat bagi setiap orang tidak hanya para pihak yang melakukan tindakan tetapi semua pihak yang terkait karena putusan tersebut dikatakan bersifat “erga omnes”.
- Putusan tersebut merupakan dokumen otentik atau resmi dan dianggap sebagai bukti yang sempurna atau kredibel.
- Putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum manapun.
Dalam melaksanakan putusan, nama pejabat yang tidak melaksanakan putusan akan diumumkan di media cetak, hal ini lebih mempengaruhi moral dan mental pegawai karena “nama baik” atau integritas adalah segalanya.
E. Penegakan Putusan Pengadilan Pajak (Pengadilan Pajak)
Putusan Pengadilan Pajak tersebut bersifat final dan mengikat (Berkuatan Hukum Tetap). Satu-satunya upaya hukum yang dapat dimohonkan adalah Peninjauan Kembali atau uji materi di Mahkamah Agung. Peninjauan kembali di Mahkamah Agung bersifat restriktif karena Mahkamah hanya boleh mempertimbangkan persoalan hukum dan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap fakta-fakta yang dipersengketakan. Pengadilan tidak akan mencoba kembali fakta-fakta dari kasus tersebut.
F. Upaya Hukum dalam Hukum Tata Negara
Dalam Hukum Tata Negara, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan grasi resmi kepada terpidana. Efek dari grasi dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan keyakinan, hukuman, atau hukuman.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, “Grasi” adalah pengampunan berupa mengubah, mengurangi, atau memberhentikan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana dan dikeluarkan oleh Presiden. Secara umum, undang-undang telah menafsirkan terpidana sebagai hanya orang-orang yang telah dihukum di pengadilan dan di mana hukuman itu dianggap final dan mengikat secara hukum.
Referensi
- https://www.aseanlawassociation.org/