VERSI BAHASA INDONESIA |
BAB 1 - Tinjauan Sejarah Perkenalan Filipina, negara kepulauan dengan 7.107 pulau (sekitar 2.000 di antaranya berpenghuni), dengan luas daratan 115.600 m2, berpenduduk 76,5 m2. Sekitar 87 dialek utama digunakan di seluruh pulau. Bahasa Inggris dan Filipina adalah bahasa resmi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di pendidikan tinggi. Menurut sensus tahun 2000, tingkat melek huruf fungsional adalah 83,8%. Pertanian merupakan sektor tunggal terbesar dalam perekonomian. Negara ini memiliki total angkatan kerja sebesar 64,5%. Sistem hukum Filipina dengan tepat digambarkan sebagai perpaduan penggunaan adat, dan sistem Romawi (hukum sipil) dan Anglo-Amerika (hukum umum). Hukum perdata beroperasi di bidang-bidang seperti hubungan keluarga, properti, suksesi, kontrak dan hukum pidana sementara undang-undang dan prinsip-prinsip asal hukum umum terbukti di bidang-bidang seperti hukum konstitusional, prosedur, hukum korporasi, instrumen yang dapat dinegosiasikan, perpajakan, asuransi, hubungan perburuhan , perbankan dan mata uang. Di beberapa bagian selatan pulau, hukum Islam dipatuhi. Sistem hukum khusus ini adalah hasil dari imigrasi Muslim Melayu pada abad ke-14 dan kolonisasi pulau-pulau selanjutnya oleh Spanyol dan Amerika Serikat. Latar belakang sejarah Sejarah hukum Filipina dapat dikategorikan menurut berbagai periode dalam sejarah politik negara tersebut: periode pra-Spanyol (sebelum 1521); rezim Spanyol (1521-1898); Republik Filipina tahun 1898; rezim Amerika (1898-1935); era Persemakmuran (1935-1946); pendudukan Jepang (1941-1944); Periode Republik (1946-1972); Masa Darurat Militer (1972-1986); dan kelangsungan Republik. Periode Pra-Spanyol Sejarawan telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa orang Filipina awal tinggal di banyak komunitas independen yang disebut barangay di bawah berbagai aturan asli yang sebagian besar bersifat adat dan tidak tertulis. Bukti menunjukkan adanya dua kode, yaitu Kode Maragtas yang dikeluarkan oleh Datu Sumakwel dari Pulau Panay sekitar tahun 1200 dan 1212 M dan Kode Pidana Kalantiao yang dikeluarkan oleh seorang datu dengan nama itu pada tahun 1433. Namun, ada beberapa sejarawan yang mempertanyakan keberadaan kode-kode tersebut. Hukum adat ini berurusan dengan subjek seperti hubungan keluarga, warisan, perceraian, riba, kemitraan, pinjaman, hak milik, barter dan penjualan, dan kejahatan dan hukuman. Hukum pidana membedakan antara kejahatan dan pelanggaran ringan, mengakui perbedaan antara pelaku dan kaki tangan dalam hal pertanggungjawaban pidana, dan memiliki gagasan tentang adanya keadaan yang memenuhi syarat dan meringankan, serta residivisme sebagai keadaan yang memberatkan. Seperti banyak masyarakat kuno, cobaan demi cobaan dipraktekkan di barangay . Rezim Spanyol Kedatangan Ferdinand Magellan di Filipina pada 16 Maret 1521 menandai era baru dalam sejarah hukum Filipina. Hukum dan kode Spanyol diperluas ke Filipina baik secara tegas melalui dekrit kerajaan atau secara tersirat melalui penerbitan undang-undang khusus untuk pulau-pulau tersebut. Hukum dan kode yang paling menonjol adalah Fuero Juzgo, Fuero Real, Las Siete Partidas, Las Leyes de Toros, Nueva Recopilacion de Las Leyes de Indias, yang berisi semua hukum yang berlaku di koloni Spanyol dan Novisima Recopilacion, yang terdiri dari semua hukum dari abad kelima belas sampai 1805. Pada akhir kekuasaan Spanyol di Filipina, kode dan undang-undang khusus berikut berlaku di negara tersebut: Codigo Penal de 1870 yang diperluas ke pulau-pulau tersebut pada tahun 1887; Ley Provisional para la Aplicaciones de las Disposiciones del Codigo Penal en las Islas Filipinas pada tahun 1888; Pidana Ley de Enjuiciamiento (KUHP tahun 1872, yang diperpanjang tahun 1888); Ley de Enjuiciamiento Civil (Kode Acara Perdata 1856); Codigo de Comercio (Kode Perdagangan 1886); Codigo Civil de 1889 (kecuali bagian yang berkaitan dengan perkawinan); UU Perkawinan tahun 1870; Ley Hipotecaria (Hukum Mortgage tahun 1861, yang diperpanjang pada tahun 1889); Ley de Minas(Hukum Pertambangan 1859); Notaris Ley de 1862; Hukum Perkeretaapian tahun 1877; Hukum Orang Asing untuk Provinsi Ultramarine tahun 1870; dan Hukum Peradilan Militer. Republik Filipina tahun 1898 Pada tahun 1872, orang Filipina memberontak melawan Spanyol karena pelanggaran yang dilakukan oleh otoritas dan biarawan Spanyol. Revolusi menyebar begitu cepat sehingga pada 12 Juni 1898, kemerdekaan Filipina diproklamasikan oleh Jenderal Emilio Aguinaldo. Kongres Revolusioner diselenggarakan pada 15 September 1898, dan pada 20 Januari 1899, Konstitusi Malolos disetujui. Konstitusi ini memproklamasikan kedaulatan rakyat dan menyebutkan hak-hak dasar sipil dan politik individu. Pada saat proklamasinya, Republik menjalankan, meskipun singkat, otoritas de facto, meskipun ini berakhir setelah kedatangan Amerika. Era Amerika dan Persemakmuran Berakhirnya Perang Spanyol-Amerika, yang diikuti dengan penandatanganan Perjanjian Paris pada 10 Desember 1898, membuka jalan bagi penyerahan Filipina ke Amerika Serikat. Setelah pembentukan kedaulatan Amerika, hukum politik Filipina benar-benar dibatalkan dan hukum, kebiasaan, dan hak milik Spanyol yang tidak sesuai dengan Konstitusi AS dan dengan prinsip serta institusi Amerika digantikan. Pemerintah beroperasi di bawah undang-undang organik yang berbeda, yaitu Instruksi Presiden MacKinley kepada Komisi Kedua Filipina pada 07 April 1900; Amandemen Spooner tahun 1901; RUU Filipina tahun 1902; Hukum Jones tahun 1916 dan Hukum Tydings-MacDuffie tahun 1934. Berdasarkan Hukum Tydings-MacDuffie, pemerintah Persemakmuran akan dibentuk untuk masa transisi sepuluh tahun sebelum kemerdekaan dapat diberikan. Demikian juga, itu memberikan hak kepada orang Filipina untuk merumuskan Konstitusi mereka sendiri. Pada waktunya, sebuah konstitusi disetujui pada 8 Februari 1935 yang ditandatangani oleh Presiden AS Franklin D Roosevelt pada 23 Maret 1935 dan diratifikasi pada plebisit yang diadakan pada 14 Mei 1935, para pemilih pergi ke tempat pemungutan suara untuk memilih kelompok eksekutif dan legislatif pertama. pejabat yang dipimpin oleh Presiden Manuel L. Quezon dan Wakil Presiden Sergio Osmeña. Pendudukan Jepang Pada tanggal 08 Desember 1941, Filipina diserbu oleh pasukan Jepang dan diduduki hingga tahun 1944. selama tiga tahun pemerintahan militer, sebuah Undang-Undang Dasar 1943 disusun dan disahkan oleh konvensi nasional khusus Kapisanan sa Paglilingkod ng Bagong Pilipinas (KALIBAPI), yang mengarah pada pembentukan republik yang disponsori Jepang yang berumur pendek yang dipimpin oleh Presiden Jose P Laurel. Selama pendudukan Jepang, Persemakmuran, yang saat itu berada di pengasingan, berfungsi di Washington DC dari 13 Mei 1942 hingga 03 Oktober 1944 hingga didirikan kembali di Manila pada 28 Februari 1945 oleh Presiden Sergio Osmena. Republik Filipina, 1946-1972 Peresmian Republik Filipina pada 04 Juli 1946 menandai puncak dari 300 tahun perjuangan kemerdekaan Filipina. Konstitusi 1935 berfungsi sebagai hukum dasar dengan kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden, kekuasaan legislatif di Kongres bikameral Filipina dan kekuasaan kehakiman di Mahkamah Agung dan pengadilan rendah yang didirikan oleh hukum. Pada awalnya, upaya pemerintah diarahkan pada rehabilitasi ekonomi dan pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban. Karena agitasi yang meluas untuk reformasi di bidang hukum dan politik, Kongres mengadopsi Resolusi Kedua Kamar (RBH) No 2, sebagaimana diubah oleh RBH No 4, menyerukan Konvensi Konstitusi untuk mengusulkan amandemen Konstitusi pada 16 Maret. Resolusi tersebut dilaksanakan melalui Republic Act No 6132 dan disetujui pada tanggal 24 Agustus 1970. Berdasarkan ketentuannya, pemilihan 320 delegasi diadakan pada tanggal 10 November 1970. Konvensi Konstitusi bertemu pada 01 Juni 1971 dan para anggotanya membutuhkan waktu 17 bulan untuk menyusun konstitusi baru. Sementara Konvensi berlangsung, Presiden Ferdinand E Marcos, bertindak sesuai dengan ketentuan Konstitusi 1935, menempatkan seluruh Filipina di bawah Darurat Militer. Pada tanggal 29 November 1972, Konvensi Konstitusi menyelesaikan tugasnya. Rancangan Konstitusi baru disampaikan kepada rakyat Filipina melalui majelis warga dan disahkan pada 17 Januari 1973. Proklamasi No 1104 dikeluarkan pada hari yang sama yang menyatakan kelanjutan darurat militer. Periode Darurat Militer Konstitusi 1973 menetapkan bentuk pemerintahan parlementer dan memperkenalkan penggabungan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Ketua Eksekutif, Perdana Menteri, dipilih oleh mayoritas dari semua anggota Majelis Nasional dari antara mereka sendiri dan dapat diberhentikan dengan memilih Perdana Menteri pengganti. Di sisi lain, Perdana Menteri memiliki kekuasaan untuk menyarankan Presiden membubarkan Majelis Nasional dan menyerukan pemilihan umum. Presiden direduksi menjadi kepala negara simbolis. Bentuk pemerintahan parlementer ini tidak pernah dilaksanakan. Ketentuan Peralihan UUD 1973, yang mengatur peralihan dari bentuk pemerintahan presidensial yang lama ke sistem parlementer, secara khusus menjadikan proklamasi, keputusan dan tindakan Presiden petahana sebagai bagian dari hukum negara dan pada saat yang sama memberdayakan Presiden untuk awalnya mengadakan Majelis Nasional sementara yang tidak pernah dilakukan. Namun, dengan amandemen Konstitusi pada bulan Oktober 1976, kekuasaan Presiden petahana dipertahankan dan ditambah dan Pambansa Batasang Sementara (badan legislatif sementara) dibentuk, yang memiliki kekuasaan yang sama dengan badan legislatif biasa. Dalam Amandemen No 3, kekuasaan Presiden dan Perdana Menteri digabungkan pada Presiden yang saat itu sedang menjabat (Ferdinand E Marcos), yang langsung menjadi anggota Pambansa Batasang Sementara. Karena Amandemen ini, ia menduduki posisi Presiden dan Perdana Menteri, yang pengaturannya hanya berlangsung selama masa transisi atau sampai anggota legislatif biasa 'telah terpilih'. Di bawah Amandemen No 6, Presiden juga diberdayakan untuk terus menjalankan kekuasaan legislatif sampai darurat militer 'akan dicabut'. Jika dalam penilaiannya, 'terdapat keadaan darurat yang serius atau ancaman atau hal yang akan segera terjadi, atau kapanpun Batasang Pambansa Sementara atau Majelis Nasional reguler gagal atau tidak dapat bertindak secara memadai dalam hal apa pun karena alasan apa pun yang dalam penilaiannya memerlukan tindakan segera, dia dapat, untuk memenuhi urgensi, mengeluarkan keputusan yang diperlukan, Demikian pula, Amandemen No 7 menetapkan kelangsungan barangay (subdivisi politik terkecil) dan sanggunian (dewan) dan penggunaan referendum untuk memastikan keinginan rakyat mengenai hal-hal penting, baik kepentingan nasional maupun lokal. Pada tanggal 07 April 1978, 160 perwakilan daerah yang dibagi di antara 13 wilayah negara dipilih menjadi Pambansa Batasang Sementara sementara 14 anggota yang mewakili sektor pemuda, pertanian, buruh dan buruh industri dipilih pada 27 April 1978. Pambansa Batasang Sementara diselenggarakan pada 12 Juni 1978 dengan jumlah anggota 192 orang. UUD 1973 kemudian diamandemen pada 1980 dan 1981. Amandemen 1980 menaikkan usia pensiun hakim agung dari 65 menjadi 70 tahun. Amandemen 1981 memperkenalkan bentuk modifikasi dari sistem presidensial/parlemen. Presiden, yang merupakan kepala negara dan kepala eksekutif Republik, dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan enam tahun. Ada seorang Perdana Menteri yang dipilih oleh mayoritas Pambansa Batasang atas pencalonan Presiden. Dia adalah kepala Kabinet dan memiliki pengawasan semua kementerian. Bersama Kabinet, ia bertanggung jawab kepada Pambansa Batasang atas program pemerintah yang disetujui Presiden. Batasan _dapat menarik kepercayaannya dari Perdana Menteri dan yang terakhir dapat mencari mosi kepercayaan rakyat pada masalah-masalah mendasar dan meminta Presiden untuk membubarkan badan legislatif. Ada juga Komite Eksekutif yang ditunjuk oleh Presiden, terdiri dari Perdana Menteri sebagai Ketua dan tidak lebih dari 14 anggota, setidaknya setengahnya adalah anggota Batasang Pambansa . Itu bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan dan fungsinya dan dalam pelaksanaan tugasnya. Amandemen 1981 lainnya termasuk komposisi Batasang Pambansa; kualifikasi anggotanya; masa jabatan mereka dan persiapan pemilihan reguler pertama pada tahun 1984; reformasi pemilu tentang akreditasi partai politik dan perubahan afiliasi partai politik; dan ketentuan bahwa seorang warga negara Filipina yang lahir alami yang telah kehilangan kewarganegaraan Filipinanya dapat menjadi penerima pengalihan tanah pribadi untuk keperluan pemukiman. Menurut seorang konstitusionalis, meskipun Konstitusi 1973 mengklasifikasikan kekuasaan pemerintah ke dalam tiga bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pemisahan kekuasaan dan peraturan non-delegasi kekuasaan tidak didefinisikan dengan baik atau dipatuhi secara ketat. Darurat Militer dicabut pada 17 Januari 1981, dan pengadilan militer dihapuskan oleh Proklamasi No 2045. Pemilihan presiden diadakan pada 16 Juni 1981 dan Presiden Marcos terpilih kembali. Dalam pidato pengukuhannya pada tanggal 30 Juni 1981, ia memproklamirkan lahirnya Republik Keempat di bawah Konstitusi Baru, sebagaimana telah diubah. Pembunuhan mantan Senator Benigno S Aquino, pada tanggal 21 Agustus 1983, memicu demonstrasi massa dan krisis ekonomi yang membuka jalan bagi amandemen lain terhadap UUD 1973. Amandemen 1984 terdiri dari:
Pada tanggal 14 Mei 1984, diadakan pemilihan untuk memperebutkan 183 kursi elektif dari 200 anggota Batasang Pambansa . Legislatif bersidang pada 23 Juli 1984. Resolusi pemakzulan diajukan oleh 57 anggota oposisi terhadap Presiden Marcos tetapi resolusi ini ditolak oleh Komite Keadilan Batasan karena bentuk dan substansinya tidak memadai untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Pada 03 November 1985 , Presiden Marcos mengumumkan diadakannya pemilihan presiden khususmenetapkan 7 Februari 1986 sebagai tanggal yang disebut 'pemilihan cepat'. Corazon C Aquino dan Salvador H Laurel sebagai calon presiden dan wakil presiden diadu dengan Presiden Marcos dan Arturo M Tolentino. Pemilu pada 7 Februari muncul sebagai jajak pendapat paling anomali yang pernah diadakan di negara itu dengan meluasnya insiden surat suara yang diisi, perampasan hasil pemilu, pelecehan, penganiayaan, dan pembelian suara dengan 10% pemilih Metropolitan Manila dicabut haknya. Meskipun warga negara yang sadar dan waspada bekerja melalui NAMFREL (Gerakan Nasional untuk Pemilihan Bebas), yang penghitungannya memberi Aquino keunggulan satu juta, Batasang Pambansa menyatakan Marcos dan Tolentino sebagai pemenang. Peristiwa selanjutnya menyebabkan pemberontakan Angkatan Bersenjata dan 'revolusi kekuatan rakyat' selama empat hari, Kelanjutan Republik Ketika Corazon C Aquino mengambil sumpah jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 25 Februari 1986, Proklamasi No 1 dikeluarkan dimana dia menyatakan bahwa dia dan Wakil Presidennya 'mengambil kekuasaan atas nama dan atas kehendak rakyat Filipina' atas dasar kehendak kedaulatan yang jelas dari rakyat dinyatakan dalam pemilihan 07 Februari 1986. Pemerintahan baru berkuasa tidak sesuai dengan prosedur yang digariskan dalam UUD 1973 tetapi secara eksplisit dinyatakan dalam pembukaan Proklamasi No 3 yang menyatakan bahwa 'the pemerintah baru dipasang melalui latihan langsung kekuatan rakyat Filipina dibantu oleh unit Angkatan Bersenjata Baru Filipina 'dan bahwa' tindakan heroik rakyat ini dilakukan dengan menyimpang dari ketentuan Konstitusi 1973, sebagaimana telah diubah '. UUD Sementara, atau dikenal sebagai Konstitusi Kebebasan, diadopsi ke dalam ketentuan Pasal I (Wilayah Nasional), Pasal III (Kewarganegaraan), Pasal IV (Bill of Rights), Pasal V (Tugas dan Kewajiban Warga Negara), dan Pasal VI (Hak Pilih) UUD 1973, sebagaimana telah diubah. Ketentuan lain, seperti Pasal II (Pernyataan Prinsip dan Kebijakan Negara), Pasal VII (Presiden), Pasal X (Peradilan), Pasal XI (Pemerintahan Daerah), Pasal XII (Komisi Konstitusi), Pasal XIII (Pertanggungjawaban Pemerintahan). Pejabat Umum), Pasal XIV (Perekonomian Nasional dan Warisan Bangsa), dan Pasal XV (Ketentuan Umum) ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Proklamasi, sedangkan Pasal VIII, IX, XVI dan XVII dianggap untuk digantikan. diadopsi dalam ketentuan Pasal I (Wilayah Nasional), Pasal III (Kewarganegaraan), Pasal IV (Bill of Rights), Pasal V (Tugas dan Kewajiban Warga Negara), dan Pasal VI (Hak Pilih) UUD 1973, sebagaimana telah diubah . Ketentuan lain, seperti Pasal II (Pernyataan Prinsip dan Kebijakan Negara), Pasal VII (Presiden), Pasal X (Peradilan), Pasal XI (Pemerintahan Daerah), Pasal XII (Komisi Konstitusi), Pasal XIII (Pertanggungjawaban Pemerintahan). Pejabat Umum), Pasal XIV (Perekonomian Nasional dan Warisan Bangsa), dan Pasal XV (Ketentuan Umum) ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Proklamasi, sedangkan Pasal VIII, IX, XVI dan XVII dianggap untuk digantikan. diadopsi dalam ketentuan Pasal I (Wilayah Nasional), Pasal III (Kewarganegaraan), Pasal IV (Bill of Rights), Pasal V (Tugas dan Kewajiban Warga Negara), dan Pasal VI (Hak Pilih) UUD 1973, sebagaimana telah diubah . Ketentuan lain, seperti Pasal II (Pernyataan Prinsip dan Kebijakan Negara), Pasal VII (Presiden), Pasal X (Peradilan), Pasal XI (Pemerintahan Daerah), Pasal XII (Komisi Konstitusi), Pasal XIII (Pertanggungjawaban Pemerintahan). Pejabat Umum), Pasal XIV (Perekonomian Nasional dan Warisan Bangsa), dan Pasal XV (Ketentuan Umum) ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Proklamasi, sedangkan Pasal VIII, IX, XVI dan XVII dianggap untuk digantikan. Pasal IV (Bill of Rights), Pasal V (Tugas dan Kewajiban Warga Negara), dan Pasal VI (Hak Pilih) UUD 1973, sebagaimana telah diubah. Ketentuan lain, seperti Pasal II (Pernyataan Prinsip dan Kebijakan Negara), Pasal VII (Presiden), Pasal X (Peradilan), Pasal XI (Pemerintahan Daerah), Pasal XII (Komisi Konstitusi), Pasal XIII (Pertanggungjawaban Pemerintahan). Pejabat Umum), Pasal XIV (Perekonomian Nasional dan Warisan Bangsa), dan Pasal XV (Ketentuan Umum) ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Proklamasi, sedangkan Pasal VIII, IX, XVI dan XVII dianggap untuk digantikan. Pasal IV (Bill of Rights), Pasal V (Tugas dan Kewajiban Warga Negara), dan Pasal VI (Hak Pilih) UUD 1973, sebagaimana telah diubah. Ketentuan lain, seperti Pasal II (Pernyataan Prinsip dan Kebijakan Negara), Pasal VII (Presiden), Pasal X (Peradilan), Pasal XI (Pemerintahan Daerah), Pasal XII (Komisi Konstitusi), Pasal XIII (Pertanggungjawaban Pemerintahan). Pejabat Umum), Pasal XIV (Perekonomian Nasional dan Warisan Bangsa), dan Pasal XV (Ketentuan Umum) ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Proklamasi, sedangkan Pasal VIII, IX, XVI dan XVII dianggap untuk digantikan. Di bawah Komisi Sementara, semua undang-undang, dekrit, perintah eksekutif, proklamasi, surat instruksi dan pengeluaran eksekutif lainnya yang ada, yang tidak bertentangan dengan Proklamasi ini, harus tetap berlaku sampai diubah, diubah atau dicabut oleh Presiden atau badan legislatif reguler yang akan dibentuk. dibentuk berdasarkan konstitusi baru. Presiden terus menjalankan kekuasaan legislatif. Berdasarkan Pasal V UUDS, Komisi Konstitusi dibentuk berdasarkan Proklamasi No 9 yang beranggotakan 48 orang dengan tugas menyusun UUD dalam waktu sesingkat mungkin sesuai dengan kebutuhan untuk mempercepat kembalinya pemerintahan konstitusional yang normal. '. Setelah 133 hari bekerja dengan suara 45 banding 2, usulan Konstitusi baru, yang terdiri dari pembukaan, 18 pasal dan 321 bagian, diajukan kepada Presiden pada 15 Oktober 1986. disahkan oleh rakyat dalam plebisit yang diadakan pada 02 Februari 1987. Sesuai sifatnya, Undang-Undang Dasar Sementara maupun pemerintahan revolusioner yang menjalankannya, menghancurkan diri sendiri setelah ratifikasi dan keefektifan Konstitusi Baru sejak Presiden dan Wakil Presiden petahana terpilih dalam pelaksanaan pemilu 07 Februari 1986 diberikan masa jabatan enam tahun hingga 30 Juni 1992 di bawah Ketentuan Transisi. Pemilihan Kongres dijadwalkan akan diadakan pada tanggal 11 Mei 1987.3 Presiden petahana terus menjalankan kekuasaan legislatif sampai Kongres pertama akan diselenggarakan. Meskipun beberapa kudeta, Presiden Aquino menyelesaikan masa jabatannya di bawah Konstitusi 1987. Pemilihan diadakan pada 11 Mei 1992 dan Fidel V Ramos terpilih sebagai Presiden. 3 Presiden petahana terus menjalankan kekuasaan legislatif sampai Kongres pertama diadakan. Meskipun beberapa kudeta, Presiden Aquino menyelesaikan masa jabatannya di bawah Konstitusi 1987. Pemilihan diadakan pada 11 Mei 1992 dan Fidel V Ramos terpilih sebagai Presiden. 3 Presiden petahana terus menjalankan kekuasaan legislatif sampai Kongres pertama diadakan. Meskipun beberapa kudeta, Presiden Aquino menyelesaikan masa jabatannya di bawah Konstitusi 1987. Pemilihan diadakan pada 11 Mei 1992 dan Fidel V Ramos terpilih sebagai Presiden. Ia digantikan oleh Joseph Ejercito Estrada setelah pemilu 11 Mei 1998. Mengingat pemaparan Gubernur Luis Singson, Senat membuka sidang pemakzulan Presiden Estrada pada 20 November 2000. sebagai hasil pemungutan suara 11-10 oleh para hakim Senator terhadap pembukaan amplop kedua yang berisi bukti, di sana adalah ledakan kemarahan spontan yang melanda jalan-jalan di mana jaksa penuntut umum menarik diri mereka diikuti oleh pejabat publik lainnya dari Kabinet. Tindakan dan 'kekuatan rakyat' ini menahan pengunduran dirinya. Presiden Gloria M Arroyo diambil sumpahnya sebagai Presiden pada 20 Januari 2001 dan dipilih kembali pada 11 Mei 2004.
BAB 2 - SUMBER HUKUM Sumber utama hukum Filipina adalah Konstitusi, undang-undang, perjanjian dan konvensi, dan keputusan pengadilan. Konstitusi adalah hukum dasar negara dan dengan demikian, itu adalah otoritas tatanan tertinggi yang tidak dapat dilawan oleh otoritas lain. Setiap tindakan resmi, agar sah, harus sesuai dengannya. Di sisi lain, undang-undang dimaksudkan untuk memberikan perincian yang oleh Konstitusi, karena sifatnya, harus dibiarkan tidak disediakan. Statuta Filipina sangat banyak dan bervariasi dalam isinya. Mereka dimaksudkan untuk memberikan aturan dan peraturan yang akan mengatur perilaku orang-orang dalam menghadapi kondisi yang selalu berubah. Memiliki kekuatan otoritas yang sama dengan pemberlakuan legislatif adalah perjanjian yang dibuat oleh Filipina dengan negara-negara lain. Sebuah perjanjian telah didefinisikan sebagai perjanjian yang dibuat antara dua atau lebih negara merdeka dengan maksud untuk kesejahteraan umum. Sebagai anggota keluarga bangsa-bangsa, Filipina adalah penandatangan dan telah membuat banyak perjanjian dan konvensi. Hukum Filipina juga berasal dari kasus-kasus karena KUH Perdata menyatakan bahwa 'keputusan yudisial yang menerapkan atau menafsirkan undang-undang atau Konstitusi harus menjadi bagian dari sistem hukum Filipina'. Hanya keputusan Mahkamah Agungnya yang menetapkan yurisprudensi dan mengikat semua pengadilan lainnya. Dengan demikian, keputusan-keputusan ini mengasumsikan otoritas yang sama dengan undang-undang yang mereka terapkan atau interpretasikan dan sampai ditinggalkan secara otoritatif, harus menjadi, sejauh dapat diterapkan, kriteria yang harus mengontrol aktuasi tidak hanya dari mereka yang diminta untuk mematuhinya tetapi juga juga dari mereka yang terikat kewajiban untuk menegakkan ketaatan padanya. Sampai batas tertentu, hukum adat merupakan bagian dari warisan hukum Filipina karena Konstitusi 1987 menyatakan bahwa 'Negara harus mengakui, menghormati, dan melindungi hak komunitas budaya asli untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, tradisi, dan lembaga mereka'. Hal ini berlaku bahkan sejak tahun 1899 karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lama menetapkan bahwa 'di mana tidak ada undang-undang yang secara tepat dapat diterapkan pada titik yang diperdebatkan, kebiasaan tempat itu harus diterapkan, dan jika undang-undang itu tidak ada, prinsip-prinsip umum hukum'. Walaupun ketentuan ini telah dihapuskan dalam KUH Perdata baru yang mulai berlaku pada tahun 1950. Diduga hakim masih dapat menerapkan kebiasaan di tempat itu atau, dalam wanprestasinya, prinsip-prinsip umum hukum dalam ketiadaan undang-undang yang mengatur masalah yang diperdebatkan; jika tidak, ketentuan dari Kode yang sama yang mengharuskan dia untuk memutuskan setiap kasus bahkan di mana tidak ada undang-undang yang berlaku akan terbukti menjadi teka-teki yang sesungguhnya. Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menetapkan bahwa 'kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kebijaksanaan umum tidak boleh dibenarkan', dan 'kebiasaan harus dibuktikan sebagai fakta menurut aturan pembuktian'. Dengan demikian, hukum Filipina memperhatikan kebiasaan yang dapat dianggap sebagai sumber tambahan hukum. dan 'kebiasaan harus dibuktikan sebagai fakta menurut aturan pembuktian'. Dengan demikian, hukum Filipina memperhatikan kebiasaan yang dapat dianggap sebagai sumber tambahan hukum. dan 'kebiasaan harus dibuktikan sebagai fakta menurut aturan pembuktian'. Dengan demikian, hukum Filipina memperhatikan kebiasaan yang dapat dianggap sebagai sumber tambahan hukum. Statuta Filipina Statuta Filipina ditemukan dalam berbagai undang-undang legislatif Filipina sejak pembentukannya pada tahun 1900. dari pembentukan pemerintahan sipil Amerika pada tahun 1900 hingga 1935, ada 4.275 undang-undang yang disahkan oleh Komisi Filipina dan penerus bikameralnya, Filipina. Badan legislatif. Periode Persemakmuran menyaksikan pemberlakuan 733 undang-undang sementara 6.635 Undang-undang Republik diundangkan dari 04 Juli 1946 hingga 21 September 1972. selama periode darurat militer, total 2.035 Keputusan Presiden diundangkan pada 20 Februari 1986. Sebanyak 302 Perintah Eksekutif telah dikeluarkan oleh Presiden Corazon C Aquino. Kongres bersidang pada 27 Juli 1987 dan telah mengesahkan 9.338 Undang-Undang Republik hingga saat ini. Jadi, ada total 17.574 undang-undang sejak tahun 1900. (1) Hukum Perdata; (2) Revisi KUHP; (3) Kode Dagang (1888); (4) Kode Administratif; (5) Kode Pendapatan Dalam Negeri Nasional; (6) Kode Pemilu; (7) Tarif dan Kode Pabean; (8) Kode Pembaruan Agraria; (9) Perhubungan Darat dan Kode Lalu Lintas; (10) Kode Bangunan Nasional; (11) Revisi UU Kehutanan; (12) Kode Koperasi; (13) Kode Perburuhan; (14) Kode Nasional Pemasaran Pengganti ASI; (15) Kode Asuransi; (16) UU Kesejahteraan Anak dan Remaja; (17) Kode Sanitasi; (18) Kode Air; (19) Kode Lingkungan Filipina; (20) Hukum Hukum Pribadi Muslim; (21) Kode Kebakaran; (22) Kode Industri Kelapa; (23) Kode Korporasi; (24) Kode Investasi Omnibus tahun 1987; (25) Kitab Undang-Undang Pemeriksaan Negara; (26) Kode Pemerintah Daerah; (27) Hukum Keluarga; (28) Kode Perikanan Filipina tahun 1998; (29) Kode Kekayaan Intelektual; dan (30) Peraturan Sekuritas Berikut ini adalah ringkasan dari beberapa kode dasar. Kode Perdagangan Code of Commerce mulai berlaku pada 01 Desember 1888. sebagian besar diambil dari Spanish Code of Commerce tahun 1885, dengan beberapa modifikasi untuk disesuaikan dengan kondisi lokal, telah dimodifikasi oleh beberapa amandemen ekstensif oleh undang-undang komersial khusus seperti Corporation Code, Insolvency Undang-Undang, Undang-undang Hipotek Chattel, Undang-Undang Instrumen Negosiasi, Undang-Undang Resi Gudang, Undang-Undang Sekuritas yang Direvisi, Undang-Undang Merek Dagang, Undang-Undang Bank Sentral, Undang-Undang Perbankan Umum, dan Kode Investasi Omnibus, yang hanya tersisa garis besar dari kode aslinya. Bagiannya yang tidak dicabut menentukan kualifikasi pedagang dan tindakan perdagangan secara umum, surat kredit, rekening bersama, pendaftaran perdagangan, dan pembukuan. Kode Perusahaan Bentuk utama organisasi bisnis di Filipina adalah kepemilikan perseorangan, kemitraan, dan korporasi. Securities and Exchange Commission (SEC) mengelola undang-undang korporasi dan mendaftarkan korporasi, kantor cabang, dan kemitraan. Untuk kepemilikan perseorangan, prasyarat termasuk mendaftarkan nama bisnis ke Biro Perdagangan Domestik dan mendapatkan izin dari kota, kotamadya atau provinsi tempat bisnis akan berlokasi dan pembayaran biaya pendaftaran dan pajak hak istimewa. Untuk pendaftaran korporasi, persyaratan utama SEC adalah:
Korporasi dapat berdiri untuk jangka waktu tidak lebih dari 50 tahun, kecuali lebih cepat dibubarkan atau diperpanjang dan tidak lebih dari 50 tahun dalam hal apa pun. Manajemen perusahaan berada di tangan dewan direksi. Mayoritas direktur dari semua perusahaan yang diselenggarakan di bawah Kode Korporasi harus penduduk Filipina. Pada semua pemilihan direktur, pemilik mayoritas modal saham yang beredar, atau jika tidak ada modal saham, mayoritas anggota berhak memilih harus hadir. Pemungutan suara kumulatif disediakan untuk. Setiap direktur harus memiliki setidaknya satu saham untuk memenuhi syarat sebagai direktur. Tidak seorang pun yang dihukum dengan keputusan akhir atas pelanggaran yang dapat dihukum penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari enam tahun, atau pelanggaran terhadap Kode Korporasi, yang dilakukan dalam waktu lima tahun sebelum tanggal pemilihan, memenuhi syarat sebagai direktur atau pejabat korporasi. Pejabat yang harus dipilih perusahaan pada rapat organisasi adalah ketua, bendahara, dan sekretaris. Hanya presiden yang harus menjadi direktur korporasi. Setiap dua jabatan atau lebih dapat dirangkap oleh orang yang sama, kecuali tidak seorang pun boleh bertindak sebagai ketua dan sekretaris atau ketua dan bendahara pada saat yang bersamaan. Setiap korporasi yang tergabung dalam Corporation Code memiliki kekuatan dan kapasitas:
Satu atau lebih pemegang saham dari perusahaan saham dapat membuat perwalian pemungutan suara untuk tujuan memberikan kepada wali amanat atau wali amanat hak untuk memilih dan hak-hak lain yang berkaitan dengan saham untuk jangka waktu tidak lebih dari lima tahun pada satu waktu, asalkan dalam hal suatu perwalian pemungutan suara yang disyaratkan sebagai syarat dalam perjanjian pinjaman, perwalian pemungutan suara mungkin untuk jangka waktu tidak lebih dari lima tahun tetapi secara otomatis akan berakhir setelah pembayaran penuh pinjaman. Tidak ada perwalian pemungutan suara yang boleh diadakan untuk tujuan menghindari hukum terhadap monopoli dan kombinasi ilegal dalam pengekangan perdagangan atau digunakan untuk tujuan penipuan. Dewan direksi perusahaan saham dapat mengumumkan dividen dari laba ditahan yang tidak dibatasi yang harus dibayarkan dalam bentuk tunai, properti atau saham kepada semua pemegang saham berdasarkan saham beredar yang dimiliki oleh mereka. Korporasi saham dilarang menahan keuntungan surplus lebih dari 100% dari modal saham yang disetor, kecuali:
Perusahaan non-saham adalah perusahaan di mana tidak ada bagian dari pendapatannya yang dapat didistribusikan sebagai dividen kepada anggota, wali amanat, atau pejabatnya. Setiap laba yang diperoleh korporasi non-saham akan digunakan untuk memajukan maksud atau tujuan di mana korporasi itu didirikan. Ketentuan yang mengatur perusahaan saham, jika relevan, berlaku untuk perusahaan non-saham. Perusahaan non-saham dapat dibentuk untuk tujuan amal, keagamaan, pendidikan, profesional, budaya, persaudaraan, sastra, ilmiah, sosial, sipil, atau tujuan serupa, seperti perdagangan, industri, pertanian, atau kombinasinya. Hak anggota untuk memilih dapat dibatasi, diperluas atau ditolak sejauh yang ditentukan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga. Keanggotaan dalam perusahaan non-saham, dan semua hak yang timbul darinya, tidak dapat dialihkan. Pemutusan keanggotaan menghapus semua hak anggota dalam korporasi atau propertinya. Di bawah hukum Filipina, perusahaan asing adalah perusahaan yang didirikan menurut hukum negara selain Filipina yang undang-undangnya mengizinkan warga negara dan perusahaan Filipina untuk melakukan bisnis di negaranya sendiri. bisnis di Filipina atau mempertahankan gugatan apa pun di pengadilannya. Namun, ada kasus di mana perusahaan asing yang tidak pernah melakukan bisnis apa pun di Filipina dan yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar untuk melakukan bisnis di sini, bagaimanapun, diizinkan untuk menuntut di pengadilan Filipina. Hal ini diperbolehkan di mana korporasi dikenal secara luas dan disukai di Filipina melalui penggunaan produk-produknya yang menyandang nama perusahaan dan dagangnya. Hukum perdata KUH Perdata dirancang oleh Komisi Kode dan mulai berlaku pada 01 Juli 1950, menggantikan KUH Perdata Spanyol tahun 1889. itu dibagi menjadi empat buku - Orang, Properti, Berbagai Cara Memperoleh Kepemilikan, dan Kewajiban dan Kontrak. Berisi 2.270 pasal dibandingkan dengan 1.976 pasal UU lama, kira-kira 25% dipertahankan seluruhnya dari UU lama sementara 32% merupakan pasal yang diubah dan 43% merupakan ketentuan yang sama sekali baru. Ini termasuk aturan baru yang bertujuan untuk menggabungkan kebiasaan Filipina dan hak baru dan penyebab tindakan seperti tindakan sipil untuk menghalangi kebebasan sipil, kerusakan moral dan nominal. Beberapa perubahan penting yang dilakukan oleh KUH Perdata adalah penghapusan cerai mutlak dan mahar; penciptaan rumah keluarga yudisial atau ekstrayudisial; satu bab tentang Hak Asasi Manusia; ketentuan tentang pencabutan hak dan pembuatan kemudahan baru; wasiat holografik telah dihidupkan kembali; hak suksesi pasangan yang masih hidup dan anak-anak di luar nikah telah ditingkatkan; kontrak yang rusak telah direklasifikasi sementara kontrak semu baru telah dibuat; babak baru tentang reformasi kontrak; dan beberapa kepercayaan tersirat telah dibuat. Hukum Keluarga Filipina mulai berlaku pada 03 Agustus 1988. Itu mengubah ketentuan Hukum Perdata tentang perkawinan dan keluarga. Beberapa perubahan yang lebih penting yang diperkenalkan dalam Kitab Undang-undang tersebut adalah alasan pembatalan pernikahan yang sekarang termasuk 'ketidakmampuan psikologis untuk mematuhi kewajiban pernikahan yang esensial ....' Ini juga memungkinkan orang Filipina, yang menikah dengan orang asing yang kemudian mendapatkan perceraian di luar negeri. , untuk menikah lagi di bawah Hukum Filipina. Hukum Keluarga juga telah mengubah hubungan properti antara suami-istri dari hubungan suami-istri untuk keuntungan menjadi komunitas properti absolut tanpa adanya ketentuan dalam penyelesaian pernikahan. Klasifikasi anak juga telah disederhanakan menjadi sah dan tidak sah dan diadopsi. Undang-Undang Kesejahteraan Anak dan Remaja yang mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 1975 mengubah beberapa bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berlaku untuk orang di bawah usia 21 tahun, kecuali mereka yang dibebaskan sesuai dengan hukum. Beberapa fitur penting termasuk hak dan tanggung jawab anak; otoritas orang tua; adopsi; hak, kewajiban dan kewajiban orang tua; asuh; kesejahteraan pemuda; kategori khusus anak-anak; dan perlakuan yang diberikan kepada pelaku yang masih muda. Republic Act No 7610 (1992), atau dikenal sebagai Undang-Undang Perlindungan Khusus Anak Terhadap Pelecehan, Eksploitasi dan Diskriminasi Anak menerapkan Konvensi PBB tentang Hak Anak, yang diratifikasi oleh Filipina pada Juli 1990. The Code of Muslim Personal Laws of the Philippines diumumkan pada 04 Februari 1977, menggambarkan kepedulian pemerintah terhadap adat, tradisi, kepercayaan dan kepentingan komunitas budaya nasional. Mengakui sistem hukum Muslim Filipina dan berusaha membuat institusi Islam lebih efektif, kode ini mengatur pernikahan ( nikah ), perceraian ( talaq ), paternitas dan filiasi, dukungan ( nafaqa ), otoritas orang tua, catatan sipil, suksesi dan syariah. 'pengadilan; yurisdiksi untuk mengadili, penyelesaian dan penyampaian pendapat hukum. Kode Perburuhan Undang-Undang Ketenagakerjaan merevisi dan mengkonsolidasikan undang-undang ketenagakerjaan dan sosial untuk memberikan perlindungan kepada pekerja, mempromosikan pekerjaan dan pengembangan sumber daya manusia dan memastikan perdamaian industri berdasarkan keadilan sosial. Ini dibagi menjadi tujuh buku. Buku I berjudul 'Pra-Kerja' dan berurusan dengan perekrutan dan penempatan pekerja dan pekerjaan orang asing yang bukan penduduk. Buku II berjudul 'Pengembangan Sumber Daya Manusia' dan berkaitan dengan program pengembangan tenaga kerja nasional, pemagangan, pekerja kurus dan pekerja cacat. Buku III berjudul 'Kondisi Ketenagakerjaan' dan membahas jam kerja, waktu istirahat mingguan dan upah, serta ketentuan untuk mempekerjakan perempuan, pembantu rumah tangga di bawah umur dan pekerja rumahan. Jam kerja normal setiap karyawan tidak boleh melebihi delapan jam sehari dengan waktu istirahat 60 menit untuk makan reguler mereka. Pekerjaan yang dilakukan di luar delapan jam pantas mendapat kompensasi tambahan yang setara dengan upah regulernya ditambah sekurang-kurangnya 25% darinya. Karyawan menikmati waktu istirahat tidak kurang dari 24 jam berturut-turut setelah setiap enam hari kerja berturut-turut. Meskipun pemberi kerja menentukan hari istirahat mingguan, ia diharuskan untuk menghormati preferensi pekerja mengenai hari istirahat mingguan mereka ketika preferensi tersebut didasarkan pada alasan agama. Biasanya, pekerjaan yang dilakukan pada hari libur, seperti hari Minggu atau hari libur, harus diberi kompensasi tambahan sekurang-kurangnya 30% dari upah tetapnya. Namun, jika perjanjian kerja bersama atau kontrak kerja lain yang berlaku menetapkan pembayaran premi yang lebih tinggi, maka pemberi kerja harus membayar tarif yang lebih tinggi tersebut. Setiap pekerja harus dibayar upah harian regulernya selama hari libur reguler, kecuali di perusahaan ritel dan jasa yang mempekerjakan kurang dari sepuluh pekerja secara reguler. Majikan dapat meminta karyawan untuk bekerja pada hari libur apa pun, tetapi karyawan tersebut harus dibayar kompensasi yang setara dengan dua kali lipat tarif reguler mereka. Hari libur meliputi Hari Tahun Baru, Kamis Putih, Jumat Agung, 09 April, 01 Mei, 12 Juni, 4 Juli, 30 November, dan 25 dan 30 Desember. Setiap karyawan yang telah memberikan setidaknya satu tahun layanan berhak atas cuti insentif layanan tahunan lima hari cuti dengan gaji. Tingkat upah minimum untuk pekerja dan pekerja pertanian dan non-pertanian di setiap dan setiap wilayah negara adalah yang ditentukan oleh Dewan Pengupahan dan Produktivitas Tripartit Daerah menurut faktor-faktor yang relevan. Buku IV berjudul 'Kesehatan, Keselamatan dan Tunjangan Kesejahteraan Sosial' dan berkaitan dengan kesehatan, gigi dan keselamatan kerja, kompensasi karyawan dan Dana Asuransi Negara, Medicare dan pendidikan orang dewasa. Undang-undang Jaminan Sosial mengatur tunjangan pensiun, kematian, cacat dan sakit. Cakupan wajib untuk semua karyawan sejak tanggal kerja mereka dan untuk pemberi kerja sejak hari pertama operasi mereka. Juga tercakup adalah semua wiraswasta yang berpenghasilan P1.800 atau lebih per tahun. Penerapannya untuk kelompok wiraswasta tertentu ditentukan oleh Komisi Jaminan Sosial di bawah aturan dan peraturan yang ditentukan. Warga negara Filipina yang direkrut oleh pemberi kerja asing untuk bekerja di luar negeri dapat ditanggung oleh Sistem Jaminan Sosial (SSS) secara sukarela. Di samping itu, pegawai pemerintah dilindungi oleh Sistem Asuransi Layanan Pemerintah (GSIS). Program Asuransi Kesehatan Nasional mencakup semua orang Filipina. Buku V berjudul 'Hubungan Perburuhan' dan mencakup Komisi Hubungan Perburuhan Nasional, Biro Hubungan Perburuhan, Organisasi Perburuhan, praktik perburuhan yang tidak adil, perundingan bersama dan pelaksanaan perjanjian, pemogokan dan penutupan, keterlibatan asing dalam kegiatan serikat pekerja dan ketentuan khusus . Komisi Hubungan Perburuhan Nasional dibentuk di Departemen Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan, terdiri dari seorang ketua dan lima anggota mewakili pengusaha, empat anggota mewakili masyarakat, dan lima anggota mewakili karyawan. Komisi menjalankan yurisdiksi banding atas semua kasus yang diputuskan oleh arbiter buruh. Para arbiter tenaga kerja menjalankan yurisdiksi eksklusif untuk mengadili dan memutuskan dalam waktu 30 hari kalender setelah pengajuan keputusan, tanpa perpanjangan, hal-hal berikut:
Kasus-kasus yang timbul dari penafsiran atau pelaksanaan perjanjian kerja bersama (CBA) dan kasus-kasus yang timbul dari penafsiran atau penegakan kebijakan personel perusahaan harus diselesaikan oleh arbiter tenaga kerja dengan merujuknya ke mesin pengaduan dan arbitrase sukarela, sebagaimana mungkin disediakan untuk dalam perjanjian. Semua orang yang dipekerjakan di perusahaan komersial, industri dan pertanian, termasuk lembaga keagamaan, amal, medis, atau pendidikan, baik beroperasi untuk mencari keuntungan atau tidak, memiliki hak untuk mengatur diri sendiri dan untuk membentuk, bergabung, atau membantu dalam organisasi buruh yang mereka pilih untuk tujuan perundingan bersama. Yang dikecualikan dari keikutsertaan adalah pegawai manajerial, pegawai pemerintah dari instansi yang dibentuk dengan undang-undang, dan anggota koperasi. Pihak-pihak dalam CBA akan memasukkan dalam perjanjian, ketentuan-ketentuan yang akan memastikan kepatuhan bersama terhadap syarat dan ketentuannya. CBA harus memuat perangkat untuk penyesuaian dan penyelesaian keluhan yang timbul dari interpretasi atau implementasi CBA mereka dan yang timbul dari interpretasi atau penegakan kebijakan personel perusahaan. Jika keluhan tidak diselesaikan dalam waktu tujuh hari kalender sejak pengajuan, keluhan tersebut secara otomatis dirujuk ke arbitrase sukarela sebagaimana ditentukan dalam PKB. Arbitrase sukarela atau panel arbiter sukarela memiliki yurisdiksi eksklusif untuk mendengar dan memutuskan semua keluhan yang belum terselesaikan yang timbul dari interpretasi atau implementasi kebijakan personel atau CBA perusahaan. Pelanggaran CBA, kecuali yang bersifat kasar, tidak lagi diperlakukan sebagai praktik ketenagakerjaan yang tidak adil tetapi diselesaikan sebagai keluhan berdasarkan PKB. Putusan atau keputusan arbiter sukarela bersifat final dan dapat dilaksanakan setelah sepuluh hari kalender sejak diterimanya salinan putusan atau keputusan oleh para pihak. Banding dapat diajukan ke Pengadilan Banding dan hanya ke Mahkamah Agung oleh certiorari tentang pertanyaan hukum. Buku VI berjudul 'Pasca-Kerja' dan berkaitan dengan jaminan masa kerja, pekerjaan reguler, sambilan, dan percobaan, pemutusan hubungan kerja oleh pemberi kerja atau karyawan, penutupan perusahaan dan pengurangan personel, serta pensiun dari layanan. Buku VII berisi Ketentuan-Ketentuan Sementara dan Akhir yang meliputi ketentuan-ketentuan panel serta ketentuan delik dan tuntutan.
BAB 3 - Pemerintah dan Negara Piagam Baru digambarkan sebagai 'pro-kehidupan, pro-rakyat, pro-miskin, pro-Filipina dan anti-kediktatoran'. Itu 'pro-kehidupan' karena melarang senjata nuklir, melindungi bayi yang belum lahir sejak saat pembuahan, menghapus hukuman mati kecuali dalam kasus ekstrim ketika Kongres dapat memberlakukannya kembali, dan melindungi keluarga sebagai lembaga sosial otonom dasar. Dianggap 'pro rakyat' karena memuat kebijakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat, yaitu. tatanan sosial yang adil dan manusiawi, pelayanan sosial yang memadai, perlindungan hak atas kesehatan dan ekologi yang seimbang dan sehat serta mengutamakan pendidikan; memungkinkan partisipasi yang lebih besar oleh rakyat dalam pemerintahan melalui sistem partai yang bebas dan terbuka, perwakilan sektoral, organisasi rakyat, dan institusi dari proses inisiatif dan referendum dalam pembuatan undang-undang dan amandemen konstitusi. Ini 'pro-orang miskin' karena ada kebijakan sosial-ekonomi yang meringankan penderitaan orang-orang yang kurang beruntung, dan mempromosikan keadilan sosial. Itu pro-Filipina karena ada ketentuan untuk kontrol Filipina atas ekonomi, lembaga pendidikan, media massa dan periklanan dan utilitas publik; reservasi area investasi tertentu untuk orang Filipina jika itu untuk kepentingan nasional, dan dalam praktik semua profesi; bahasa nasional Filipina dan pelestarian budaya nasional Filipina. Ini 'anti-kediktatoran' karena membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kekuasaan Kongres dan Kehakiman, dengan demikian, mencegah konsolidasi kekuasaan dalam satu orang atau cabang pemerintahan. Meskipun pada dasarnya bercorak UUD 1973, UUD 1987 terdiri dari 100 pasal baru yang terutama mengatur tentang keadilan sosial, ekonomi nasional, hak-hak keluarga, pendidikan dan sumber daya manusia, Komisi Hak Asasi Manusia dan daerah otonom. Namun, prinsip dasar yang sama yang mendasari konstitusi sebelumnya masih terdapat dalam konstitusi baru, di antaranya adalah:
Struktur Pemerintahan Pemerintah Filipina adalah republik dalam bentuk dan di bawah sistem presidensial yang dibedakan dari sistem parlementer di bawah Konstitusi 1973. Ini adalah pemerintahan kesatuan dan terpusat dengan prinsip pemisahan kekuasaan sebagai fitur dasar. Ini berarti bahwa ada pembagian fungsi pemerintahan ke dalam tiga kelas yang berbeda: eksekutif, legislatif, dan yudikatif; dan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi yang diberikan kepada setiap departemen di bawah Konstitusi, setiap departemen adalah yang tertinggi, berkoordinasi dan sejajar dengan yang lainnya. Setiap tindakan salah satu perampasan yang lain atau, melebihi kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Konstitusi, tidak sah. Sementara ketiganya berdiri sendiri satu sama lain, mereka merupakan satu kesatuan yang saling tergantung sejauh mungkin diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan pemerintahan. Eksekutif Konstitusi 1987 memberikan kekuasaan eksekutif kepada seorang Presiden yang mengendalikan semua departemen, biro dan kantor eksekutif; melakukan pengawasan umum terhadap pemerintah daerah; dan memastikan bahwa hukum dilaksanakan dengan setia. Ini memberi Presiden kekuasaan Panglima Tertinggi semua angkatan bersenjata Filipina dan memberdayakan kantor ini, dalam keadaan dan kondisi tertentu, untuk menangguhkan hak istimewa surat perintah habeas corpusatau menempatkan Filipina di bawah darurat militer untuk jangka waktu terbatas. Keadaan darurat militer tidak menangguhkan operasi Konstitusi, juga tidak menggantikan fungsi pengadilan sipil atau majelis legislatif, juga tidak mengizinkan pemberian yurisdiksi pada pengadilan militer dan badan-badan atas warga sipil di mana pengadilan sipil dapat berfungsi, juga tidak secara otomatis menangguhkan keistimewaan tulisan. Demikian pula, penangguhan hak istimewa surat perintah hanya berlaku untuk orang yang dituntut secara hukum karena pemberontakan atau pelanggaran yang melekat atau berhubungan langsung dengan invasi. Kekuasaan Presiden lainnya meliputi: kewenangan untuk mencalonkan dan mengangkat, dengan persetujuan Komisi Pengangkatan, kepala departemen eksekutif, duta besar, menteri dan konsul publik lainnya, atau pejabat angkatan bersenjata dari pangkat kolonel atau kapten angkatan laut, dan perwira-perwira lain yang pengangkatannya diberikan kepada Kepresidenan berdasarkan Konstitusi dan undang-undang; wewenang untuk mengontrak atau menjamin pinjaman luar negeri atas nama Republik tetapi hanya dengan persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Moneter dan tunduk pada batasan yang ditentukan oleh undang-undang; untuk memberikan penangguhan hukuman, keringanan dan pengampunan, dan membayarkan denda dan penyitaan setelah hukuman dengan keputusan akhir, kecuali dalam kasus pemakzulan; dan untuk memberikan amnesti dengan persetujuan mayoritas dari semua Anggota Kongres. Presiden juga berpartisipasi dalam proses legislatif karena suatu rancangan undang-undang yang disahkan oleh Kongres tidak menjadi undang-undang kecuali dia menyetujuinya. Jika dia memveto RUU itu, itu masih bisa menjadi undang-undang jika dua pertiga dari semua Anggota dari setiap DPR mempertimbangkan kembali dan menyetujui RUU tersebut. Baik Presiden maupun Wakil Presiden dipilih melalui pemungutan suara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan enam tahun. Presiden tidak dapat dipilih kembali, sedangkan Wakil Presiden dapat menjabat tidak lebih dari dua periode berturut-turut. Dalam hal kematian, cacat tetap, pemecatan dari jabatan, atau pengunduran diri Presiden selama masa jabatannya, Wakil Presiden menjadi Presiden dan menjabat untuk masa jabatan yang belum berakhir. Jika tidak ada Presiden atau Wakil Presiden, Presiden Senat, atau dalam hal ketidakmampuannya, Ketua Dewan Perwakilan akan bertindak sebagai Presiden sampai Presiden atau Wakil Presiden terpilih dan memenuhi syarat. Badan Legislatif Kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres Filipina, sebuah badan bikameral yang terdiri dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali jika disediakan untuk rakyat berdasarkan ketentuan inisiatif dan referendum. Senat terdiri dari 24 Senator yang dipilih secara umum untuk masa jabatan enam tahun dan tidak lebih dari dua masa jabatan berturut-turut. Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari paling banyak 250 anggota, 20% di antaranya dipilih melalui sistem daftar partai dan dari sektor untuk tiga masa jabatan pertama sedangkan sisanya dipilih melalui daerah pemilihan legislatif. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih untuk masa jabatan tiga tahun tetapi tidak boleh menjabat lebih dari tiga periode berturut-turut. Setelah menjabat, semua anggota Kongres harus mengungkapkan sepenuhnya kepentingan keuangan atau bisnis mereka. Mereka harus memberi tahu Dewan tentang potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul dari pengajuan undang-undang yang diusulkan di mana mereka adalah penulisnya. Larangan lainnya adalah:
Perwakilan Kongres menikmati kekebalan parlementer untuk semua pelanggaran yang dapat dihukum tidak lebih dari enam tahun penjara ketika Kongres sedang bersidang. Kongres bersidang setahun sekali pada hari Senin keempat bulan Juli untuk sesi regulernya, kecuali tanggal yang berbeda ditetapkan oleh undang-undang, dan terus bersidang selama beberapa hari yang dapat ditentukan hingga 30 hari sebelum pembukaan sesi berikutnya. sesi reguler. Mayoritas dari setiap Dewan merupakan kuorum untuk melakukan bisnis tetapi jumlah yang lebih kecil dapat ditunda dari hari ke hari dan dapat memaksa kehadiran anggota yang tidak hadir dengan cara dan di bawah hukuman yang dapat ditentukan oleh Dewan. Salah satu Rumah dapat ditunda tidak lebih dari tiga hari tetapi tidak dapat ditunda untuk waktu yang lebih lama atau ke tempat lain selain di mana kedua Rumah itu duduk. Setiap Dewan, dengan suara mayoritas dari semua anggotanya masing-masing, memilih Presiden Senat dan Ketua serta pejabat lainnya yang memegang jabatan mereka sesuai keinginan anggotanya masing-masing. Setiap Rumah menentukan aturan prosedurnya, menghukum anggotanya karena perilaku tidak tertib, dan dengan persetujuan dua pertiga dari semua anggotanya, dapat menangguhkan anggota untuk jangka waktu tidak lebih dari 60 hari atau memecatnya. Setiap DPR memiliki Pengadilan Pemilihan yang terdiri dari sembilan anggota, tiga di antaranya akan menjadi Hakim Agung, yang akan ditunjuk oleh Ketua, dengan Senior Justice sebagai Ketua dan Hakim yang tersisa sebagai anggota Senat atau DPR, sebagai kasusnya mungkin, yang dipilih berdasarkan perwakilan proporsional dari partai politik atau organisasi yang terdaftar di bawah sistem daftar partai yang diwakili di dalamnya. dapat menangguhkan anggota untuk jangka waktu tidak lebih dari 60 hari atau mengeluarkannya. Setiap DPR memiliki Pengadilan Pemilihan yang terdiri dari sembilan anggota, tiga di antaranya akan menjadi Hakim Agung, yang akan ditunjuk oleh Ketua, dengan Senior Justice sebagai Ketua dan Hakim yang tersisa sebagai anggota Senat atau DPR, sebagai kasusnya mungkin, yang dipilih berdasarkan perwakilan proporsional dari partai politik atau organisasi yang terdaftar di bawah sistem daftar partai yang diwakili di dalamnya. dapat menangguhkan anggota untuk jangka waktu tidak lebih dari 60 hari atau mengeluarkannya. Setiap DPR memiliki Pengadilan Pemilihan yang terdiri dari sembilan anggota, tiga di antaranya akan menjadi Hakim Agung, yang akan ditunjuk oleh Ketua, dengan Senior Justice sebagai Ketua dan Hakim yang tersisa sebagai anggota Senat atau DPR, sebagai kasusnya mungkin, yang dipilih berdasarkan perwakilan proporsional dari partai politik atau organisasi yang terdaftar di bawah sistem daftar partai yang diwakili di dalamnya. Undang-Undang Sistem Daftar Partai menetapkan mekanisme perwakilan proporsional dalam pemilihan wakil DPR dari partai atau organisasi atau koalisi nasional, daerah, atau sektoral yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum. Wakil daftar partai merupakan dua puluh persen (20%) dari jumlah anggota DPR termasuk yang masuk dalam daftar partai. Dalam menentukan alokasi kursi untuk pemungutan suara kedua, partai-partai diurutkan dari yang tertinggi sampai yang terendah berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya selama pemilihan. Partai, organisasi, dan koalisi yang memperoleh sekurang-kurangnya 2 persen (2%) suara berhak atas masing-masing satu kursi dan apabila memperoleh lebih dari dua persen, Konstitusi telah menghidupkan kembali Komisi Pengangkatan, yang dibentuk berdasarkan UUD 1935, untuk mempertimbangkan pencalonan yang dilakukan oleh Presiden untuk posisi yang lebih penting dalam pemerintahan. Komisi ini terdiri dari Presiden Senat sebagai Ketua ex officio, 12 Senator dan 12 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipilih oleh masing-masing Dewan berdasarkan perwakilan proporsional dari partai politik yang terdaftar di bawah sistem daftar partai. Nominasi yang diajukan kepadanya harus ditindaklanjuti dalam waktu 30 hari sesi sejak pengajuan mereka. Meskipun kekuasaan legislatif Kongres luas cakupannya, itu tidak terbatas. Pembatasan tersebut dapat berupa substantif atau formal, tersirat atau tersurat. Bill of Rights memuat batasan-batasan yang tegas dan spesifik, sementara batasan-batasan spesifik dan substantif ditemukan dalam ketentuan-ketentuan tertentu: satu-satunya kekuasaan untuk menyatakan adanya keadaan perang yang harus diperoleh persetujuan dari dua pertiga mayoritas dalam pemungutan suara sesi bersama secara terpisah; aturan perpajakan harus menjadi sistem yang seragam dan adil tetapi progresif; uang atau properti publik tidak boleh digunakan untuk tujuan keagamaan; tidak ada undang-undang yang memberikan gelar kerajaan atau kebangsawanan yang akan diberlakukan; tidak ada undang-undang yang dapat meningkatkan yurisdiksi kasasi Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Konstitusi, tanpa nasihat dan persetujuannya; tidak ada undang-undang yang akan disahkan yang mengesahkan pengalihan alokasi kecuali sebagaimana diatur dalam Konstitusi; dan bahwa lembaga amal, gereja dan tokoh atau biara, kuburan nirlaba dan semua tanah, bangunan dan peningkatan, sebenarnya, secara langsung, dan secara eksklusif digunakan untuk tujuan keagamaan, amal, atau pendidikan akan dibebaskan dari pajak. Tentu saja, tersirat batasan-batasan substantif yang melekat pada sifat dan karakter pemerintah, seperti larangan pengesahan undang-undang yang tidak dapat dibatalkan dan larangan pelimpahan wewenang legislatif. dan digunakan secara eksklusif untuk tujuan keagamaan, amal, atau pendidikan akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Tentu saja, tersirat batasan-batasan substantif yang melekat pada sifat dan karakter pemerintah, seperti larangan pengesahan undang-undang yang tidak dapat dibatalkan dan larangan pelimpahan wewenang legislatif. dan digunakan secara eksklusif untuk tujuan keagamaan, amal, atau pendidikan akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Tentu saja, tersirat batasan-batasan substantif yang melekat pada sifat dan karakter pemerintah, seperti larangan pengesahan undang-undang yang tidak dapat dibatalkan dan larangan pelimpahan wewenang legislatif. Batasan formal mengacu pada persyaratan prosedural dalam berlakunya peraturan perundang-undangan serta bentuk dan isi di dalamnya. Setiap rancangan undang-undang yang disahkan oleh Kongres hanya mencakup satu pokok bahasan, yang harus dinyatakan dalam judulnya. Tidak ada undang-undang yang disahkan oleh salah satu Dewan menjadi undang-undang kecuali telah melewati tiga pembacaan pada hari yang terpisah, dan salinan cetakannya dalam bentuk akhirnya telah dibagikan kepada Anggota tiga hari sebelum pengesahannya, kecuali jika Presiden menyatakan kebutuhannya segera. pemberlakuan untuk menghadapi bencana atau keadaan darurat publik. Setelah pembacaan terakhir dari sebuah RUU, tidak ada amandemen yang diperbolehkan dan pemungutan suara dilakukan segera setelah itu dan ya dan tidak dimasukkan dalam jurnal. Setiap RUU yang disahkan oleh Kongres harus diajukan kepada Presiden untuk disetujui. Jika dia menyetujuinya, dia menandatangani RUU itu dan itu menjadi undang-undang. Jika dia memveto, dia harus mengembalikan tagihan itu ke DPR asalnya, bersama dengan keberatannya. RUU tersebut menjalani prosedur yang sama tetapi harus mendapatkan persetujuan dari dua pertiga dari semua Anggota di setiap Dewan untuk menjadi undang-undang. Untuk apropriasi, pendapatan atau tagihan tarif, veto presiden atas item atau item tertentu tidak memengaruhi item atau item apa pun yang tidak dia keberatan. Perlu dicatat bahwa sesuai dengan pasal 2 KUH Perdata, 'undang-undang mulai berlaku setelah lima belas hari setelah selesainya pengumuman mereka dalam Lembaran Negarakecuali ditentukan lain'. Menurut Mahkamah Agung, klausul 'kecuali ditentukan lain' mengacu pada tanggal berlakunya dan bukan pada persyaratan publikasi itu sendiri, yang bagaimanapun juga tidak dapat diabaikan. Klausul tersebut tidak berarti bahwa badan legislatif dapat mengesahkan undang-undang tersebut segera setelah disetujui, atau tanggal lainnya, tanpa publikasi sebelumnya. Publikasi sangat diperlukan dalam setiap kasus, tetapi badan legislatif dapat, dengan kebijakannya sendiri, menetapkan bahwa periode 15 hari yang biasa akan dipersingkat atau diperpanjang. Ketentuan ini kemudian diubah dengan bagian 18 dari Perintah Eksekutif No 200, tanggal 18 Juni 1987 dan diadopsi dalam Perintah Eksekutif No 292 yang mengumumkan Kode Administratif tahun 1987 untuk memasukkan publikasi dalam 'surat kabar dengan sirkulasi umum'. tagihan aplikasi lokal dan tagihan pribadi yang harus berasal secara eksklusif dari Dewan Perwakilan Rakyat; Kongres tidak boleh menambah alokasi yang direkomendasikan oleh Presiden untuk pengoperasian pemerintah sebagaimana ditentukan dalam anggaran; tidak ada ketentuan atau pengesahan yang akan dianut dalam RUU alokasi umum kecuali jika terkait secara khusus dengan beberapa alokasi khusus tertentu; prosedur dalam menyetujui alokasi untuk Kongres akan secara ketat mengikuti prosedur untuk menyetujui alokasi untuk departemen dan badan lain; dan tagihan alokasi khusus akan menentukan tujuan yang dimaksudkan dan akan didukung oleh dana yang benar-benar tersedia sebagaimana disahkan oleh Bendahara Nasional, atau akan dikumpulkan oleh proposal pendapatan yang sesuai. Kejaksaan Sistem peradilan Filipina terdiri dari hierarki pengadilan dengan Mahkamah Agung di puncaknya. Di bawah Undang-Undang Reorganisasi Yudisial, pengadilan lainnya adalah: (a) satu Court of Appeals (CA) (b) Regional Trial Courts (RTC) dibagi menjadi 13 wilayah yudisial, dengan total 950 cabang; dan (c) 82 Pengadilan Pengadilan Metropolitan (MeTTC), 124 Pengadilan Pengadilan Kota di Kota (MTCC) dan 438 Pengadilan Pengadilan Kota (MTC) dan 480 Pengadilan Pengadilan Sirkuit Kota (MCTC). Bagi umat Islam, ada 51 sirkuit syariah dan lima pengadilan negeri syariah. Selain pengadilan ini, ada pengadilan khusus, yaitu Pengadilan Keluarga, Pengadilan Banding, dan Sandiganbayan . Mahkamah Agung Mahkamah Agung terdiri dari seorang Ketua Mahkamah Agung dan 14 Hakim Pembantu yang duduk atau atas kebijakannya sendiri, dalam divisi-divisi yang beranggotakan tiga, lima atau tujuh orang. Kasus-kasus yang disidangkan dan diputus oleh Mahkamah Agung en bancadalah hal-hal yang melibatkan konstitusionalitas suatu perjanjian, persetujuan eksekutif, atau hukum; dan kasus-kasus seperti yang disyaratkan oleh Peraturan Pengadilan, termasuk yang melibatkan konstitusionalitas, penerapan, atau pelaksanaan keputusan presiden, proklamasi, perintah, instruksi, tata cara, dan peraturan lainnya. Kasus-kasus ini diputuskan dengan persetujuan mayoritas anggota yang benar-benar mengambil bagian dalam pembahasan masalah kasus dan memilihnya. Kasus-kasus atau masalah-masalah yang disidangkan oleh suatu divisi diputuskan dengan persetujuan mayoritas anggota yang benar-benar mengambil bagian dalam pembahasan masalah-masalah kasus dan memilihnya, dan dalam hal apa pun, tanpa persetujuan setidaknya tiga dari Anggota tersebut. . Ketika jumlah yang dibutuhkan tidak diperoleh, kasus diputuskan en banc. Tidak ada doktrin atau asas hukum yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam keputusan yang dibuat en berbanc atau dalam pembagian yang dapat diubah atau dibatalkan kecuali oleh Pengadilan yang bersidang en berbanc . Di bawah Konstitusi, Mahkamah Agung menjalankan yurisdiksi asli atas kasus yang mempengaruhi duta besar, menteri publik lainnya dan konsul, dan atas petisi untuk certiorari, larangan, mandamus, quo warranto, dan habeas corpus . Mahkamah Agung memiliki kekuasaan untuk meninjau dan merevisi, membalikkan, mengubah atau menegaskan banding, sebagaimana dapat ditentukan oleh undang-undang atau Peraturan Pengadilan, putusan akhir dan keputusan pengadilan yang lebih rendah dalam:
Setiap putusan, perintah atau putusan Komisi Aparatur Sipil Negara, Komisi Pemilihan Umum atau Komisi Pemeriksa dapat diajukan ke Mahkamah Agung atas certiorari oleh pihak yang dirugikan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya salinannya. Di bawah undang-undang khusus, Mahkamah Agung diberikan yurisdiksi eksklusif untuk meninjau keputusan Dewan Waralaba dan Pengatur Transportasi Darat dan Komisi Telekomunikasi Nasional, yang fungsinya sebelumnya dijalankan oleh Komisi Layanan Publik, Administrasi Elektrifikasi Nasional, dan Komisi Sekuritas dan Pertukaran . Mahkamah Agung, duduk en banc , adalah hakim tunggal dari semua kontes yang berkaitan dengan pemilihan, pengembalian, dan kualifikasi Presiden atau Wakil Presiden, dan dapat mengumumkan aturannya untuk tujuan ini. Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan untuk mengumumkan aturan tentang perlindungan dan penegakan hak konstitusional, pembelaan, praktik dan prosedur di semua pengadilan, penerimaan praktik hukum, Pengacara Terpadu, dan bantuan hukum bagi orang yang kurang mampu. Peraturan tersebut harus menyediakan prosedur yang disederhanakan dan tidak mahal untuk penyelesaian kasus secara cepat, harus seragam untuk semua pengadilan dengan tingkat yang sama, dan tidak boleh mengurangi, menambah, atau mengubah hak-hak substantif. Itu dapat memerintahkan perubahan tempat atau tempat persidangan untuk menghindari kegagalan keadilan. Untuk sementara dapat menugaskan hakim-hakim dari pengadilan yang lebih rendah ke jabatan lain sebagaimana diperlukan oleh kepentingan umum, tetapi penugasan sementara itu tidak boleh lebih dari enam bulan tanpa persetujuan hakim yang bersangkutan.En banc , ia memiliki kekuatan untuk mendisiplinkan hakim dari pengadilan yang lebih rendah, atau memerintahkan pemecatan mereka dengan suara mayoritas Anggota yang benar-benar mengambil bagian dalam pertimbangan tentang masalah dalam kasus tersebut dan memilih mereka. Pengadilan Banding Pengadilan Banding terdiri dari Hakim Ketua dan 68 Hakim Madya. Ini menjalankan kekuasaan, fungsi dan tugasnya melalui 23 divisi, masing-masing divisi terdiri dari tiga anggota. Mahkamah dapat duduk en banc hanya untuk tujuan menjalankan fungsi administrasi, seremonial atau fungsi non-pengadilan lainnya. Pengadilan Banding memiliki stasiun permanen di Kota Manila (17 divisi), Kota Cebu (3 divisi), dan Kota Cagayan de Oro (4 divisi). Bilamana dituntut oleh kepentingan umum atau bilamana dibenarkan oleh bertambahnya beban perkara, Mahkamah Agung dapat memberi wewenang kepada setiap bagian dari Mahkamah untuk mengadakan sidang-sidang secara berkala, atau untuk jangka waktu dan tempat-tempat yang dapat ditentukan oleh Mahkamah Agung untuk kepentingan pemeriksaan dan memutuskan kasus. Persidangan atau pemeriksaan di Pengadilan Tinggi harus terus-menerus dan harus diselesaikan dalam waktu tiga bulan kecuali diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung. Mayoritas anggota Pengadilan yang sebenarnya merupakan kuorum untuk sidangnya en bertamasya . Tiga anggota merupakan kuorum untuk sesi divisi. Suara bulat dari tiga anggota divisi diperlukan untuk pengumuman keputusan atau resolusi akhir, yang akan dicapai melalui konsultasi, sebelum penulisan pendapat oleh salah satu anggota divisi. Dalam hal ketiga anggota tersebut tidak mencapai suara bulat, Hakim Presiden meminta panitia undian Mahkamah untuk menunjuk hakim tambahan untuk duduk sementara bersama mereka, membentuk divisi khusus yang beranggotakan lima orang. Persetujuan mayoritas dari pembagian semacam itu diperlukan untuk pengumuman keputusan atau resolusi akhir. Latihan Pengadilan Banding;
Bilamana dituntut oleh kepentingan umum, atau bilamana dibenarkan oleh bertambahnya beban perkara, Mahkamah Agung, atas prakarsanya sendiri atau atas usul Ketua Pengadilan Tinggi, dapat memberi kuasa kepada suatu bagian pengadilan untuk mengadakan secara berkala selama jangka waktu tersebut. di tempat-tempat yang dapat ditentukan oleh Mahkamah Agung untuk kepentingan pemeriksaan dan pemutusan perkara. Pengadilan Banding memiliki kekuasaan untuk menerima bukti dan melakukan setiap dan semua tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah faktual yang diangkat dalam kasus-kasus yang termasuk dalam yurisdiksi aslinya, seperti aktin untuk pembatalan putusan pengadilan negeri dan kasus-kasus yang termasuk dalam tingkat bandingnya yurisdiksi di mana mosi untuk persidangan baru hanya didasarkan pada bukti yang baru ditemukan. Pengadilan Negeri Filipina dibagi menjadi 13 wilayah yudisial dengan satu Pengadilan Negeri untuk setiap wilayah. Setiap Pengadilan Negeri memiliki beberapa cabang. Pengadilan Pengadilan Regional menjalankan yurisdiksi asli eksklusif:
Berdasarkan Bagian 5 Kode Peraturan Sekuritas, RTC memiliki yurisdiksi atas semua kasus yang melibatkan kontroversi berikut yang sebelumnya berada di bawah yurisdiksi eksklusif Komisi Sekuritas dan Bursa berdasarkan Keputusan Presiden No. 902-A, yaitu:
Dalam kasus pidana, Pengadilan Negeri memiliki yurisdiksi asli eksklusif atas hal-hal berikut:
Pengadilan Negeri juga menjalankan yurisdiksi asli dalam mengeluarkan surat perintah certiorari, larangan, mandamus, quo warranto, habeas corpus dan perintah yang dapat ditegakkan di bagian manapun dari wilayah masing-masing dan dalam tindakan yang mempengaruhi duta besar dan menteri publik lainnya dan konsul. Ini memiliki yurisdiksi banding atas semua kasus yang diputuskan oleh Pengadilan Pengadilan Metropolitan (MeTTCs), Pengadilan Pengadilan Kota (MTC), dan Pengadilan Pengadilan Sirkuit Kota (MCTC). Namun, keputusan, perintah akhir dan resolusi MTC dalam pelaksanaan yurisdiksi yang didelegasikan harus diajukan banding langsung ke Pengadilan Banding seperti dalam banding dari Pengadilan Pengadilan Regional ke Pengadilan Banding. Pengadilan Pengadilan Metropolitan dan Kota Ada Pengadilan Pengadilan Metropolitan di setiap wilayah metropolitan yang ditetapkan oleh undang-undang, pengadilan kota di setiap kota atau kotamadya lain dan pengadilan wilayah kota di setiap sirkuit yang terdiri dari kota dan/atau kotamadya yang dikelompokkan bersama sesuai dengan hukum. Pengadilan-pengadilan ini menjalankan yurisdiksi asli eksklusif atas semua pelanggaran peraturan kota atau kotamadya yang dilakukan dalam yurisdiksi teritorial masing-masing dan memiliki yurisdiksi asli eksklusif atas semua pelanggaran yang dapat dihukum dengan penjara tidak lebih dari enam tahun, terlepas dari jumlah denda, dan terlepas dari tambahan atau tambahan yang tidak mungkin lainnya. hukuman lain, termasuk tanggung jawab perdata yang timbul dari pelanggaran tersebut atau yang didasarkan padanya, terlepas dari jenis, sifat, nilai atau jumlah yang diberikan , bagaimanapun, bahwa dalam pelanggaran yang melibatkan kerusakan harta benda melalui kelalaian pidana, mereka memiliki yurisdiksi asli eksklusif daripadanya. Mereka memiliki yurisdiksi asli eksklusif atas tindakan perdata dan proses wasiat baik wasiat maupun wasiat, termasuk pemberian pemulihan sementara dalam kasus yang tepat, di mana nilai properti, real, atau jumlah permintaan tidak melebihi P200,000.00 atau di Metropolitan Manila di mana harta pribadi atau jumlah tuntutan tersebut tidak melebihi P400,000.00, tidak termasuk bunga, ganti rugi dalam bentuk apa pun, biaya pengacara, biaya dan biaya litigasi, jumlah yang harus secara khusus diduga, asalkanbahwa, ganti rugi bunga dalam bentuk apapun, biaya pengacara, biaya perkara dalam hal terdapat beberapa tuntutan atau sebab-sebab gugatan antara pihak yang sama atau berbeda, yang diwujudkan dalam satu pengaduan yang sama, jumlah tuntutan adalah jumlah tuntutan dalam seluruh penyebab tindakan, terlepas dari apakah penyebab tindakan muncul dari transaksi yang sama atau berbeda. Pengadilan-pengadilan ini juga memiliki 'yurisdiksi asli yang eksklusif atas kasus masuk secara paksa dan penahanan yang tidak sah, asalkan ketika, dalam kasus seperti itu, terdakwa mengajukan pertanyaan tentang kepemilikan dalam pembelaannya dan pertanyaan tentang kepemilikan tidak dapat diselesaikan tanpa memutuskan masalah kepemilikan, masalah kepemilikan diselesaikan hanya untuk menentukan masalah kepemilikan '. Akhirnya,asalkan dalam hal tanah tidak diumumkan untuk tujuan perpajakan, nilai properti tersebut ditentukan oleh nilai taksiran dari kavling yang berdekatan. Mahkamah Agung dapat menugaskan pengadilan-pengadilan ini untuk mengadili dan memutuskan kasus-kasus kadaster atau pendaftaran tanah yang mencakup bidang-bidang yang tidak ada perselisihan atau pertentangan, atau bidang-bidang tanah yang disengketakan yang nilainya tidak melebihi P100,000.00, nilai demikian yang dapat dipastikan dengan surat pernyataan. dari penggugat, atau kesepakatan oleh berbagai penggugat atau deklarasi pajak terkait. Pengadilan Keluarga Undang-Undang Republik No. 8369 menciptakan Pengadilan Keluarga pada tahun 1997 yang mengamanatkan bahwa itu harus didirikan di setiap provinsi dan kota di negara ini. Dalam hal kota adalah ibu kota provinsi, Pengadilan Keluarga akan didirikan di Kotamadya yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Namun, sambil menunggu pembentukan Pengadilan Keluarga tersebut, Mahkamah Agung telah menunjuk dari cabang-cabang Pengadilan Negeri sekurang-kurangnya satu Pengadilan Keluarga di setiap kota dan di tempat lain yang dianggap perlu. Pengadilan Keluarga memiliki yurisdiksi asli eksklusif untuk mengadili dan memutuskan kasus-kasus berikut: (a) kasus pidana di mana salah satu terdakwa berusia di bawah delapan belas tahun tetapi tidak kurang dari sembilan tahun atau di mana satu atau lebih korban masih di bawah umur waktu terjadinya pelanggaran; (b) petisi untuk perwalian, hak asuh anak, habeaskorpus dalam kaitannya dengan yang terakhir; (c) permohonan pengangkatan anak dan pencabutannya; (d) pengaduan untuk pembatalan perkawinan, pernyataan pembatalan perkawinan dan yang berkaitan dengan status perkawinan dan hubungan properti suami dan istri atau mereka yang tinggal bersama di bawah negara bagian dan perjanjian yang berbeda, dan petisi untuk pembubaran 'kemitraan suami-istri' keuntungan; (e) petisi untuk dukungan dan/atau pengakuan; (f) rangkuman proses peradilan yang diajukan berdasarkan ketentuan Hukum Keluarga; (g) petisi untuk menyatakan status anak sebagai anak terlantar, tanggungan atau terlantar; penangguhan, pemutusan atau pemulihan kekuasaan orang tua dan kasus-kasus lain yang diketahui berdasarkan Keputusan Presiden No. 603, Perintah Eksekutif No. 56, seri tahun 1986, dan undang-undang terkait lainnya; (h) petisi untuk pembentukan rumah keluarga; (i) kasus terhadap anak di bawah umur yang dapat dikenali berdasarkan Undang-Undang Narkoba Berbahaya, sebagaimana telah diubah; (j) pelanggaran Undang-Undang Republik No. 7610, sebagaimana telah diubah; dan (k) kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak. Mahkamah Agung telah mengumumkan peraturan khusus untuk menangani kasus-kasus di Pengadilan Keluarga. Peraturan yang telah diundangkan sampai saat ini adalah: Peraturan tentang Pembatalan Mutlak Perkawinan Batal dan Pembatalan Perkawinan Yang Dibatalkan; Aturan tentang Pemisahan Hukum; Aturan tentang Pengangkatan; Aturan Perwalian Anak di Bawah Umur; Aturan tentang Penitipan Anak di Bawah Umur dan Writ of Habeas Corpus Terkait dengan Penitipan Anak di Bawah Umur; Aturan Pemeriksaan Saksi Anak; Aturan Komitmen Anak; Aturan Perintah Sementara; dan Aturan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Pengadilan Distrik dan Pengadilan Syariah Bagi komunitas Muslim di Mindanao, Pengadilan Distrik dan Pengadilan Syariah telah dibentuk di lima distrik peradilan khusus, yaitu Provinsi Sulu; Provinsi Tawi-Tawi; kota Dipolog, Pagadian dan Zamboanga; Provinsi Lanao del Norte, Lanao del Sur dan kota Iligan dan Marawi; dan Provinsi Maguindanao, Sultan Kudarat dan kota Cotabato. Pengadilan Negeri Syariah memiliki yurisdiksi asli eksklusif atas: semua kasus yang melibatkan hak asuh, perwalian, legitimasi, paternitas dan filiasi yang timbul di bawah Hukum Hukum Perdata Muslim; semua kasus yang melibatkan disposisi, distribusi dan penyelesaian harta peninggalan Muslim yang meninggal; petisi untuk pernyataan ketidakhadiran dan kematian dan untuk pembatalan entri di Daftar Muslim; semua tindakan yang timbul dari kontrak adat antara pihak Muslim; semua pihak untuk mandamus, larangan, perintah, certiorari, habeas corpus , dan semua surat perintah dan proses tambahan lainnya dalam bantuan yurisdiksi bandingnya. Pengadilan juga memiliki yurisdiksi banding atas semua kasus yang diadili oleh Pengadilan Sirkuit Syariah, dan termasuk dalam kategori yang sama dengan RTC. Di sisi lain, Pengadilan Sirkuit Syariah memiliki yurisdiksi asli eksklusif atas semua kasus yang melibatkan pelanggaran yang didefinisikan dan dihukum di bawah Hukum Muslim dan semua kasus yang melibatkan perselisihan yang berkaitan dengan properti komunal. Demikian juga, semua tindakan perdata dan proses antara pihak Muslim atau perselisihan yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, pertunangan, mahar adat ( mahr ), disposisi dan pembagian properti setelah perceraian, pemeliharaan dan dukungan dan hadiah penghiburan ( mut'a ) dan restitusi perkawinan hak sesuai dengan Hukum Islam berada dalam yurisdiksi aslinya yang eksklusif. Undang-Undang Republik No 6734 (1989) membentuk Pengadilan Banding Syariah namun sampai saat ini belum beroperasi. Pengadilan Banding Pajak Pengadilan Banding Pajak (CTA) memiliki yurisdiksi banding khusus atas: keputusan Komisaris Pendapatan Internal dan Komisaris Bea Cukai; keputusan yang melibatkan kasus pajak daerah dan pajak properti riil; dan tindak pidana perpajakan. CTA terdiri dari Hakim Ketua dan lima Hakim Associate dan duduk en banc atau dalam dua divisi untuk menyidangkan kasus. Ini adalah pada tingkat yang sama dengan Pengadilan Banding. Sandiganbayan Konstitusi tahun 1973 menetapkan pembentukan pengadilan khusus yang dikenal sebagai Sandiganbayan yang memiliki yurisdiksi atas kasus pidana dan perdata, yang melibatkan praktik suap dan korupsi dan pelanggaran lain yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai publik, termasuk mereka yang berada di perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan pemerintah di hubungannya dengan jabatannya, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Untuk melaksanakan mandat tersebut, Keputusan Presiden No. 1486 menjadikan Sandiganbayan sebagai pengadilan khusus setingkat dengan Pengadilan Banding, yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas semua kasus pidana tersebut. UUD 1987 menetapkan bahwa pengadilan antikorupsi ini tetap berfungsi dan menjalankan yurisdiksinya. Republic Act No 7975 (1995) memperluas pengadilan dengan membuat lima divisi yang masing-masing terdiri dari tiga hakim meskipun lima dapat duduk pada waktu yang sama. Yurisdiksinya diperluas untuk mencakup:
Dalam kasus-kasus di mana terdakwa utama adalah petugas PNP yang menduduki pangkat pengawas atau lebih tinggi, yurisdiksi eksklusif berada di tangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Metropolitan, dan pengadilan lain, sesuai kasusnya. Sandiganbayan menjalankan yurisdiksi banding eksklusif atas banding dari putusan akhir, resolusi atau perintah pengadilan reguler di mana semua terdakwa menempati posisi yang lebih rendah dari Kelas '27'. Yudisial dan Dewan Pengacara Konstitusi 1987 memberikan mandat untuk pembentukan Dewan Yudisial dan Pengacara di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai ketua ex-officio, Sekretaris Kehakiman, dan wakil dari Pengacara Terpadu, seorang profesor hukum, seorang pensiunan Anggota Mahkamah Agung, dan seorang wakil dari sektor swasta . Anggota reguler Dewan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan empat tahun dengan persetujuan Komisi Pengangkatan. Anggota reguler Dewan menerima honorarium, ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan alokasi untuk Dewan disediakan dalam anggaran tahunan Mahkamah Agung. Panitera Pengadilan adalah Sekretaris ex officio Dewan dan mencatat prosesnya. Dewan memiliki fungsi utama untuk merekomendasikan orang-orang yang diangkat ke badan peradilan dan menjalankan fungsi dan tugas lain yang mungkin ditugaskan kepadanya oleh Mahkamah Agung. Dewan menyiapkan daftar setidaknya tiga calon untuk setiap lowongan di Mahkamah Agung dan pengadilan yang lebih rendah dari mana Presiden membuat penunjukan. Janji seperti itu tidak memerlukan konfirmasi. Untuk pengadilan yang lebih rendah, Presiden harus mengeluarkan pengangkatan dalam waktu 90 hari sejak pengajuan daftar. KOMISI KONSTITUSI Ada tiga komisi ketatanegaraan yang dibentuk berdasarkan UUD 1973 yang dilanjutkan dengan UUD 1987, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pemeriksa Keuangan. Kecuali Komisi Pemilihan Umum yang terdiri dari seorang Ketua dan enam Komisioner, Komisi-komisi lainnya diurus oleh seorang Ketua dan dua Komisioner, yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Komisi Pengangkatan untuk masa jabatan tujuh tahun tanpa pengangkatan kembali. . Gaji mereka ditetapkan oleh hukum dan tidak dapat dikurangi selama masa jabatan mereka. Untuk menjamin independensi Komisi Konstitusional, tidak seorang pun anggota selama masa jabatannya boleh memegang jabatan atau pekerjaan lain, terlibat dalam praktik profesi apa pun atau dalam manajemen aktif atau kendali bisnis apa pun yang dengan cara apa pun dapat dipengaruhi oleh fungsi-fungsi Komisi Konstitusi. jabatannya, juga tidak tertarik secara finansial, langsung atau tidak langsung, dalam kontrak, waralaba, atau hak istimewa apa pun yang diberikan oleh pemerintah atau subdivisi, agensi, atau perangkatnya. Komisi menikmati otonomi fiskal, menunjuk pejabat dan karyawan mereka dan mengumumkan peraturan mereka sendiri tentang pembelaan dan praktik di hadapan mereka. Komisi Aparatur Sipil Negara Komisi Aparatur Sipil mengelola layanan sipil, yang mencakup setiap cabang, badan, subdivisi dan perangkat pemerintah, termasuk perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah dengan piagam asli, dan merupakan badan personalia pusat Pemerintah. Pengangkatan dalam Pegawai Negeri dilakukan hanya berdasarkan prestasi dan kelayakan yang ditentukan sejauh mungkin melalui ujian kompetitif kecuali untuk posisi yang menentukan kebijakan, terutama bersifat rahasia atau sangat teknis. Tidak ada pejabat atau karyawan yang dapat diberhentikan atau diskors kecuali karena alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Komisi Pemilihan Umum Komisi Pemilihan menegakkan dan mengelola semua undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan, plebisit, inisiatif, referendum dan penarikan kembali, mendaftarkan partai politik, memutuskan masalah administratif yang memengaruhi pemilihan, menyelamatkan yang melibatkan hak untuk memilih, dan menjalankan yurisdiksi asli eksklusif atas semua kontes berkaitan dengan pemilihan, pengembalian dan kualifikasi semua pejabat daerah, provinsi dan kota yang dipilih. Ini juga memiliki yurisdiksi banding atas semua kontes yang melibatkan pejabat kota elektif yang diputuskan oleh pengadilan yurisdiksi umum atau melibatkan pejabat barangay elektif yang diputuskan oleh pengadilan yurisdiksi terbatas. Komisi Audit Komisi Audit memeriksa, mengaudit, dan menyelesaikan semua rekening yang berkaitan dengan pendapatan dan penerimaan, dan pengeluaran atau penggunaan, dana dan properti yang dimiliki atau dipercayakan oleh, atau berkaitan dengan, pemerintah atau salah satu subdivisinya, lembaga dan instrumentalitas. Ini memiliki wewenang eksklusif untuk menentukan ruang lingkup auditnya dan menetapkan teknik dan metode yang diperlukan dan mengumumkan aturan akuntansi dan audit, termasuk pencegahan dan pelarangan pengeluaran yang tidak teratur, tidak perlu, berlebihan, boros atau tidak masuk akal, atau penggunaan dana dan properti pemerintah . Itu juga memutuskan kasus apa pun yang dibawa ke hadapannya dalam waktu 60 hari sejak tanggal pengajuannya untuk resolusi dan, kecuali ditentukan lain oleh Konstitusi atau undang-undang, Komisi Hak Asasi Manusia Berdasarkan UUD 1987, juga dibentuk sebuah kantor independen yang disebut Komisi Hak Asasi Manusia yang baru-baru ini dibentuk berdasarkan Perintah Eksekutif No. 163, tanggal 06 Mei 1987, sehingga Komite Presiden Hak Asasi Manusia ditiadakan. Di antara kekuatan dan fungsinya adalah:
Ombudsman Konstitusi 1987 menekankan konsep bahwa jabatan publik adalah kepercayaan publik sehingga 'pejabat dan pegawai publik harus setiap saat bertanggung jawab kepada rakyat, melayani mereka dengan penuh tanggung jawab, integritas, loyalitas, dan efisiensi, bertindak dengan patriotisme dan keadilan serta memimpin. hidup sederhana'. Presiden, Wakil Presiden, anggota Mahkamah Agung, anggota Komisi Konstitusi, dan Ombudsman dapat dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan, penyuapan, penyuapan dan korupsi, kejahatan tinggi lainnya , atau pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, sementara semua pejabat dan karyawan publik lainnya dapat diberhentikan dari jabatannya sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Namun, untuk memperkuat pengadilan antikorupsi ( Sandiganbayan), Kantor Ombudsman independen lainnya dibentuk, terdiri dari Ombudsman atau Tanodbayan, satu Wakil keseluruhan dan setidaknya satu wakil masing-masing untuk Luzon, Visayas dan Mindanao dengan wakil terpisah untuk pembentukan Militer. Sebagai pelindung masyarakat, Tanodbayan dan wakilnya diminta untuk segera bertindak atas pengaduan yang diajukan dalam bentuk atau cara apa pun terhadap pejabat atau pegawai publik dan, dalam kasus yang sesuai, memberi tahu pengadu tentang tindakan yang diambil dan akibatnya. Kualifikasi seorang Ombudsman adalah: setidaknya berusia empat puluh tahun, memiliki kejujuran dan independensi yang diakui, anggota Pengacara Filipina, dan terlibat selama sepuluh tahun dalam praktik hukum. Dia memiliki jangka waktu tujuh tahun tanpa pengangkatan kembali. Ombudsman dapat merekomendasikan kepada Kongres jika suatu undang-undang atau peraturan tidak adil dan tidak adil. Dia dapat menerima pengaduan dari sumber mana pun dalam bentuk apa pun mengenai tindakan atau kelalaian resmi. Jika bukti kesalahan terhadap pejabat publik atau pegawainya kuat, Ombudsman dapat secara preventif memberhentikan pejabat tersebut, tidak lebih dari enam bulan tanpa gaji. Pemerintah lokal Pemerintah daerah terdiri dari pemerintah provinsi, kota, kotamadya, dan barangay, yang merupakan subdivisi teritorial dan politik Filipina. Menurut ketentuan undang-undang, mereka dianggap sebagai badan politik korporat, untuk administrasi pemerintahan urusan masyarakat dalam batas-batas wilayah mereka; sebagai entitas berbadan hukum, mereka diklasifikasikan sebagai perusahaan kota. Setiap korporasi kotapraja berhak atas suksesi terus-menerus atas nama korporatnya, ia dapat memegang dan memperoleh properti, membuat kontrak, menuntut dan dituntut, dan melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menjalankan tujuan organisasinya. Tidak ada unit yang dapat dibuat, dibagi, digabung, dihapuskan, atau batasnya diubah secara substansial, kecuali sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam kode pemerintah daerah dan tunduk pada persetujuan mayoritas suara yang diberikan dalam plebisit di unit yang terkena dampak langsung. . Provinsi sehubungan dengan komponen kota dan kotamadya dan kota dan kotamadya sehubungan dengan komponen barangayharus memastikan bahwa tindakan unit-unit komponen mereka berada dalam lingkup wewenang dan fungsi yang ditentukan. Satuan-satuan pemerintah daerah menikmati otonomi daerah yang berarti bahwa mereka menikmati kekuasaan tertentu, seperti kekuasaan domain terkemuka, kekuasaan polisi dan kekuasaan pajak. Setiap unit memiliki kekuatan untuk menciptakan sumber pendapatannya sendiri dan untuk memungut pajak, biaya, dan biaya yang tunduk pada pedoman dan batasan yang dapat diberikan oleh Kongres, yang akan bertambah secara eksklusif kepada pemerintah daerah. Sejauh menyangkut pajak nasional, unit pemerintah daerah memiliki bagian yang ditentukan oleh undang-undang, yang secara otomatis diberikan kepada mereka. Demikian pula mereka berhak atas bagian yang adil dari hasil pemanfaatan dan pengembangan kekayaan nasional di daerahnya masing-masing menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Satuan-satuan pemerintah daerah dapat mengelompokkan diri mereka sendiri, mengkonsolidasikan atau mengoordinasikan upaya, layanan, dan sumber daya mereka untuk tujuan yang umumnya bermanfaat bagi mereka sesuai dengan undang-undang. Kongres dapat, dengan undang-undang, membentuk subdivisi politik metropolitan khusus, tunduk pada plebisit di unit-unit yang terkena dampak langsung, yang akan dibatasi untuk menyediakan layanan dasar yang membutuhkan koordinasi; tetapi daerah harus mempertahankan otonomi dasar mereka dan berhak atas dewan eksekutif dan legislatif lokal mereka sendiri. Semua badan legislatif memiliki perwakilan sektoral sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Untuk tujuan desentralisasi administrasi untuk memperkuat unit-unit lokal dan mempercepat pertumbuhan sosial ekonomi dan pengembangan unit-unit tersebut, Kecuali pejabat barangay , masa jabatan pejabat lokal terpilih adalah tiga tahun dan tidak lebih dari tiga periode berturut-turut. Kode Pemerintah Daerah tahun 1991 mengubah unit pemerintah daerah menjadi komunitas mandiri dengan memberi mereka kekuatan untuk menciptakan sumber pendapatannya sendiri, yaitu pajak daerah dan pajak real properti dan pengalihan layanan dan fasilitas dasar di provinsi dari departemen eksekutif. ke mereka. Dewan Perdamaian Karena tersumbatnya berkas perkara di pengadilan, Keputusan Presiden No. 1508 diundangkan, menetapkan sistem untuk menyelesaikan perselisihan secara damai di tingkat barangay, yang dikenal sebagai Katarungang Barangay. Undang-undang ini dicabut dan perubahan substansial diperkenalkan oleh pasal 399 hingga 422 dan 515 Undang-Undang Republik No. 7168 (1992), atau dikenal sebagai Kode Pemerintah Daerah. Semua perselisihan antara atau di antara orang-orang yang bertempat tinggal di barangay yang sama harus dibawa ke hadapan Lupong Tagapamayapa dari barangay tersebut.kecuali untuk perselisihan di mana salah satu pihak adalah pemerintah atau salah satu bagian atau perangkatnya; di mana salah satu pihak adalah pejabat atau pegawai publik dan perselisihan terkait dengan pelaksanaan fungsi resminya; pelanggaran yang dapat dihukum penjara lebih dari satu tahun atau denda lebih dari P5.000; pelanggaran di mana tidak ada pihak pribadi yang dirugikan; di mana perselisihan melibatkan properti nyata yang terletak di kota atau kota yang berbeda, kecuali jika para pihak bersepakat lain; perselisihan yang melibatkan pihak-pihak yang benar-benar tinggal di barangay dari kota atau kotamadya yang berbeda, kecuali jika unit-unit barangay tersebut berdampingan satu sama lain dan para pihak setuju untuk menyerahkan perbedaan mereka ke penyelesaian damai melalui lupon yang sesuai; sengketa yang memerlukan tindakan hukum yang mendesak untuk mencegah terjadinya atau berlanjutnya ketidakadilan, khususnya perkara pidana yang terdakwanya ditahan atau ditahan oleh polisi; petisi untuk habeas corpus , tindakan yang dibarengi dengan pemberian obat; perbuatan-perbuatan yang dapat dilarang oleh Anggaran Dasar, sengketa yang timbul dari Undang-Undang Pembaruan Agraria Menyeluruh; perselisihan perburuhan yang timbul dari hubungan majikan-karyawan; tindakan untuk mengubah penilaian atas kompromi; dan jenis perselisihan lainnya yang dapat ditentukan oleh Presiden untuk kepentingan keadilan, atau atas rekomendasi Sekretaris Kehakiman. Pengadilan, di mana kasus-kasus non-pidana yang tidak termasuk dalam kewenangan lupon diajukan , setiap saat sebelum persidangan, motu proprio dapat merujuk kasus tersebut kepada lupon yang bersangkutan untuk penyelesaian secara damai. Tidak ada keluhan, petisi, tindakan atau proses yang melibatkan masalah apapun dalam kewenangan lupondiajukan atau dilembagakan langsung di pengadilan atau kantor pemerintah lainnya untuk ajudikasi kecuali telah terjadi konfrontasi di hadapan ketua lupon atau pangkat sebagaimana dinyatakan oleh lupon bahwa tidak ada perdamaian atau perdamaian yang dicapai. Pengecualian terhadap aturan ini adalah kasus-kasus di mana terdakwa ditahan atau di mana seseorang telah dirampas kebebasan pribadinya, menyerukan proses habeas corpus, atau tindakan yang digabungkan dengan pemulihan sementara, atau di mana tindakan tersebut dapat dilarang oleh Statuta of Keterbatasan. Berdasarkan Bagian 14 Undang-Undang Republik No. 9262 (2004), kapten barangay dapat mengeluarkan perintah perlindungan untuk tindakan yang merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang berlaku untuk jangka waktu lima belas hari. Daerah Otonom Sejalan dengan tuntutan otonomi oleh Muslim di Filipina Selatan dan beberapa pemimpin kelompok pribumi di Cordilleras, Konstitusi 1987 mengesahkan pembentukan daerah otonom di Muslim Mindanao dan di Cordilleras. Republic Act No 6734 (1989), Undang-Undang Organik untuk Daerah Otonomi di Muslim Mindanao disahkan. Seperti diatur oleh Konstitusi, sebuah plebisit diadakan dengan Lanao del Sur, Maguindanao, Tawi-Tawi dan Sulu memberikan suara positif sementara Kota Marawi memberikan suara tidak, sesuai dengan Undang-Undang Republik No 6766 (1989). Begitu pula dengan Undang-Undang Organik untuk Daerah Otonomi Cordillera, sebuah plebisit diadakan di Benguet, Provinsi Mt, Kota Baguio, Ifugao, Kalinga-Apayao dan Abra tetapi hanya Ifugao yang memberikan suara positif.
BAB 4 - TATA CARA HUKUM/PENYELENGGARAAN PERADILAN PERKENALAN Tidak ada pengadilan oleh juri di Filipina. Hakim menentukan semua pertanyaan hukum dan fakta dalam kasus yang dibawa ke hadapannya. Sementara Rules of Court menetapkan mempekerjakan asesor dan komisioner untuk membantu hakim dalam menentukan fakta, prosedur ini jarang digunakan. Aturan Pengadilan mengatur pembelaan, praktik dan prosedur di hadapan semua pengadilan di Filipina. Aturan-aturan ini terdiri dari empat bagian utama yang berhubungan dengan tindakan perdata, proses khusus, acara pidana dan bukti. PROSEDUR KRIMINAL Semua tindakan kriminal dimulai dengan pengaduan atau informasi. Pengaduan adalah pernyataan tertulis di bawah sumpah yang menuntut seseorang dengan suatu pelanggaran, yang didukung oleh pihak yang tersinggung, petugas perdamaian atau pejabat publik lainnya yang ditugaskan untuk menegakkan hukum yang dilanggar. Informasi adalah tuduhan tertulis yang menuntut seseorang dengan pelanggaran yang dilanggan oleh fiskal dan diajukan ke pengadilan. Pengaduan atau keterangan tentang suatu tindak pidana yang dapat diketahui oleh Pengadilan Negeri tidak dapat diajukan tanpa pemeriksaan pendahuluan yang terlebih dahulu dilakukan oleh hakim, kejaksaan provinsi atau kejaksaan negeri untuk menentukan prima facieperkara dikuatkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Pengaduan atau informasi harus menyatakan penunjukan pelanggaran yang diberikan oleh undang-undang, tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran, dan menentukan keadaan yang memenuhi syarat dan memberatkan yang harus dinyatakan dalam bahasa biasa dan ringkas. Tidak ada pengaduan atau informasi yang dapat diajukan atau ditolak oleh jaksa penyelidik tanpa izin tertulis sebelumnya atau persetujuan dari jaksa provinsi atau kota atau kepala jaksa negara bagian dan resolusi tersebut dapat diajukan banding ke Sekretaris Kehakiman. Penyelidikan pendahuluan wajib dilakukan sebelum pengajuan pengaduan atau informasi untuk suatu pelanggaran yang hukumannya ditentukan oleh undang-undang sekurang-kurangnya 4 tahun, 2 bulan dan satu hari tanpa memperhatikan denda. Dalam semua tuntutan pidana, terdakwa berhak atas hal-hal berikut:
Konstitusi 1987 mensyaratkan bahwa setiap orang yang diselidiki karena melakukan suatu pelanggaran berhak untuk diberitahu tentang haknya untuk tetap diam dan memiliki penasihat hukum yang kompeten dan independen, lebih disukai atas pilihannya sendiri. Jika orang tersebut tidak mampu membayar jasa penasihat, ia harus diberi satu. Hak-hak ini tidak dapat dikesampingkan, kecuali secara tertulis dan di hadapan pengacara. Juga diatur bahwa pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaan, pemaksaan, kekerasan, ancaman, intimidasi atau cara lain yang merusak kehendak bebas tidak dapat diterima sebagai bukti. Penangkapan dan Penahanan Penangkapan seseorang hanya dapat dilakukan apabila ada surat perintah atau perintah penangkapannya, kecuali dalam hal-hal tertentu. Tidak boleh ada kekerasan atau kekuatan yang tidak perlu digunakan dalam melakukan penangkapan. Orang yang ditangkap tidak boleh dikenakan pengekangan yang lebih besar daripada yang diperlukan untuk penahanannya. Tempat penahanan rahasia, isolasi, kurungan, ditahan tanpa komunikasi, atau bentuk penahanan serupa lainnya adalah dilarang. Penggunaan hukuman fisik, psikologis, atau merendahkan martabat terhadap setiap tahanan atau tahanan, atau penggunaan fasilitas penjara di bawah standar atau tidak memadai akan diatur oleh hukum. Tidak seorang pun dapat ditahan semata-mata karena keyakinan dan aspirasi politiknya. Juga, Pra-Persidangan Untuk mempersingkat proses pengadilan, memastikan disposisi yang cepat dari kasus-kasus dan meringankan berkas pengadilan, Mahkamah Agung menetapkan dalam Surat Edaran Administratif No 3-99 tanggal 15 Januari 1999 pedoman berikut untuk kepatuhan hakim dan panitera pengadilan:
Ketika plea bargaining gagal, Pengadilan memeriksa setiap tuduhan dalam informasi dan dokumen yang diidentifikasi dan mendefinisikan masalah faktual dan hukum. Tanggal uji coba spesifik ditetapkan. Semua persidangan selama praperadilan dicatat dan direduksi secara tertulis dan ditandatangani oleh terdakwa dan penasihat hukum, jika tidak, tidak dapat digunakan terhadap terdakwa. Berita acara dan transkrip persidangan harus ditandatangani oleh para pihak dan/atau penasihat mereka. Perintah praperadilan juga dikeluarkan oleh pengadilan dalam waktu 10 hari setelah berakhirnya praperadilan yang memuat fakta-fakta yang ditetapkan, pengakuan yang dibuat, bukti-bukti yang ditandai, jumlah saksi yang akan dihadirkan dan jadwal sidang. Arraignment dan Trial Terdakwa harus diadili di depan pengadilan di mana pengaduan atau informasi telah diajukan atau ditugaskan untuk diadili. Terdakwa harus hadir di dakwaan dan harus secara pribadi memasukkan pembelaannya. Arraignment dan pembelaan harus dicatat, tetapi kegagalan untuk memasukkan catatan mereka tidak mempengaruhi keabsahan proses. Jika terdakwa menolak untuk membela, atau membuat pengakuan bersalah bersyarat, pengakuan tidak bersalah akan diajukan untuknya. Semua orang, sebelum hukuman, dapat ditebus dengan jaminan yang cukup, kecuali mereka yang didakwa dengan pelanggaran berat jika bukti kesalahan mereka kuat. Hak untuk jaminan tidak dirugikan bahkan ketika hak istimewa surat perintah habeas corpus ditangguhkan. Setelah dakwaan, sidang dapat dilanjutkan meskipun terdakwa tidak hadir asalkan ia telah diberitahu sebagaimana mestinya dan ketidakhadirannya dibenarkan. Jika terdakwa muncul tanpa pengacara, pengadilan harus menunjuk pengacara de officio untuk membelanya. Persidangan kemudian dilanjutkan jika terdakwa telah mengajukan pembelaan tidak bersalah. Setelah dimulai, persidangan berlanjut dari hari ke hari, sejauh mungkin, sampai selesai. Itu juga dapat ditunda untuk jangka waktu yang wajar untuk tujuan yang baik. Pengadilan, setelah berkonsultasi dengan para jaksa dan penasihat hukum, menetapkan kasus untuk persidangan berkelanjutan pada kalender persidangan mingguan atau jangka pendek lainnya dalam waktu sedini mungkin, tetapi dalam hal apa pun seluruh masa persidangan tidak boleh melebihi 180 hari sejak hari pertama. percobaan. Sidang kemudian dilanjutkan dengan putusan tertulis yang dibacakan di hadapan terdakwa dan hakim yang menjatuhkannya. Setiap saat sebelum putusan hukuman menjadi final, pengadilan dapat memberikan persidangan baru atau mempertimbangkan kembali kasusnya sendiri, dengan persetujuan terdakwa atau mosi penuntut. Salah satu pihak dapat mengajukan banding dari putusan akhir atau putusan atau dari perintah yang dibuat setelah putusan yang mempengaruhi hak-hak substansial terdakwa, tetapi penuntut tidak dapat mengajukan banding jika terdakwa dengan demikian ditempatkan dalam bahaya ganda. Jika hukuman mati dijatuhkan, kasusnya otomatis naik ke Mahkamah Agung, terlepas dari apakah terdakwa mengajukan banding atau tidak. PROSEDUR SIPIL Acara perdata meliputi tindakan perdata biasa, tindakan perdata khusus, dan pemulihan sementara. Tindakan sipil adalah gugatan di mana satu pihak menuntut pihak lain untuk penegakan atau perlindungan hak, atau ganti rugi yang salah. Suatu tindakan perdata dapat bersifat biasa atau khusus. Keduanya diatur oleh aturan tindakan perdata biasa yang tunduk pada aturan khusus yang ditentukan untuk tindakan perdata khusus. Sebuah proses khusus adalah pemulihan dimana pihak berusaha untuk menetapkan status, hak atau fakta tertentu. Tindakan perdata biasa dimulai dengan pengajuan pengaduan asli di pengadilan. Suatu tindakan yang mempengaruhi kepemilikan, atau kepemilikan properti nyata, atau kepentingan di dalamnya, atau tindakan masuk paksa dan penahanan adalah tindakan nyata sementara yang didasarkan pada kerahasiaan kontrak atau untuk penegakan atau penyelesaian kontrak atau untuk pemulihan properti pribadi adalah tindakan pribadi. Jika objek suatu tindakan adalah keputusan terhadap orang tertentu untuk mengecualikannya dari semua haknya sehubungan dengan properti atau bantuan tertentu yang didoakan, tindakan itu bersifat one in personam . Jika tujuannya adalah untuk menentukan hak suatu pihak atas properti tertentu terhadap seluruh dunia, yang sama-sama mengikat semua orang, tindakannya adalah satu dalam rem . Dan di mana tindakan itu ditujukan terhadap orang tertentu untuk tujuan menggunakan kepentingannya atas properti tertentu untuk memenuhi hak gadai atau hak tanggungan, seperti dalam kasus penyitaan hipotek, maka tindakan tersebut adalah quasi-in- rem . Jika tujuan teknis dari gugatan itu adalah untuk menetapkan suatu tuntutan terhadap seseorang tertentu, dengan keputusan yang setidak-tidaknya secara teori pada umumnya, mengikat badannya, atau untuk menghalangi suatu tuntutan atau keberatan perorangan, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang berhak untuk didengar. dalam pembelaan, tindakannya adalah in personam, meskipun itu mungkin menyangkut hak kepemilikan atas benda yang berwujud. Setelah kasus diajukan, panggilan dikeluarkan oleh pengadilan di mana terdakwa diberitahu tentang tindakan yang diajukan terhadapnya. Ada tiga metode melayani panggilan:
Layanan pada perusahaan domestik swasta dapat dilakukan pada presiden, mitra pengelola, manajer umum, sekretaris perusahaan, bendahara, atau penasihat internal, sementara layanan pada perusahaan asing swasta yang melakukan bisnis di Filipina dapat dilakukan pada agen residennya yang ditunjuk sesuai dengan undang-undang untuk tujuan itu atau, jika tidak ada perwakilan seperti itu, pada pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh undang-undang untuk tujuan tersebut atau pada salah satu pejabat atau agennya di Filipina. Dengan melayani panggilan tersebut, pengadilan memperoleh yurisdiksi atas orang terdakwa. Pengadilan dan penilaian tanpa layanan tersebut adalah batal demi hukum. Tuntutan masing-masing pihak kemudian diajukan secara bergantian melalui pembelaan. Jika tergugat memiliki gugatan silang atau tuntutan balik wajib, maka harus ditegaskan dalam jawaban, atau dianggap dilarang. Dalam waktu satu hari sejak diterimanya pengaduan, dibuat surat panggilan yang berisi penangguhan kepada tergugat untuk menahan diri dalam mengajukan mosi pemberhentian dan sebaliknya mengajukan alasan sebagai pembelaan dalam jawaban. Demikian pula, pengadilan mengeluarkan perintah yang mewajibkan para pihak untuk memanfaatkan cara penemuan berdasarkan Aturan 23-28 dalam waktu 5 hari sejak mengajukan jawaban bersama dengan surat panggilan. Dalam waktu 5 hari sejak tanggal pengajuan jawaban, penggugat harus segera pindah ex parte agar kasusnya ditetapkan untuk pra-sidang. Tiga hari sebelum praperadilan, para pihak harus menyerahkan laporan mereka yang memuat hal-hal sebagai berikut:
Hakim pengadilan merujuk para pihak dan penasihat mereka ke Pusat Mediasi Filipina (PMC) untuk mediasi dan jika gagal, merujuk kasus tersebut ke Panitera Cabang Pengadilan untuk membantu para pihak dalam mencapai penyelesaian dan untuk menandai dokumen atau barang bukti yang akan disajikan. Hakim pengadilan harus mengerahkan semua upaya untuk sampai pada penyelesaian sengketa atau jika gagal, mengambil langkah-langkah untuk memfasilitasi disposisi kasus tersebut. Pihak yang tidak hadir pada konferensi praperadilan dapat dianggap tidak sesuai atau dianggap wanprestasi. Jika pengadilan menemukan fakta-fakta yang ada di mana keputusan atas pembelaan atau keputusan ringkasan dapat dibuat, itu dapat membuat keputusan seperti yang mungkin diperlukan oleh keadilan. Pengadilan kemudian menyiapkan kalender persidangan untuk kasus tersebut dan pemberitahuan tentang tanggal yang relevan diberikan kepada para pihak. Selama persidangan, masing-masing pihak berusaha untuk mempertahankan dengan keterangan-keterangan dan bukti-bukti tuntutan yang terkandung dalam pembelaan. Rules of Court memberikan aturan pembuktian tertentu yang mengatur produksi bukti di pengadilan, memutuskan apa yang dapat diterima dan apa yang harus dikecualikan dan menentukan nilai dan pengaruhnya. Setelah penentuan hak-hak para pihak yang berkaitan dengan tuntutan yang dibuat oleh pengadilan, karena hukum dan bukti mungkin membenarkan, keputusan diberikan. Putusan ini harus dibuat sendiri dan ditandatangani oleh hakim. Itu harus dengan jelas dan jelas menyatakan fakta dan hukum yang mendasarinya dan diajukan ke panitera. Permohonan peninjauan kembali atau peninjauan kembali suatu putusan pengadilan tidak dapat ditolak atau ditolak tanpa menyebutkan dasar hukum putusan tersebut. Jika putusan itu bersifat final, bukan sela, dan jangka waktu banding telah disempurnakan, putusan yang dijatuhkan dapat dikatakan bersifat eksekutoris, dan pihak yang menang berhak atas pelaksanaannya. Dalam hal putusan atau perintah telah menjadi eksekutor, pengadilan tidak dapat menolak mengeluarkan perintah eksekusi kecuali:
Agar suatu perintah eksekusi sah, ia harus benar-benar sesuai dengan keputusan dan tidak dapat mengubah syarat-syarat keputusan yang ingin ditegakkannya. Jangka waktu efektif atau seumur hidup surat perintah eksekusi adalah 5 tahun, dihitung sejak tanggal penerimaannya oleh kantor, umumnya dari sheriff. Namun, sheriff membuat laporan ke pengadilan dalam waktu 30 hari setelah diterimanya dan setiap 30 hari sesudahnya sampai putusan dipenuhi sepenuhnya. Bila putusan memerintahkan suatu pihak untuk melaksanakan suatu pengangkutan tanah, atau menyerahkan akta atau alat-alat lain atau untuk melakukan suatu perbuatan tertentu lainnya, dan pihak itu tidak dapat memenuhinya dalam waktu yang ditentukan, pengadilan dapat memerintahkan perbuatan itu dilakukan dengan biaya pihak yang tidak patuh oleh beberapa orang lain yang ditunjuk oleh pengadilan Jika properti nyata atau pribadi berada di Filipina, pengadilan dapat, sebagai pengganti penegakan putusan, mengarahkan putusan berikutnya yang melepaskan hak pihak mana pun dan memberikannya kepada orang lain dan keputusan tersebut akan memiliki kekuatan dan akibat dari suatu penyampaian yang dilaksanakan dalam bentuk hukum yang semestinya. Ketika eksekusi menuntut penyerahan atau pengembalian harta, petugas harus memecat orang yang kepadanya putusan itu dijatuhkan dan menempatkan kreditur penghakiman dalam kepemilikan harta itu dan kemudian memungut harta debitur penghakiman sebanyak yang akan memenuhi putusan itu. dan biaya yang termasuk dalam surat perintah eksekusi. Bila benda yang akan dieksekusi itu berisi perbaikan, maka petugas tidak boleh menghancurkan atau memindahkan perbaikan itu, kecuali atas perintah khusus dari pengadilan, setelah pemeriksaan yang semestinya.
Keputusan moneter ditegakkan oleh petugas yang memungut semua properti, nyata dan pribadi dari setiap nama dan sifat apa pun, yang dapat dilepaskan untuk nilai, kecuali properti yang dibebaskan dari eksekusi. Setiap kelebihan dalam hasil harus diserahkan kepada penghakiman debitur kecuali ditentukan lain oleh pengadilan. BUKTI Bukti dapat diterima jika relevan dengan masalah dan tidak dikecualikan oleh aturan atau bukti. Namun, tidak semua hal yang relevan dapat diterima sebagai bukti dan sebagai aturan, masalah agunan, bahkan jika relevan, tidak dapat diterima. Untuk bentuknya, bukti bisa nyata, dokumenter atau kesaksian. Bukti nyata adalah yang ditujukan pada indra pengadilan, seperti di mana benda-benda dipamerkan untuk pengamatan pribadi hakim. Alat bukti surat terdiri dari surat-surat, keterangan-keterangan dan surat-surat lain yang diajukan di muka pengadilan. Bukti kesaksian adalah apa yang diberikan secara lisan oleh para saksi. Kecuali sebagaimana ditentukan oleh Peraturan, semua orang yang dapat melihat dan memahami dapat memberitahukan persepsinya kepada orang lain, dapat menjadi saksi. Pembuktian juga bisa bersifat langsung ketika cenderung membuktikan suatu fakta tanpa mengacu pada fakta apapun; tidak langsung ketika cenderung membuktikan fakta hanya dengan inferensi; tidak cakap bila saksi yang memberikannya kurang cakap untuk memberikan kesaksian; tidak relevan bila tidak ada kaitannya dengan pokok permasalahan; tidak penting ketika itu tidak akan mempengaruhi poin yang dipermasalahkan bahkan jika diakui; primer bila merupakan bukti terbaik yang dapat dihasilkan; sekunder jika bukti dapat diterima tanpa adanya bukti primer;prima facie ketika tampaknya cukup untuk saat ini sampai muncul sesuatu untuk membantahnya; dan konklusif ketika itu menetapkan fakta yang dicari untuk dibuktikan tanpa pertanyaan lebih lanjut. Ada hal-hal tertentu yang tidak perlu dibuktikan. Ini adalah:
Hal-hal yang dianggap sebagai pemberitahuan yudisial tanpa pengenalan bukti adalah:
Dalam kasus perdata, pihak yang menanggung beban pembuktian harus membuktikan kasusnya dengan bukti yang lebih banyak. Dalam kasus pidana, terdakwa berhak atas pembebasan kecuali kesalahannya ditetapkan tanpa keraguan. Efektif tanggal 01 Agustus 2001, Mahkamah Agung mengumumkan Peraturan tentang Bukti Elektronik yang mencakup dokumen elektronik dan pesan data elektronik yang berlaku untuk tindakan perdata dan pidana serta kasus kuasi-yudisial dan administrasi berdasarkan UU Perdagangan Elektronik. TINDAKAN SIPIL KHUSUS, PENGOBATAN SEMENTARA DAN PROSES KHUSUS Perbuatan perdata khusus menurut sifatnya, memerlukan tata cara yang berbeda dengan perbuatan perdata biasa. Tindakan untuk interpleader, declaratory relief, certiorari, mandamus, quo warranto , pengambilalihan, penyitaan hipotek real estat, partisi, masuk paksa dan penahanan dan penghinaan yang melanggar hukum adalah tindakan perdata khusus. Pemulihan sementara yang tersedia untuk mempertahankan atau melindungi hak atau kepentingan para pihak selama penangguhan tindakan utama adalah lampiran awal; perintah pendahuluan; keadaan dlm pengawasan kurator; replevin dan dukungan elit pendente. Semua pemulihan lainnya, termasuk yang menetapkan status atau hak suatu pihak atau fakta tertentu, disebut proses khusus. Aturan proses khusus diatur dalam kasus-kasus berikut: penyelesaian harta benda orang yang meninggal; penyisihan atau pelarangan wasiat; surat wasiat; menghindari; perwalian dan pengasuhan anak; penunjukan wali; adopsi; pembatalan dan pencabutan adopsi; rawat inap orang gila; habeas corpus ; penggantian nama; pembubaran korporasi secara sukarela; persetujuan yudisial atas pengakuan sukarela atas anak kandung yang belum dewasa; konstitusi rumah keluarga; pernyataan ketidakhadiran; dan pembatalan atau koreksi entri dalam catatan sipil. Pada tanggal 28 Oktober 1997, Undang-Undang Republik No. 8369 atau dikenal sebagai Undang-Undang Pengadilan Keluarga ditandatangani menjadi undang-undang. Berdasarkan Bagian 5, Pengadilan Keluarga memiliki yurisdiksi eksklusif untuk mengadili dan memutuskan kasus-kasus berikut:
Berdasarkan Pasal 13 UU Pengadilan Keluarga, Mahkamah Agung membentuk Panitia Revisi Tata Tertib Pengadilan (Pengadilan Keluarga) yang diketuai oleh Senior Associate Justice Reynato S. Puno. Hingga saat ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan aturan sebagai berikut: (1) Aturan Pemeriksaan Saksi Anak; (2) Aturan tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum; (3) Aturan tentang Pernyataan Batalnya Perkawinan Batal Mutlak dan Pembatalan Perkawinan Yang Dapat Dibatalkan; (4) Aturan Pemisahan Hukum; (5) Peraturan tentang Perintah Sementara; (6) Aturan tentang Penitipan Anak di Bawah Umur dan Surat Perintah Habeas Corpus Terkait dengan Penitipan Anak di Bawah Umur; (7) Aturan Perwalian Anak di Bawah Umur; (8) Aturan Pengangkatan; (9) Aturan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak; dan (10) Aturan Komitmen Anak. Salah satu strategi inovatif Mahkamah Agung dalam mengurangi beban perkara pengadilan keluarga adalah Proyek Justice on Wheels. Ini bertujuan untuk meningkatkan akses sektor miskin dan terpinggirkan ke layanan peradilan yang terjangkau. Sidang keliling berbentuk bus besar yang diawaki antara lain oleh seorang hakim, jaksa, dan stenografer. Komite Ad-Hoc untuk Proyek Justice on Wheels diketuai oleh Hakim Adolfo S. Azcuna sebagai Ketua dan Wakil Senior Administrator Pengadilan Zenaida N. Elepaño sebagai Wakil Ketua. Kasus-kasus yang disidangkan adalah untuk kejahatan seperti ancaman ringan, kepemilikan senjata api dan senjata mematikan secara ilegal, pencurian, perampokan, dan pelanggaran PD 1619 - sebuah keputusan yang menghukum penggunaan atau kepemilikan atau penjualan tanpa izin kepada anak di bawah umur dari zat yang mudah menguap untuk tujuan membujuk. kemabukan. PELAKSANAAN HUKUM DAN PUTUSAN ARBITRAL Pengadilan dapat memasukkan kepuasan penilaian atas:
Efek dari penilaian bervariasi. Jika in rem , penilaian atau perintah itu konklusif atas hak atas benda itu, wasiat atau administrasi atau kondisi, status, atau hubungan orang tersebut; jika in personam , keputusannya adalah konklusif antara para pihak dan penerus kepentingan mereka dengan judul setelah dimulainya tindakan atau proses khusus, berperkara untuk hal yang sama dan di bawah judul yang sama dan dalam kapasitas yang sama dan kesimpulan keputusan, di mana para pihak untuk kedua tindakan mungkin sama tetapi penyebab tindakannya sama, hanya mengikat sehubungan dengan hal-hal yang benar-benar diangkat dan diputuskan di dalamnya. Asalkan pengadilan asing memiliki yurisdiksi untuk mengumumkan putusan, dampaknya adalah sebagai berikut. Dalam tindakan in rem , penilaiannya konklusif setelah verifikasi hak atas benda itu; dalam tindakan in personam , keputusan adalah bukti dugaan hak antara para pihak dan penerus kepentingan mereka dengan judul berikutnya, tetapi keputusan dapat dibatalkan dengan bukti kekurangan yurisdiksi, ingin pemberitahuan kepada pihak, kolusi , penipuan atau kesalahan hukum atau fakta yang jelas. Kecuali untuk arbitrase perburuhan, yang diatur oleh Kode Perburuhan, dasar hukum arbitrase adalah kontrak atau kesepakatan antara para pihak untuk menengahi perselisihan di masa depan atau untuk mengajukan arbitrase, perselisihan yang sudah muncul. Pasal 1306 Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menjamin hak itu apabila ditentukan bahwa: Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian dapat membuat ketentuan, klausula, syarat dan ketentuan yang dianggapnya sesuai, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, kebiasaan baik, ketertiban umum atau kebijakan umum. Bagian 2 UU Arbitrase mengakui perjanjian arbitrase dan klausul arbitrase. Dengan bahasa yang luas dari bagian 1, ini menyiratkan bahwa klaim atau sengketa apa pun yang timbul dari kontrak atau hubungan hukum yang ditentukan dapat diajukan ke arbitrase. Ketika pengadilan puas bahwa pembuatan perjanjian atau kegagalan untuk mematuhinya tidak menjadi masalah, pengadilan memerintahkan para pihak untuk melanjutkan ke arbitrase sesuai dengan ketentuan perjanjian. n84 Semua tindakan para pihak, setelah pembuatan kontrak yang menimbulkan masalah fakta atau hukum, secara eksklusif berada di dalam yurisdiksi para arbiter. Biasanya, kontrak menyediakan metode penamaan atau penunjukan arbiter atau arbiter tetapi jika tidak ada metode seperti itu, Pengadilan Negeri akan menunjuk arbiter dan mereka harus disumpah oleh petugas yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan sumpah.
Arbiter, pada awal sidang, dapat meminta pernyataan singkat dari kedua belah pihak tentang masalah yang diperdebatkan dan/atau pernyataan fakta yang disepakati. Para arbiter adalah satu-satunya hakim atas relevansi dan materialitas bukti yang ditawarkan dan tidak terikat untuk mematuhi Peraturan Pengadilan yang berkaitan dengan bukti. Pengarahan dapat diajukan oleh para pihak dalam waktu 15 hari setelah penutupan sidang lisan. Kecuali para pihak telah menetapkan dengan perjanjian tertulis waktu di mana para arbiter harus memberikan putusannya, putusan tertulis harus diberikan dalam waktu 30 hari setelah penutupan sidang, yang jangka waktunya dapat diperpanjang dengan persetujuan bersama. Setiap saat dalam waktu satu bulan setelah putusan dibuat, pihak mana pun dalam arbitrase dapat mengajukan permohonan ke pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk perintah yang mengukuhkan putusan, kecuali putusan dibatalkan, diubah atau diperbaiki seperti yang ditentukan oleh hukum. Banding dapat diambil dari perintah atas penghargaan melaluiproses certiorari , tetapi banding tersebut terbatas pada pertanyaan hukum. BAB 5 - Profesi Hukum PENDIDIKAN HUKUM Pelatihan hukum dilakukan di sekolah-sekolah hukum yang umumnya berbasis universitas, dan bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah ini terdiri dari dua jenis negeri dan swasta - tergantung pada bagaimana mereka didukung. Ada tiga sekolah negeri, yaitu Universitas Filipina, Universitas Negeri Don Mariano Marcos, dan Universitas Negeri Mindanao. Kursus hukum pertama dilakukan dalam bahasa Spanyol pada tahun 1834 di Universitas Kepausan Santo Tomas dan dirancang di sekitar berbagai cabang hukum perdata. Kursus hukum dalam bahasa Inggris dimulai di Manila YMCA pada tahun 1910, yang merupakan cikal bakal Sekolah Tinggi Hukum, Universitas Filipina, hingga pendirian resminya pada tahun 1911. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, semua fakultas hukum secara eksplisit dijamin kebebasan akademiknya di bawah Konstitusi. Namun, mereka juga tunduk pada pengawasan dan pengaturan oleh Negara. Sementara sekolah swasta berada di bawah yurisdiksi Komisi Pendidikan Tinggi, universitas negeri beroperasi di bawah piagam khusus. Karena pengawasan ketat pemerintah baru-baru ini, saat ini ada 54 sekolah hukum swasta yang beroperasi di seluruh negeri. Bar Terpadu Filipina (IBP) dan Asosiasi Sekolah dan Universitas Akreditasi Filipina (PAASCU) telah mengembangkan serangkaian kriteria untuk standar sekolah hukum yang akan mempengaruhi akreditasi sekolah hukum, jika dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai hasil dari peraturan negara, sekolah hukum swasta mengikuti kurikulum inti dari kursus wajib yang tersebar selama empat tahun. Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Filipina berbeda dalam beberapa hal materi dari kurikulum ini. Ini baru-baru ini menerapkan kurikulum pilihan inti di mana siswa diminta untuk mengambil kursus dasar dan diberi kebebasan untuk memilih hingga 20% dari kursus untuk gelar Sarjana Hukum (LLB) mereka. Metode pengajaran yang biasa digunakan di sekolah hukum swasta meliputi metode ceramah dan pengajian. Fakultas Hukum Universitas Filipina menggunakan metode Socrates, kasus, masalah, pendekatan klinis, dan seminar yang dimodifikasi tergantung pada subjek dan gaya pribadi guru. Berpola setelah beberapa sekolah hukum Amerika, Fakultas hukum Universitas Ateneo mengubah gelar LLB-nya menjadi gelar Juris Doctor (JD). Konsultasi sekarang dilakukan apakah Komisi Pendidikan Tinggi (CHED) akan meminta sekolah hukum lainnya untuk mengikuti langkah tersebut. Mahkamah Agung memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya pada penerimaan praktik hukum tetapi juga pada pendidikan hukum. Di bawah Aturan Pengadilan, penyelesaian gelar sarjana muda sebelum masuk ke kursus hukum empat tahun ditentukan. Ini juga menentukan mata pelajaran ujian yang, tentu saja, membutuhkan dimasukkannya dalam kurikulum hukum kursus tertentu yang ditunjuk seperti hukum perdata, perburuhan dan undang-undang sosial, hukum perdagangan, hukum pidana, hukum politik (hukum konstitusional, perusahaan publik dan pejabat publik), hukum internasional (swasta dan publik), perpajakan, hukum remedial (acara perdata, acara pidana dan bukti), etika hukum dan latihan praktis dalam pembelaan dan penyampaian. Baru-baru ini, Undang-Undang Republik No 7662 (1993) disahkan, mengatur reformasi dalam pendidikan hukum dan untuk tujuan ini dibentuk Dewan Pendidikan Hukum. Sampai saat ini, Dewan ini belum beroperasi. Peraturan Praktek Mahasiswa Hukum Dalam resolusi Mahkamah Agung yang dibuat en banc pada tanggal 18 Desember 1986, Aturan 138A dari Peraturan Pengadilan yang Direvisi diadopsi yang mengizinkan Praktik Mahasiswa Hukum secara terbatas. Seorang siswa yang telah berhasil menyelesaikan tahun ketiga dari kurikulum hukum reguler empat tahun yang ditentukan dan terdaftar dalam program pendidikan hukum klinis sekolah hukum yang diakui yang disetujui oleh Mahkamah Agung, dapat muncul tanpa kompensasi dalam kasus perdata, pidana, atau administrasi apa pun sebelum setiap pengadilan, tribunal, dewan atau petugas, untuk mewakili klien miskin yang diadopsi oleh klinik hukum sekolah hukum. Penampilan mahasiswa hukum berada di bawah pengawasan dan kendali langsung dari anggota Pengacara Terpadu yang diakreditasi oleh sekolah hukum dan semua pembelaan, pengarahan, memorandum atau surat-surat lainnya harus diajukan oleh kuasa hukum pengawas untuk dan atas nama klinik hukum. Aturan yang melindungi komunikasi istimewa antara pengacara dan klien berlaku untuk komunikasi yang dilakukan atau diterima oleh mahasiswa hukum yang bertindak untuk klinik tersebut. Standar perilaku profesional yang mengatur anggota Bar berlaku untuk mahasiswa hukum dan kegagalan seorang pengacara untuk memberikan pengawasan yang memadai terhadap praktik mahasiswa dapat menjadi dasar untuk tindakan disipliner. Ujian Bar Pemeriksaan pengacara dilakukan setiap tahun oleh Komite Penguji Pengacara yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Panitia yang menjabat selama satu tahun ini terdiri dari seorang hakim agung yang bertindak sebagai ketua dan delapan anggota Bar. Agar seorang kandidat dianggap telah lulus ujian dengan sukses, ia harus memperoleh rata-rata umum 75% di semua mata pelajaran tanpa jatuh di bawah 50% di salah satu mata pelajaran. Kandidat yang gagal dalam ujian tiga kali didiskualifikasi dari mengikuti ujian keempat atau kelima kecuali mereka menunjukkan, untuk kepuasan Pengadilan, bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan satu tahun kursus penyegaran untuk setiap ujian. Namun, bagi mereka yang telah gagal dalam lima atau lebih ujian pengacara, mereka hanya diperbolehkan satu ujian lagi setelah menyelesaikan kursus penyegaran selama satu tahun. Setiap pelamar untuk masuk sebagai anggota Bar harus warga negara Filipina, berusia minimal 21 tahun, bermoral baik, dan penduduk Filipina. Dia harus menunjukkan kepada Mahkamah Agung bukti yang memuaskan tentang karakter moral yang baik dan bahwa tidak ada tuntutan terhadapnya yang melibatkan perbuatan tercela telah diajukan atau sedang menunggu keputusan terhadapnya di pengadilan mana pun di Filipina. BAR TERPADU FILIPINA (IBP) Konstitusi memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengumumkan aturan-aturan tentang penerimaan praktik hukum, Pengacara Terpadu dan bantuan hukum bagi orang-orang yang kurang mampu. Sebagai bagian dari kekuasaannya untuk mengatur praktik hukum, Mahkamah Agung dapat mendisiplinkan, menangguhkan, atau memberhentikan anggota Bar yang tidak layak dan tidak layak, memulihkan pengacara yang dipecat atau ditangguhkan, menghukum karena menghina siapa pun atas praktik hukum yang tidak sah dan, dalam umum, melakukan pengawasan menyeluruh terhadap profesi hukum. Pada awal tahun 1971, Asosiasi Pengacara Filipina telah mengadopsi Kanon 1 sampai 32 dari Kanon Etika Profesional Asosiasi Pengacara Amerika. Kanon 33 sampai 47 diadopsi pada tahun 1946. ada Kode Tanggung Jawab Profesional, disusun oleh Pengacara Terpadu Filipina, yang disetujui oleh Mahkamah Agung pada 21 Juni 1988. Pengacara Terpadu Filipina diatur oleh Aturan 139A Peraturan Pengadilan yang mengatur tentang organisasi, tujuan, wilayah, bab, Dewan Delegasi, Dewan Gubernur, pejabat, lowongan, iuran keanggotaan, akibat tidak dibayarnya iuran , pemutusan sukarela keanggotaan dan pemulihan, prosedur pengaduan, bar non-politik, posisi sebagai kehormatan, masalah fiskal, jurnal, asosiasi pengacara sukarela dan amandemen. Aturan 139B Peraturan Pengadilan menetapkan prosedur tentang pemecatan dan disiplin pengacara. Semua penyelidikan dilakukan oleh Komisi IBP tentang Disiplin Pengacara yang pada gilirannya, merekomendasikan kepada Mahkamah Agung en banc untuk disposisi kasus dalam sebuah keputusan. Pengacara di Filipina dianggap sebagai petugas pengadilan. Pada Januari 2004, catatan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa 49.711 pengacara telah diterima di Pengacara sejak tahun 1900, dan mereka adalah anggota Pengacara Terpadu Filipina (IBP) yang dibentuk oleh Mahkamah Agung berdasarkan Resolusi 9 Januari 1973 dan dibentuk menjadi badan hukum dengan Keputusan Presiden No 181 tanggal 4 Mei 1973. Keanggotaan dalam IBP bersifat wajib dan wanprestasi dalam pembayaran iuran tahunan selama satu tahun menjadi dasar pencabutan nama anggota yang wanprestasi dari Peran Pengacara. Sampai Mei 2005, ada 46.053 pengacara yang terdaftar di 78 cabang IBP. Di antara proyeknya adalah Proyek Bantuan Hukum yang dilaksanakan oleh Komite Nasional Bantuan Hukum dan para petugas bantuan hukum di 78 cabang. PENDIDIKAN HUKUM LANJUT Sejak tahun 1963, Pusat Hukum Universitas Filipina memiliki program pendidikan hukum berkelanjutan yang terdiri dari program-program non-gelar, seperti institut hukum, simposium khusus dan seminar-lokakarya untuk kelompok tertentu, survei tahunan terhadap keputusan dan undang-undang Mahkamah Agung, Tinjauan Bar dan lembaga praktik hukum umum bekerja sama dengan Bar Terintegrasi Filipina. Ada juga program terpadu yang dirancang untuk mewujudkan literasi hukum fungsional di kalangan masyarakat yang disebut program Pemasyarakatan Hukum atau POPLAW. Itu terdiri dari komponen-komponen berikut: Seminar Pendidikan Hukum Barangay (BLES) dan seminar gemanya; Mengajar Hukum Praktis kepada anak-anak sekolah; Pendidikan Hukum Melalui Media Massa dan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hukum. Di sisi lain, Lembaga Administrasi Peradilan UP yang menyelenggarakan program pendidikan hukum lanjutan reguler untuk pengacara dan melakukan penelitian dan studi untuk peradilan yang didanai oleh subsidi dari Mahkamah Agung. PENDIDIKAN HUKUM LANJUT WAJIB (MPK) Untuk memastikan bahwa anggota Pengacara Filipina tetap mengikuti hukum, menjaga etika profesi dan meningkatkan standar praktik hukum, Mahkamah Agung mengumumkan Bar Matter 850 pada tanggal 15 September 2000 yang mewajibkan pendidikan hukum berkelanjutan (MCLE) wajib. . Pengacara harus menyelesaikan setidaknya tiga puluh enam (36) jam selama tiga (3) tahun yang terdiri dari mata pelajaran berikut: etika hukum (6 unit); keterampilan uji coba dan pra-sidang (4 unit); alternatif penyelesaian sengketa (5 unit); pemutakhiran hukum substansi dan hukum acara (9 unit); penulisan hukum dan advokasi lisan (4 unit); hukum dan konvensi internasional (2 unit); dan enam (6) unit untuk MCLE Prescribed Subjects seperti Teknologi dan Hukum, Hukum dan Ekonomi, Hukum Lingkungan, Proses Hukum Internasional, Transaksi Bisnis Transnasional, Hukum sebagai Sarana Kontrol Sosial, Sensitivitas Gender dalam Sistem Peradilan dan Reformasi Hukum dalam Bidang Hukum Tertentu. Satuan kredit juga diberikan untuk keikutsertaan sebagai dosen, nara sumber, panelis, reaktor, komentator, moderator, koordinator, dan fasilitator dalam kegiatan yang disetujui oleh Dewan Pengurus MCLE. Sekarang dikelola oleh Dewan Pengurus MCLE, program MCLE menyelesaikan tahun ketiga pelaksanaannya dari 15 April 2001 hingga 31 Desember 2004. Dewan telah mengakreditasi sejumlah 92 penyedia yang menghadirkan total 1.383 program yang sebagian besar berada di Metro Manila dan kota-kota besar. di Filipina. PENDIDIKAN PERADILAN Akademi Yudisial Filipina (PHILJA) yang dibentuk oleh Perintah Administratif Mahkamah Agung No. 35-96 dan Undang-Undang Republik No. 8557 (1998) berfungsi sebagai sekolah pelatihan bagi para hakim, hakim, personel pengadilan, pengacara, dan calon untuk jabatan yudisial. Program-program tersebut dirancang untuk "meningkatkan pengetahuan hukum, kesesuaian moral, kejujuran, efisiensi, dan kemampuan mereka." Di antara program reguler PHILJA adalah: (1) Program Pra-Peradilan yang memberikan pelatihan awal bagi calon pejabat yudisial sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang; (2) Lokakarya Seminar Orientasi bagi Hakim Baru yang mempersiapkan hakim untuk memangku jabatan dan pelaksanaan tugas serta mencakup program imersi dengan duduk bersama Hakim Eksekutif dalam menjalankan proses peradilan; (3) Program Peningkatan Karier Peradilan Regional (RJCEP) yang memutakhirkan para hakim dan personel pengadilan di berbagai bidang hukum; (4) Program Fokus Khusus yang bersifat tematis yang diperuntukkan bagi para hakim yang khusus ditunjuk untuk menangani perkara khusus; (5) Konvensi-seminar yang menurut aturan administratif, semua konvensi nasional
hakim dan pegawai pengadilan harus memiliki komponen akademik; (6) Program Pengembangan Personel Pengadilan yang memberikan pendidikan yudisial berkelanjutan sebagai jawaban atas kebutuhan untuk meningkatkan dan memperbaharui personel yudisial tentang hukum, yurisprudensi terkini dan kebijakan administratif, teknik yudisial dan perbaikan yang disarankan untuk persidangan dan prosedur; (7) Program Lembaga Kuasi Yudisial yang memberikan pendidikan berkelanjutan bagi para pejabat dan advokat lembaga kuasi yudisial sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung en banc AM No. 99-7-02-SC-PHILJA tanggal 6 Juli 1999; (8) Sesi diskusi yang menyediakan tempat bagi para anggota Pengadilan Tinggi untuk mengetahui dan mendiskusikan perkembangan terkini dan yurisprudensi di berbagai bidang hukum, khususnya yang relevan dengan pelaksanaan fungsinya; dan (9) Program Kompetensi Profesi yang membekali para pesertanya dengan prinsip-prinsip pendidikan profesional dan orang dewasa yang mengarah pada peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan pendidikan yudisial. PHILJA juga melakukan beberapa kegiatan pada mediasi yang dilampirkan pengadilan di pengadilan, di Pengadilan Banding, dan pada proyek JURIS yang didanai oleh Canadian International Development Agency (CIDA). Sejauh ini, Komite Desain dan Manajemen JURIS telah merekomendasikan, antara lain, Pedoman Penerapan Proses Pra-Persidangan yang Disempurnakan Melalui Konsiliasi dan Evaluasi Netral; Pedoman yang Harus Diperhatikan oleh Hakim Pengadilan dan Panitera Pengadilan dalam Pelaksanaan Praperadilan dan Penggunaan Tindakan Deposition-Discovery; Memperluas Wilayah Teritorial Proyek PMC-Juris di Kota Bacolod dan di Kota San Fernando, Pampanga ke wilayah yang berdekatan dengannya yang telah disetujui oleh Mahkamah Agung En Banc . Untuk memastikan bahwa pengadilan memenuhi perannya dalam menegakkan konstitusionalisme dan supremasi hukum serta untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan. Kode Etik Peradilan Baru untuk Kehakiman Filipina diundangkan pada 27 April 2004 dan Kode Etik untuk Personel Pengadilan pada 13 April 2004. BAB 6 - HUKUM KONTRAK Kontrak adalah pertemuan pikiran antara dua orang di mana yang satu mengikat dirinya, sehubungan dengan yang lain, untuk memberikan sesuatu atau memberikan beberapa layanan. Para pihak dalam kontrak dapat menetapkan klausula ketentuan, syarat dan ketentuan tersebut sebagaimana mereka anggap nyaman, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, kebiasaan baik, ketertiban umum atau kebijaksanaan umum. Kontrak harus mengikat kedua pihak yang membuat kontrak dan validitas serta kepatuhannya tidak dapat diserahkan kepada kehendak salah satu dari mereka. Tidak ada kontrak kecuali syarat-syarat berikut disetujui: (1) persetujuan dari pihak-pihak yang membuat kontrak; (2) objek tertentu yang merupakan subjek dari kontrak; dan (3) sebab-sebab timbulnya kewajiban. Dalam kontrak yang memberatkan, penyebabnya dipahami sebagai, untuk masing-masing pihak, prestation atau janji suatu barang atau layanan oleh pihak lain; di remunerasi, layanan atau manfaat yang dibayar; dan dalam kontrak kebaikan murni, hanya kemurahan hati si dermawan. Motif khusus para pihak dalam mengadakan kontrak berbeda dengan sebab-sebabnya. Kontrak tanpa sebab, atau dengan sebab yang melanggar hukum, tidak menghasilkan efek apa pun. Sebabnya adalah haram jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, kebiasaan baik, ketertiban umum atau kebijakan umum. Kontrak berikut harus muncul dalam dokumen publik:
Berikut ini adalah alasan untuk tidak melakukan kontrak:
Berikut ini adalah perjanjian-perjanjian yang tidak dapat dibuktikan kecuali dengan tulisan, atau dengan suatu nota atau memorandum yang ditandatangani oleh pihak yang dituntut, atau oleh kuasanya, atau dengan bukti tambahan tentang isinya:
Subjek kontrak harus merupakan hal yang ditentukan dan sah, dan penjual harus memiliki hak untuk mentransfer kepemilikan mereka pada saat itu disampaikan. Benda-benda yang mempunyai potensi keberadaannya juga dapat menjadi objek akad jual beli. Khasiat penjualan harapan atau harapan belaka dianggap tunduk pada syarat bahwa hal itu akan menjadi ada. Penjualan harapan atau harapan yang sia-sia adalah batal. Barang-barang yang menjadi pokok suatu kontrak jual-beli dapat berupa barang-barang yang sudah ada atau 'barang-barang yang akan datang', yaitu barang-barang yang akan diproduksi, dibesarkan, atau diperoleh oleh penjual setelah kontrak itu disempurnakan. Hal-hal yang tunduk pada kondisi penyelesaian juga dapat menjadi objek kontrak penjualan. Kontrak penyerahan suatu barang dengan harga tertentu, yang dibuat oleh penjual dalam kegiatan usahanya yang biasa atau diperolehnya untuk pasar umum, baik barang itu ada pada waktu itu atau tidak, adalah suatu kontrak penjualan, tetapi jika barang-barang itu akan diproduksi khusus untuk pelanggan dan atas pesanan khusus, dan bukan untuk pasar umum, itu adalah kontrak untuk suatu pekerjaan. Undang-undang terbaru yang mengatur transaksi yang dilakukan di dunia maya adalah 'UU E-Commerce'. Ini mencakup semua transaksi baik komersial atau non-komersial yang dilakukan secara elektronik dan menyediakan mode otentikasi pesan data elektronik atau dokumen elektronik dan menjaga keandalannya. Berdasarkan undang-undang ini, pengakuan hukum diberikan pada dokumen elektronik yang mempunyai kekuatan hukum, keabsahan dan keberlakuan yang sama dengan dokumen atau tulisan hukum lainnya. Untuk tujuan pembuktian, dokumen elektronik menjadi fungsi yang setara dengan dokumen tertulis dengan memperhatikan formalitas yang diperlukan untuk validitas dokumen berdasarkan undang-undang yang ada. Dengan demikian, Untuk tujuan Undang-undang ini, Mahkamah Agung mengumumkan 'Aturan tentang Bukti Elektronik' yang berlaku untuk semua tindakan dan proses perdata dan pidana, serta kasus kuasi-yudisial dan administratif. BAB 7 - HUKUM TORT KUH Perdata Filipina tidak pernah menggunakan kata 'tort' dalam ketentuannya. Sebaliknya, istilah 'kuasi-delik' digunakan yang merupakan mitra terdekat dari konsep hukum Romawi. Berbeda dengan konsep 'tort' hukum Romawi, tindakan yang disengaja dan jahat diatur oleh KUHP yang Direvisi dan bukan oleh hukum tentang delik semu. Quasi-delict digunakan untuk menunjuk kewajiban-kewajiban yang tidak timbul dari hukum, kontrak, quasi-kontrak atau tindak pidana. Konsep pertanggungjawaban dalam kasus kuasi-deliktual diwujudkan dalam Bab 2, Judul XVII KUH Perdata. Ketentuan dasar tentang quasi delict atau culpa aquiliana atau extra contractual culpa adalah pasal 2176 KUH Perdata yang mengatur: Barangsiapa karena perbuatan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada orang lain, karena kesalahan atau kelalaiannya, wajib membayar kerugian yang ditimbulkannya. Kesalahan atau kelalaian tersebut, jika tidak ada hubungan kontraktual yang sudah ada sebelumnya antara para pihak, disebut quasi-delict dan diatur oleh ketentuan bab ini. Tanggung jawab untuk quasi-delict berdasarkan pasal ini mensyaratkan kondisi sebagai berikut:
Pasal 1173 KUH Perdata mendefinisikan kelalaian sebagai kelalaian dari ketekunan yang diperlukan oleh sifat kewajiban dan sesuai dengan keadaan orang, waktu dan tempat. Jika undang-undang atau kontrak tidak menyatakan ketekunan yang harus diperhatikan dalam kinerja, apa yang diharapkan dari seorang ayah yang baik dari sebuah keluarga akan dituntut. Namun, tingkat kehati-hatian dan ketekunan yang dibutuhkan oleh seorang pembawa biasa adalah ketekunan yang luar biasa. Sebagai dasar pertanggungjawaban, perbuatan lalai atau kelalaian harus menjadi penyebab langsung dari kerugian yang diderita oleh penggugat. Dengan demikian, kelalaian adalah istilah relatif yang penerapannya tergantung pada situasi para pihak dan tingkat kasus dan kewaspadaan yang dibutuhkan oleh keadaan tersebut dan karenanya di mana bahayanya besar, tingkat kehati-hatian yang tinggi diperlukan, dan kegagalan untuk mengamatinya. adalah keinginan perawatan biasa dalam keadaan. Jika tindakan kelalaian atau kelalaian yang terjadi bersamaan atau berturut-turut dari dua orang atau lebih, meskipun bertindak secara independen satu sama lain, dalam kombinasi, merupakan penyebab langsung dan terdekat dari cedera tunggal pada orang ketiga, dan tidak mungkin untuk menentukan dalam proporsi berapa masing-masing berkontribusi terhadap cedera, baik bertanggung jawab atas seluruh cedera, Kelalaian pihak penggugat tidak akan mengalahkan tuntutan ganti rugi dalam quasi-delict, jika itu bukan penyebab langsung dan utama dari kerugian tersebut tetapi hanya berkontribusi pada kerugiannya, pengadilan akan mengurangi kerugian yang akan diberikan. Namun, jika kelalaian penggugat sendiri adalah penyebab langsung dan terdekat dari cederanya, ia tidak dapat memperoleh ganti rugi. Doktrin res ipsa loquitor menetapkan praduga kelalaian dalam ketiadaan pernyataan dari orang yang menguasai benda yang menyebabkan luka, di mana benda yang menyebabkan luka, tanpa kesalahan orang yang terluka, berada di bawah kendali eksklusif. terdakwa dan cederanya seperti dalam keadaan biasa tidak terjadi jika pengendalian tersebut menggunakan perawatan yang tepat, hal itu memberikan bukti yang masuk akal, dengan tidak adanya penjelasan, bahwa cedera tersebut timbul dari kurangnya perawatan terdakwa. Sebagaimana diakui dalam yurisprudensi Amerika, doktrin respondeat superior , di mana kelalaian karyawan secara meyakinkan dianggap sebagai kelalaian pemberi kerja ditemukan dalam KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 2180 KUH Perdata, orang-orang berikut ini bertanggung jawab atas tindakan atau kelalaian orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya:
Namun, jika ditunjukkan kepada pengadilan bahwa mereka mengamati semua ketekunan seorang ayah yang baik dari sebuah keluarga untuk mencegah kerusakan, tanggung jawab mereka berhenti. Dalam beberapa kasus yang diputuskan oleh Mahkamah Agung, berikut adalah beberapa pembelaan yang telah diajukan dan dianggap berjasa:
Selain pasal 2176 sampai dengan 2194 KUHPerdata tentang quasi-delicts, Bab KUHPerdata tentang Hubungan Manusia juga menetapkan 'gugatan khusus' yang tidak hanya memasukkan prinsip keadilan tetapi juga ajaran moral universal seperti: Setiap orang yang, bertentangan dengan hukum, dengan sengaja atau lalai menyebabkan kerugian pada orang lain, harus mengganti rugi untuk hal yang sama. Dan Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan kerugian atau kerugian pada orang lain dengan cara yang bertentangan dengan kesusilaan, kebiasaan yang baik atau kebijakan publik, harus mengganti kerugian tersebut.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa, sementara pasal 2176 et seq terbatas pada perbuatan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian atau luka pada orang lain, pasal 20 mencakup baik perbuatan sengaja maupun kelalaian tanpa syarat. BAB 8 - HUKUM INVESTASI Kode Investasi Omnibus tahun 1987 dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1991 mengatur investasi dan pemberian insentif yang dikelola oleh Departemen Perdagangan dan Industri (DTI) melalui Dewan Investasi (BOI) atau Otoritas Zona Ekonomi Filipina (PEZA) , bersama dengan semua undang-undang yang mengatur penanaman modal atau menjalankan bisnis oleh orang asing di Filipina. Ini memberi investor asing dan lokal informasi lengkap tentang semua insentif yang dapat mereka manfaatkan, skema investasi alternatif yang tersedia bagi mereka dan persyaratan pendaftaran investasi asing tanpa insentif. Investasi asing berarti investasi ekuitas yang dilakukan oleh warga negara non-Filipina, Negara mendorong investasi swasta dalam dan luar negeri di bidang industri, pertanian, pertambangan, kehutanan, pariwisata, dan sektor ekonomi lainnya yang akan: (1) menyediakan kesempatan kerja yang signifikan relatif terhadap jumlah modal yang ditanamkan; (2) meningkatkan produktivitas tanah, mineral, kehutanan, perairan, dan sumber daya lain negara serta meningkatkan pemanfaatan hasil-hasilnya; (3) meningkatkan keterampilan teknis orang-orang yang bekerja di perusahaan; (4) memberikan landasan bagi pengembangan ekonomi ke depan; (5) memenuhi uji daya saing internasional; (6) mempercepat pembangunan daerah tertinggal; dan (7) mengakibatkan peningkatan volume dan nilai ekspor bagi perekonomian. Negara harus mendorong proyek-proyek yang akan berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan ini, insentif fiskal yang tanpanya proyek tersebut tidak dapat didirikan di daerah, jumlah dan/atau kecepatan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi nasional yang optimal. Sistem insentif fiskal harus dirancang untuk mengkompensasi ketidaksempurnaan pasar, memberi penghargaan atas kinerja yang berkontribusi pada pembangunan ekonomi, dan hemat biaya serta mudah dikelola. Insentif fiskal akan diperpanjang untuk merangsang investasi dan membantu operasi awal perusahaan, dan akan berakhir setelah jangka waktu tidak lebih dari 10 tahun sejak pendaftaran atau permulaan operasi, kecuali jangka waktu khusus dinyatakan lain. Di bawah FIA, warga negara non-Filipina yang tidak didiskualifikasi oleh hukum, hanya dapat mendaftar di Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) atau di Biro Perdagangan dan Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan dan Industri (DTI), di kasus kepemilikan tunggal, berbisnis atau berinvestasi di perusahaan domestik hingga 100% dari modalnya kecuali partisipasi warga negara non-Filipina dalam perusahaan tersebut dilarang atau dibatasi pada persentase yang lebih kecil oleh undang-undang atau oleh FIA sendiri. Perusahaan milik asing yang melayani terutama pasar domestik didorong untuk melakukan langkah-langkah yang secara bertahap akan meningkatkan partisipasi Filipina dalam bisnis mereka, menerapkan transfer teknologi ke Filipina dan menciptakan lapangan kerja. Istilah warga negara Filipina berarti warga negara Filipina; atau kemitraan atau asosiasi domestik yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Filipina; atau sebuah korporasi yang diatur berdasarkan hukum Filipina yang setidaknya enam puluh persen (60%) dari modal saham yang beredar dan berhak memilih dimiliki dan dipegang oleh warga negara Filipina; atau korporasi yang diselenggarakan di luar negeri dan terdaftar sebagai menjalankan bisnis di Filipina berdasarkan Kode Korporasi yang seratus persen (100%) dari modal saham yang beredar dan berhak memilih dimiliki sepenuhnya oleh warga Filipina atau wali dana untuk pensiun atau karyawan lain tunjangan pensiun atau pemisahan, di mana wali adalah warga negara Filipina dan setidaknya enam puluh persen (60%) dari dana akan bertambah untuk kepentingan warga negara Filipina; Asalkan, bahwa di mana sebuah perusahaan dan pemegang saham non-Filipina memiliki saham di sebuah perusahaan yang terdaftar di Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC), setidaknya enam puluh persen (60%) dari modal saham yang beredar dan berhak untuk memilih kedua perusahaan tersebut harus dimiliki dan dipegang oleh warga negara Filipina dan sekurang-kurangnya enam puluh persen (60%) dari anggota Dewan Direksi kedua perusahaan harus warga negara Filipina, agar perusahaan tersebut dianggap sebagai warga negara Filipina. Istilah 'melakukan bisnis' telah diberi arti teknis oleh undang-undang, dan secara umum mengacu pada semua 'tindakan yang menyiratkan kesinambungan urusan atau pengaturan komersial, dan sejauh itu mengacu pada pelaksanaan tindakan atau pekerjaan, atau pelaksanaan sebagian dari fungsi biasanya terkait dengan, dan dalam tuntutan progresif, keuntungan komersial atau tujuan dan objek organisasi bisnis. Ini termasuk meminta pesanan, kontrak layanan, membuka kantor atau cabang, menunjuk perwakilan atau distributor yang berdomisili di Filipina atau yang dalam tahun kalender mana pun tinggal di negara tersebut untuk jangka waktu yang totalnya paling sedikit 180 hari, atau berpartisipasi dalam manajemen, pengawasan, atau kendali atas setiap perusahaan domestik di Filipina. Namun, Atti. Rocky Reyes membuat pengamatan berikut pada dua undang-undang yang mengubah Kode Investasi Omnibus: 'FIA mengklarifikasi bahwa, sebagai aturan umum, ekspor dan perusahaan pasar domestik terbuka untuk investasi asing sepenuhnya dari ekuitas mereka. Sebelum pemberlakuan FIA, Kode Investasi mensyaratkan persetujuan Board of Investments (BOI) terlebih dahulu sebelum entitas yang bukan warga negara Filipina dapat melakukan bisnis di Filipina (atau dalam hal ini, untuk setiap investasi asing yang melebihi empat puluh persen ( 40%) dari perusahaan yang beredar). FIA menghapus persyaratan ini dan mengizinkan warga negara non-Filipina yang tidak bermaksud memanfaatkan insentif untuk melakukan bisnis di Filipina atau berinvestasi hingga seratus persen (100%) dari modal ekspor atau perusahaan pasar domestik. Namun, Republic Act No 8179 memperluas definisi 'Nasional Filipina' untuk memasukkan perusahaan asing yang dimiliki sepenuhnya oleh orang Filipina mengurangi modal disetor minimum untuk perusahaan pasar domestik yang dapat dimiliki 100% oleh orang asing menjadi US$200.000 menghapus Negatif Daftar C dan daftar perusahaan strategis dan mantan warga negara kelahiran diberikan hak investasi tertentu '. Setiap warga negara non-Filipina dapat melakukan bisnis atau berinvestasi di perusahaan domestik hingga 100% dari modalnya asalkan berinvestasi di perusahaan pasar domestik di wilayah di luar Daftar Negatif Investasi Asing (FINL) dan membawa modal asing setidaknya US$200.000; atau berinvestasi di perusahaan ahli yang produk dan layanannya tidak termasuk dalam Daftar A & B FINL. Juga ditentukan bahwa negara atau negara bagian pemohon juga harus mengizinkan warga negara dan perusahaan Filipina untuk melakukan bisnis di dalamnya. Daftar Area Investasi yang Dicadangkan untuk Warga Negara Filipina atau Daftar Negatif Investasi Asing.- (a) Daftar A terdiri dari area kegiatan di mana penyertaan modal asing di perusahaan domestik atau ekspor yang terlibat dalam aktivitas apa pun yang terdaftar di dalamnya akan dibatasi maksimal 40% sebagaimana ditentukan oleh Konstitusi dan undang-undang khusus; dan (b) Daftar B terdiri dari bidang kegiatan dan perusahaan yang diatur menurut undang-undang yang merupakan kegiatan yang terkait dengan pertahanan, yang memerlukan izin dan otorisasi sebelumnya dari Departemen Pertahanan Nasional atau yang berimplikasi pada kesehatan dan moral masyarakat. Undang-Undang Republik No. 7042 mencakup semua bidang investasi kegiatan ekonomi kecuali perbankan dan lembaga keuangan lainnya yang diatur dan diatur oleh Undang-Undang Perbankan Umum dan undang-undang lain di bawah pengawasan Bank Sentral. Perusahaan yang ada yang telah mengeluarkan sertifikat otoritas untuk melakukan bisnis atau menerima investasi yang diizinkan berdasarkan Perintah Eksekutif No 226, Keputusan Presiden No 1789 dan Undang-Undang Republik No 5455, yang kegiatannya termasuk dalam FINL Sementara atau Daftar Negatif berikutnya, diizinkan untuk melanjutkan kegiatan yang sama yang mereka telah diizinkan untuk melakukan tunduk pada syarat dan ketentuan yang sama yang ditetapkan dalam sertifikat pendaftaran mereka. Mereka yang kegiatannya sebelumnya telah disahkan berdasarkan Perintah Eksekutif No 226, Keputusan Presiden No 1789 dan Undang-undang Republik No 5455, dan yang kegiatannya tidak termasuk dalam FINL Sementara atau Daftar Negatif berikutnya dapat memilih untuk diatur oleh ketentuan Undang-undang. Perusahaan-perusahaan tersebut akan dianggap terdaftar secara otomatis di SEC setelah menyerahkan sertifikat kewenangannya kepada BOI. SEC akan menerbitkan sertifikat otoritas baru atas saran BOI. Perusahaan yang ada dengan lebih dari 40% ekuitas asing yang telah memanfaatkan insentif berdasarkan undang-undang insentif investasi mana pun yang diterapkan oleh BOI dapat memilih untuk diatur oleh Undang-Undang tersebut. Dalam hal demikian, perusahaan tersebut wajib menyerahkan sertifikat pendaftarannya, yang dianggap sebagai pengabaian hak istimewa mereka untuk mengajukan dan memanfaatkan insentif berdasarkan undang-undang insentif di mana mereka sebelumnya terdaftar. Tunduk pada peraturan dan regulasi BOI, perusahaan tersebut mungkin diminta untuk mengembalikan semua insentif peralatan modal yang tersedia. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar BOI akan diberikan insentif berikut sejauh terlibat dalam bidang investasi yang disukai: (1) Pembebasan pajak penghasilan - pembebasan penuh selama enam tahun untuk perusahaan pionir dan empat tahun untuk perusahaan non-pionir sejak tanggal operasi komersial, dapat diperpanjang untuk satu tahun lagi sementara perusahaan-perusahaan yang sedang berkembang yang terdaftar berhak atas pembebasan pajak penghasilan sebanding dengan perluasan mereka untuk jangka waktu tiga tahun dari operasi komersial; (2) tambahan pengurangan penghasilan kena pajak sebesar 50% dari biaya tenaga kerja selama lima tahun sejak pendaftaran; (3) pembebasan pajak dan bea atas impor peralatan modal dan suku cadang yang menyertainya, dalam kondisi tertentu; (4) kredit pajak atas peralatan modal dalam negeri dengan persyaratan tertentu; (5) penyederhanaan prosedur kepabeanan untuk impor peralatan, suku cadang, bahan baku dan persediaan, dan ekspor produk olahan; (6) penggunaan tidak terbatas dari peralatan konsinyasi memberikan ikatan ekspor ulang yang diposkan kecuali peralatan dan suku cadang telah diimpor bebas pajak dan bea; (7) mempekerjakan warga negara asing dalam posisi pengawasan, teknis atau penasehat selama lima tahun sejak pendaftaran, dapat diperpanjang untuk jangka waktu terbatas dengan pengecualian tertentu; (8) pembebasan dari semua pajak dan bea impor bibit dan bahan genetik dalam waktu sepuluh tahun sejak tanggal pendaftaran atau operasi komersial dengan persyaratan tertentu; (9) kredit pajak atas stok pemuliaan domestik dan bahan genetik yang setara dengan 100% asalkan pembelian dilakukan dalam waktu sepuluh tahun sejak tanggal pendaftaran perusahaan; (10) kredit pajak untuk pajak dan bea atas bahan mentah, persediaan dan produk setengah jadi yang digunakan dalam pembuatan produk ekspor; (11) akses ke sistem gudang manufaktur/perdagangan berikat dari perusahaan berorientasi ekspor terdaftar; (12) pembebasan dari pajak dan bea impor suku cadang dan perbekalan yang diperlukan dan untuk peralatan yang dikonsinyasi; dan (13) pembebasan dari dermaga dan pajak ekspor, bea, impor dan biaya. Untuk perusahaan terdaftar yang beroperasi di daerah yang kurang berkembang, insentifnya adalah: (1) hak otomatis atas insentif yang tersedia bagi perusahaan perintis tanpa memandang kebangsaan; (2) tambahan pengurangan penghasilan kena pajak sebesar 100% biaya tenaga kerja selama lima tahun sejak pendaftaran; dan (3) pengurangan penghasilan kena pajak sebesar 100% dari biaya pembangunan prasarana dan sarana umum yang diperlukan dan utama. Perusahaan yang terdaftar pada Otoritas Zona Pemrosesan Ekspor (sekarang PEZA) juga berhak atas insentif yang tersedia untuk perusahaan yang terdaftar pada BOI. Insentif tambahan adalah: (1) Barang dagangan, bahan baku, perlengkapan, dan barang lain yang dibawa ke zona pemrosesan ekspor dibebaskan dari pajak dan bea dengan syarat tertentu; dan (2) pembebasan dari pajak dan lisensi lokal termasuk pajak properti riil atas peralatan atau mesin produksi. Badan usaha asing yang diatur dan berdiri berdasarkan undang-undang selain dari Filipina yang bertujuan untuk mengawasi, mengawasi, memeriksa atau mengkoordinasikan afiliasi, anak perusahaan atau cabangnya sendiri di kawasan Asia-Pasifik dapat diizinkan untuk mendirikan kantor pusat regional atau area di Filipina dengan tunduk pada kondisi tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Kegiatannya terbatas pada bertindak sebagai pusat pengawasan, komunikasi dan koordinasi untuk anak perusahaan, afiliasi dan cabangnya di wilayah dan (2) tidak akan memperoleh pendapatan apa pun dari sumber di Filipina dan akan tidak berpartisipasi dengan cara apa pun dalam manajemen anak perusahaan atau kantor cabang mana pun yang mungkin dimilikinya di Filipina. Kantor pusat regional atau area berhak atas insentif sebagai berikut: (1) Pembebasan dari pajak penghasilan; (2) pembebasan dari pajak kontraktor; (3) pembebasan dari semua jenis izin, biaya dan bea lokal; (4) impor bahan pelatihan bebas pajak dan bea; (5) impor kendaraan bermotor untuk eksekutif ekspatriat dan penggantiannya setiap tiga tahun asalkan pajak dan bea dibayar pada saat impor; dan (6) pengecualian dari persyaratan pendaftaran. Eksekutif ekspatriat berhak atas: (1) visa multiple entry, berlaku selama satu tahun termasuk pasangan dan anak yang belum menikah di bawah 21 tahun dan pembebasan dari pembayaran semua biaya dan bea berdasarkan undang-undang imigrasi dan pendaftaran orang asing; mengamankan sertifikat pendaftaran orang asing; dan memperoleh semua jenis izin yang diperlukan oleh departemen atau lembaga pemerintah mana pun kecuali pemberitahuan pemberangkatan akhir dan izin pajak dari Biro Pendapatan Dalam Negeri; (2) pemotongan pajak sebesar 15% atas penghasilan bruto yang diterima; (3) impor barang-barang pribadi dan rumah tangga yang bebas pajak dan bea; dan (4) pembebasan pajak perjalanan. Perusahaan asing yang telah atau akan mendirikan kantor pusat regional atau area dapat diizinkan untuk mendirikan gudang regional dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Kegiatannya terbatas pada melayani sebagai depot pasokan untuk penyimpanan, penyimpanan, penyimpanan suku cadang atau komponen yang diproduksi dan bahan mentah termasuk pengepakan dan kegiatan terkait; mengisi transaksi dan penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat atau perusahaan induknya; dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan atau gudang barang yang dibeli di dalam negeri oleh kantor pusat perusahaan asing untuk diekspor ke luar negeri; (2) tidak boleh secara langsung terlibat dalam perdagangan atau secara langsung meminta bisnis, mempromosikan penjualan apa pun, atau mengadakan kontrak apa pun untuk penjualan atau disposisi barang di Filipina; dan (3) ia tidak akan memperoleh pendapatan apa pun dari sumber di Filipina dan personelnya tidak akan berpartisipasi dengan cara apa pun dalam pengelolaan anak perusahaan, afiliasi, atau kantor cabang yang mungkin dimilikinya di Filipina. Suku cadang impor, bahan baku dan barang lainnya untuk digunakan secara eksklusif pada barang yang disimpan, Visa penduduk investor khusus dapat diberikan kepada setiap orang asing yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: (1) Dia belum dihukum karena kejahatan yang melibatkan perbuatan tercela; (2) dia tidak menderita penyakit yang menjijikkan, berbahaya atau menular; (3) dia belum dilembagakan untuk gangguan mental atau disabilitas apa pun; dan (4) dia bersedia dan mampu menginvestasikan US$75.000 di Filipina. Investor dan perusahaan terdaftar berhak atas hak dan jaminan dasar berikut:
Dengan Undang-Undang Zona Ekonomi Khusus tahun 1995, pemerintah bertujuan untuk mendorong, mempromosikan, mendorong dan mempercepat pembangunan industri, ekonomi dan sosial yang sehat dan seimbang di negara tersebut dengan menyediakan lapangan kerja di daerah pedesaan dan meningkatkan produktivitas dan pendapatan setiap individu dan keluarga yang tinggal di kawasan ini melalui pembentukan zona ekonomi khusus ('ECOZONES') yang secara efektif akan menarik investasi asing yang sah dan produktif. Kawasan ekonomi khusus adalah kawasan terpilih yang sangat berkembang yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat agroindustri, industri, wisata/rekreasi, komersial, perbankan, investasi dan keuangan. Setiap investor dalam zona ekonomi yang investasi awalnya tidak boleh kurang dari US$150.000, pasangannya dan anak tanggungan di bawah 21 tahun akan diberikan status penduduk tetap di dalam zona ekonomi. Pendirian bisnis yang beroperasi dalam ECOZONES berhak untuk: (1) Insentif fiskal berdasarkan Keputusan Presiden No 66 atau Peraturan Eksekutif No 226; (2) kredit pajak untuk eksportir yang menggunakan bahan lokal sebagai input sebagaimana diatur oleh Republic Act No 7844 (Export Development Act of 1994); (3) pembebasan pajak berdasarkan Undang-Undang Pendapatan Dalam Negeri Nasional kecuali untuk pajak properti riil atas tanah yang dimiliki oleh pengembang; (4) barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan ECOZONE harus segera tersedia untuk penjualan eceran dalam negeri; (5) pengurangan tambahan sebesar ½ dari nilai biaya pelatihan yang dikeluarkan oleh perusahaan ECOZONE dalam mengembangkan tenaga kerja terampil atau tidak terampil atau untuk program pengembangan manajerial atau manajemen lainnya; dan (6) pembebasan dari pajak dan lisensi nasional dan lokal. Pengembang/operator ECOZONE berhak atas insentif berikut: (1) Pembebasan dari pajak dan lisensi nasional dan lokal, dan sebagai gantinya, pengembang/operator ECOZONE harus membayar pajak final sebesar 5% atas pendapatan kotor; (2) potongan tambahan sebesar ½ dari nilai biaya pelatihan; (3) insentif berdasarkan undang-undang BOT; dan (4) insentif lain berdasarkan Kode. Untuk memanfaatkan semua insentif dan keuntungan di atas, perusahaan bisnis di dalam ECOZONES harus mendaftar ke Otoritas Zona Ekonomi Filipina. Perusahaan ECOZONE diizinkan untuk mempekerjakan warga negara asing dalam kapasitas pengawasan, teknis atau penasehat tidak melebihi 5% dari tenaga kerjanya. Undang-Undang Republik No 7652 (1993) mengizinkan sewa tanah pribadi jangka panjang oleh investor asing untuk pendirian kawasan industri, pabrik, pabrik perakitan atau pengolahan, perusahaan agroindustri, pengembangan untuk penggunaan industri atau komersial, pariwisata, atau produktif prioritas serupa lainnya usaha. Di luar lingkup Republic Act No 7042 adalah perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Undang-Undang Republik No 8791 atau dikenal sebagai Undang-undang Perbankan Umum tahun 2000 mengatur organisasi dan operasi Bank, Bank Kuasi dan Entitas Perwalian. Undang-Undang Perbankan Umum terutama mengatur bank-bank universal dan komersial. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang ini, Bank diklasifikasikan menjadi:
Bank universal, selain kekuatan bank komersial, dapat menggunakan kekuatan rumah investasi, serta berinvestasi di perusahaan non-sekutu. Di sisi lain, bank komersial, terlepas dari kekuasaan umum sebuah perusahaan saham, dapat (1) menjalankan semua kekuasaan yang ditentukan dalam Bagian 29; (2) menyediakan layanan perbankan lainnya yang disebutkan dalam Bagian 53; dan (3) membeli, menahan, dan menyerahkan real estat sebagaimana dimaksud dalam Bagian 51 dan 52 Undang-Undang Perbankan Umum. Undang-undang lain yang mempengaruhi bank adalah: Undang-undang Simpanan Tanpa Pengungkapan; Hukum Saldo yang Tidak Diklaim; Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan Filipina; dan UU Penitipan Valuta Asing. UU Perbankan Umum dan UU Bank Sentral berlaku sebagai pelengkap bagi semua bank yang seluruhnya dimiliki oleh pemerintah. Dengan ketentuan khusus dari Undang-Undang Bank Sentral, Bangko Sentral bertugas mengawasi, mengatur, dan memeriksa secara berkala semua bank yang beroperasi di Filipina, termasuk semua lembaga perbankan pemerintah, seperti Bank Tanah Filipina dan Bank Pembangunan. Filipina. Kekuasaan pengawasan Bangko Sentral meliputi:
Bangko Sentral juga harus mengawasi operasi dan menjalankan kekuasaan pengaturan atas kuasi-bank, badan perwalian dan lembaga keuangan lainnya yang di bawah undang-undang khusus tunduk pada pengawasan Bangko Sentral . BAB 9 - HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL
Bagian 13, Pasal XIV Konstitusi 1987 mengamanatkan bahwa Negara harus melindungi dan mengamankan hak eksklusif ilmuwan, penemu, seniman, dan warga negara berbakat lainnya atas kekayaan intelektual dan ciptaan mereka, terutama jika bermanfaat bagi rakyat, untuk jangka waktu yang mungkin. disediakan oleh hukum'. Berdasarkan ketentuan ini, Republic Act No 8293, atau dikenal sebagai Kode Kekayaan Intelektual, diundangkan. Itu mengkodifikasi semua undang-undang yang mempengaruhi paten, merek dagang, hak cipta, dan lisensi kekayaan intelektual. Ia juga mendirikan Kantor Kekayaan Intelektual yang terdiri dari: (a) Biro Paten yang memiliki yurisdiksi atas pendaftaran, serta pencarian dan pemeriksaan permohonan paten dan desain, paten dan model utilitas; (b) Biro Merek Dagang yang memiliki yurisdiksi atas pendaftaran, pencarian dan pemeriksaan permohonan merek dagang dan merek jasa; (c) Biro Urusan Hukum yang dapat mengadili penentangan terhadap permohonan dan pengaduan atas pelanggaran hukum yang melibatkan hak kekayaan intelektual di mana kerugian total tidak kurang dari P200.000; ia juga memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pembatalan merek dagang, paten, model utilitas dan desain industri serta petisi untuk lisensi wajib paten; (d) Biro Dokumentasi, Informasi dan Transfer Teknologi yang menyediakan layanan teknis, penasehat dan layanan lainnya yang berkaitan dengan perizinan dan promosi teknologi dan melaksanakan program yang efektif untuk transfer teknologi dan mendaftarkan perjanjian transfer teknologi; (e) Biro Layanan Informasi Manajemen dan EDP yang melakukan perencanaan, penelitian dan pengembangan informasi, pengujian sistem dan menyediakan layanan informasi manajemen untuk IPO; dan (f) Biro Layanan Administrasi, Keuangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang terutama menerima semua permohonan dan karenanya memungut biaya dan menerbitkan permohonan dan hibah paten, permohonan merek dan pendaftaran merek, desain industri, model utilitas, indikasi geografis dan desain lay-out dari pendaftaran sirkuit terpadu. Istilah "hak kekayaan intelektual" terdiri dari: (a) hak cipta dan hak terkait; merek dagang dan merek layanan; (c) indikasi geografis; (d) desain industri; (e) paten; (f) desain tata letak (topografi) sirkuit terpadu; dan (g) perlindungan informasi yang dirahasiakan (n. TRIPS). Biro Layanan Keuangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang terutama menerima semua aplikasi dan karenanya memungut biaya dan menerbitkan aplikasi dan hibah paten, aplikasi merek dagang dan pendaftaran merek, desain industri, model utilitas, indikasi geografis dan desain tata letak pendaftaran sirkuit terpadu. Istilah "hak kekayaan intelektual" terdiri dari: (a) hak cipta dan hak terkait; merek dagang dan merek layanan; (c) indikasi geografis; (d) desain industri; (e) paten; (f) desain tata letak (topografi) sirkuit terpadu; dan (g) perlindungan informasi yang dirahasiakan (n. TRIPS). Biro Layanan Keuangan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang terutama menerima semua aplikasi dan karenanya memungut biaya dan menerbitkan aplikasi dan hibah paten, aplikasi merek dagang dan pendaftaran merek, desain industri, model utilitas, indikasi geografis dan desain tata letak pendaftaran sirkuit terpadu. Istilah "hak kekayaan intelektual" terdiri dari: (a) hak cipta dan hak terkait; merek dagang dan merek layanan; (c) indikasi geografis; (d) desain industri; (e) paten; (f) desain tata letak (topografi) sirkuit terpadu; dan (g) perlindungan informasi yang dirahasiakan (n. TRIPS). indikasi geografis dan desain tata letak pendaftaran sirkuit terpadu. Istilah "hak kekayaan intelektual" terdiri dari: (a) hak cipta dan hak terkait; merek dagang dan merek layanan; (c) indikasi geografis; (d) desain industri; (e) paten; (f) desain tata letak (topografi) sirkuit terpadu; dan (g) perlindungan informasi yang dirahasiakan (n. TRIPS). indikasi geografis dan desain tata letak pendaftaran sirkuit terpadu. Istilah "hak kekayaan intelektual" terdiri dari: (a) hak cipta dan hak terkait; merek dagang dan merek layanan; (c) indikasi geografis; (d) desain industri; (e) paten; (f) desain tata letak (topografi) sirkuit terpadu; dan (g) perlindungan informasi yang dirahasiakan (n. TRIPS). |
ENGLISH VERSION |
CHAPTER 1 - Historical Overview Introduction The Philippines, an archipelago of 7,107 islands (about 2,000 of which are inhabited), with a land area of 115,600 sq m, has a population of 76.5 m. Some 87 major dialects are spoken all over the islands. English and Filipino are the official languages with English as the language of instruction in higher education. According to the 2000 census, the functional literacy rate is 83.8%. Agriculture constitutes the largest single sector of the economy. The country has a total labour force of 64.5%. The Philippine legal system is aptly described as a blend of customary usage, and Roman (civil law) and Anglo-American (common law) systems. The civil law operates in areas such as family relations, property, succession, contract and criminal law while statutes and principles of common law origin are evident in such areas as constitutional law, procedure, corporation law, negotiable instruments, taxation, insurance, labour relations, banking and currency. In some Southern parts of the islands, Islamic law is observed. This particular legal system is the result of the immigration of Muslim Malays in the fourteenth century and the subsequent colonization of the islands by Spain and the United States. Historical Background Philippine legal history may be categorized according to the various periods in the political history of the country: the pre-Spanish period (pre 1521); the Spanish regime (1521-1898); the Philippine Republic of 1898; the American regime (1898-1935); the Commonwealth era (1935-1946); the Japanese occupation (1941-1944); the Period of the Republic (1946-1972); the Martial Law Period (1972-1986); and the continuation of the Republic. Pre-Spanish Period Historians have shown conclusively that the early Filipinos lived in numerous independent communities called barangays under various native rules which were largely customary and unwritten. Evidence points to the existence of two codes, namely, the Maragtas Code issued by Datu Sumakwel of Panay Island some time between 1200 and 1212 AD and the Penal Code of Kalantiao issued by a datu of that name in 1433. however, there are some historians who question the existence of these codes. These customary laws dealt with subjects such as family relations, inheritance, divorce, usury, partnerships, loans, property rights, barter and sale, and crime and punishment. The penal law distinguished between felonies and misdemeanors, recognized a distinction between principal and accomplice in matters of criminal liability, and had an idea of the existence of qualifying and mitigating circumstances, as well as recidivism as an aggravating circumstance. Like many ancient societies, trial by ordeal was practiced in the barangay. The Spanish Regime The arrival of Ferdinand Magellan in the Philippines on 16 March 1521 presaged a new era in the history of Philippine law. Spanish laws and codes were extended to the Philippines either expressly by royal decrees or by implication through the issuance of special laws for the islands. The most prominent of these laws and codes were the Fuero Juzgo, Fuero Real, Las Siete Partidas, Las Leyes de Toros, Nueva Recopilacion de Las Leyes de Indias, which contained all the laws then in force in the Spanish colonies and the Novisima Recopilacion, which comprised all the laws from the fifteenth century up to 1805. At the end of Spanish rule in the Philippines, the following codes and special laws were in force in the country: the Codigo Penal de 1870 which was extended to the islands in 1887; the Ley Provisional para la Aplicaciones de las Disposiciones del Codigo Penal en las Islas Filipinas in 1888; the Ley de Enjuiciamiento Criminal (Code of Criminal Procedure of 1872, which was extended in 1888); Ley de Enjuiciamiento Civil (Code of Civil Procedure of 1856); Codigo de Comercio (Code of Commerce of 1886); Codigo Civil de 1889 (except the portion relating to marriage); the Marriage Law of 1870; the Ley Hipotecaria (Mortgage Law of 1861, which was extended in 1889); the Ley de Minas (Mining Law of 1859); the Ley Notarial de 1862; the Railway Law of 1877; the Law of Foreigners for Ultramarine Provinces of 1870; and the Code of Military Justice. The Philippine Republic of 1898 By 1872, the Filipinos had revolted against Spain because of the abuses committed by the Spanish authorities and friars. The revolution spread so rapidly that on 12 June 1898, the independence of the Philippines was proclaimed by General Emilio Aguinaldo. A Revolutionary Congress was convened on 15 September 1898, and on 20 January 1899, the Malolos Constitution was approved. This Constitution proclaimed popular sovereignty and enumerated the fundamental civil and political rights of the individual. At the time of its proclamation, the Republic exercised, albeit briefly, de facto authority, although this came to an end upon the coming of the Americans. The American Era and the Commonwealth The end of the Spanish-American War, which was followed by the signing of the Treaty of Paris on 10 December 1898, paved the way for the cession of the Philippines to the United States. Upon the establishment of American sovereignty, the political laws of the Philippines were totally abrogated and Spanish laws, customs and rights of property inconsistent with the US Constitution and with American principles and institutions were superseded. The government operated under different organic laws, namely, President MacKinley's Instructions to the Second Philippine Commission on 07 April 1900; the Spooner Amendment of 1901; the Philippine Bill of 1902; the Jones Law of 1916 and the Tydings-MacDuffie Law of 1934. Pursuant to the Tydings- MacDuffie Law, a Commonwealth government was to be established for a transitional period of ten years before independence could be granted. Likewise, it granted to the Filipinos a right to formulate their own Constitution. In due course, a constitution was approved on 8 February 1935 which was signed by US President Franklin D Roosevelt on 23 March 1935 and ratified at a plebiscite held on 14 May 1935, voters went to the polls to elect the first set of executive and legislative officials led by President Manuel L. Quezon and Vice-President Sergio Osmeña. The Japanese Occupation On 08 December 1941, the Philippines was invaded by Japanese forces and was occupied until 1944. during the three-year military rule, a 1943 Constitution was drafted and ratified by a special national convention of the Kapisanan sa Paglilingkod ng Bagong Pilipinas (KALIBAPI), which led to the establishment of the short-lived Japanese-sponsored republic headed by President Jose P Laurel. During the Japanese occupation, the Commonwealth, then in exile, functioned in Washington DC from 13 May 1942 to 03 October 1944 until its re- establishment in Manila on 28 February 1945 by President Sergio Osmena. The Philippine Republic, 1946-1972 The inauguration of the Philippine Republic on 04 July 1946 marked the culmination of the Filipinos' 300 years of struggle for freedom. The 1935 Constitution served as the fundamental law with the executive power being vested in the President, the legislative power in the bicameral Congress of the Philippines and the judicial power in the Supreme Court and inferior courts established by law. In the beginning, efforts of the government were geared towards economic rehabilitation and the preservation of peace and order. Due to the widespread agitation for reforms in the legal and political arenas, Congress adopted Resolution of Both Houses (RBH) No 2, as amended by RBH No 4, calling for a Constitutional Convention to propose amendments to the Constitution on 16 March. The resolution was implemented by Republic Act No 6132 and approved on 24 August 1970. Pursuant to its provisions, the election of 320 delegates was held on 10 November 1970. The Constitutional Convention met on 01 June 1971 and it took its members 17 months to draft a new Constitution. While the Convention was in session, President Ferdinand E Marcos, acting in accordance with the provisions of the 1935 Constitution, placed the entire Philippines under Martial Law. On 29 November 1972, the Constitutional Convention completed its work. The draft of the new Constitution was submitted to the Filipino people through citizens' assemblies and was ratified on 17 January 1973. Proclamation No 1104 was issued on the same day declaring the continuation of martial law. The Martial Law Period The 1973 Constitution established a parliamentary form of government and introduced the merger of executive and legislative powers. The Chief Executive, the Prime Minister, was elected by a majority of all the members of the National Assembly from amongst themselves and could be dismissed by electing a successor Prime Minister. On the other hand, the Prime Minister had the power to advise the President to dissolve the National Assembly and call for a general election. The President was reduced to being a symbolic head of state. This parliamentary form of government was never implemented. The Transitory Provisions of the 1973 Constitution, which provided for a transitionfrom the old presidential form of government to a parliamentary system, specifically made the proclamation, decrees and acts of the incumbent President part of the law of the land and at the same time empowered the President to initially convene the interim National Assembly which was never effected. By amendments to the Constitution in October 1976, however, the powers of the incumbent President were maintained and augmented and an Interim Batasang Pambansa (interim legislature) was created, having the same powers as a regular legislative body. In Amendment No 3, the powers of the President and Prime Minister were merged in the then incumbent President (Ferdinand E Marcos), who immediately became a member of the Interim Batasang Pambansa. Because of these Amendments, he occupied the positions of President and Prime Minister, which arrangement was to last only during the transition period or until the members of the regular legislature 'shall have been elected'. Under Amendment No 6, the President was also empowered to continue to exercise legislative powers until martial law 'shall have been lifted'. If in his judgment, 'there exists a grave emergency or threat or imminence thereof, or whenever the Interim Batasang Pambansa or the regular National Assembly fails or is unable to act adequately on any matter for any reason that in his judgment requires immediate action, he may, in order to meet the exigency, issue the necessary decrees, orders or letters of instructions which shall form part of the law of the land'. Likewise, Amendment No 7 stipulated the continuance of the barangays (smallest political subdivision) and sanggunians (councils) and the use of referenda to ascertain the will of the people regarding important matters, whether of national or local interest. On 07 April 1978, 160 regional representatives apportioned among the 13 regions of the country were elected to the Interim Batasang Pambansa while 14 members representing the youth, agriculture, labour and industrial labour sectors were chosen on 27 April 1978. the Interim Batasang Pambansa convened on 12 June 1978 with a total membership of 192. The 1973 Constitution was subsequently amended in 1980 and 1981. The 1980 Amendments increased the retirement age of Supreme Court judges from 65 to 70 years. The 1981 Amendments introduced a modified form of presidential/parliamentary system. The President, who was the head of state and chief executive of the Republic, was directly elected by the people for a term of six years. There was a Prime Minister who was elected by a majority of the Batasang Pambansa upon nomination of the President. He was head of the Cabinet and had supervision of all ministries. Together with the Cabinet, he was responsible to the Batasang Pambansa for the programme of the government, approved by the President. The Batasan could withdraw its confidence from the Prime Minister and the latter could seek a popular vote of confidence on fundamental issues and request the President to dissolve the legislature. There was also an Executive Committee designated by the President, composed of the Prime Minister as Chairman and not more than 14 members, at least half of whom were members of the Batasang Pambansa. It was charged with assisting the President in the exercise of his powers and functions and in the performance of his duties. The other 1981 Amendments included the composition of the Batasang Pambansa; the qualification of its members; their term of office and the setting up of the first regular elections in 1984; electoral reforms on the accreditation of political parties and change of political party affiliation; and the provision that a natural-born citizen of the Philippines who had lost his Philippine citizenship could be a transferee of private land for residential purposes. According to one constitutionalist, although the 1973 Constitution classified governmental powers into the three areas of the executive, legislative, and judiciary, the separation of powers and its corollary rule of non-delegation of power were neither well-defined nor strictly observed. Martial Law was lifted on 17 January 1981, and military tribunals were abolished by Proclamation No 2045. A presidential election was held on 16 June 1981 and President Marcos was again re-elected. In his inaugural address on 30 June 1981, he proclaimed the birth of the Fourth Republic under the New Constitution, as amended. The assassination of former Senator Benigno S Aquino, on 21 August 1983, triggered mass demonstrations and an economic crisis which paved the way to another set of amendments to the 1973 Constitution.The 1984 Amendments consisted of the following:
On 14 May 1984, elections were held for the 183 elective seats in the 200 member Batasang Pambansa. The legislature convened on 23 July 1984. An impeachment resolution was filed by 57 members of the opposition against President Marcos but this was dismissed by the Batasan Committee on Justice for not being sufficient in form and substance to warrant further consideration. On 03 November 1985, President Marcos announced the calling of a special presidential election and for which the Batasang Pambansa set 7 February 1986 as the date of the so-called 'snap election'. Corazon C Aquino and Salvador H Laurel as presidential and vice-presidential candidates were pitted against President Marcos and Arturo M Tolentino. The election on 7 February emerged as the most anomalous poll ever held in the country with widespread incidents of stuffed ballots, election returns snatchings, harassments, mauling, and vote-buying with 10% of Metropolitan Manila voters being disenfranchised. Despite an awakened and vigilant citizenry working through the NAMFREL (National Movement for Free Elections), whose count gave Aquino a wide lead of one million, the Batasang Pambansa declared Marcos and Tolentino to be the winners. Subsequent events led to an Armed Forces mutiny and the four-day 'people-power revolution', which resulted in the ousting of President Marcos from the Philippines on 25 February 1986. The Continuation of the Republic When Corazon C Aquino took her oath of office as President on 25 February 1986, Proclamation No 1 was issued wherein she declared that she and her Vice-President were 'taking power in the name and by the will of the Filipino people' on the basis of the clear sovereign will of the people expressed in the election of 07 February 1986. The new government came into power not in accordance with the procedure outlined in the 1973 Constitution but as explicitly stated in the preamble to Proclamation No 3 which stated that 'the new government was installed through a direct exercise of the power of the Filipino people assisted by units of the New Armed Forces of the Philippines' and that this 'heroic action of the people was done in defiance of the provisions of the 1973 Constitution, as amended'. The Provisional Constitution, otherwise known as the Freedom Constitution, adopted in toto the provisions of Article I (National Territory), Article III (Citizenship), Article IV (Bill of Rights), Article V (Duties and Obligations of Citizens), and Article VI (Suffrage) of the 1973 Constitution, as amended. Other provisions, such as Article II (Declaration of Principles and State Policies), Article VII (The President), Article X (The Judiciary), Article XI (Local Governments), Article XII (The Constitutional Commission), Article XIII (Accountability of Public Officers), Article XIV (The National Economy and Patrimony of the Nation), and Article XV (General Provisions) were adopted insofar as they were not inconsistent with the provisions of the Proclamation, while Articles VIII, IX, XVI and XVII were deemed to be superseded. Under the Provisional Commission, all existing laws, decrees, executive orders, proclamations, letters of instructions and other executive issuances, not inconsistent with this Proclamation, were to remain operative until amended, modified or repealed by the President or the regular legislative body to be established under a new Constitution. The President continued to exercise legislative power. Pursuant to Article V of the Provisional Constitution, the Constitutional Commission was constituted under Proclamation No 9 composed of 48 members with the task of drafting a Constitution in 'as short a period as may be consistent with the need to hasten the return of normal constitutional government'. After 133 days of work by a vote of 45 to 2, the proposed new Constitution, consisting of a preamble, 18 articles and 321 sections, was submitted to the President on 15 October 1986. it was ratified by the people in a plebiscite held on 02 February 1987. By its very nature, the Provisional Constitution as well as the revolutionary government which operated it, self- destructed upon the ratification and effectivity of the New Constitution since the incumbent President and Vice-President elected in the 07 February 1986 electoral exercise were provided a six-year term of office until 30 June 1992 under the Transitory Provisions. The Congressional elections were scheduled to be held on 11 May 1987.3 The incumbent President continued to exercise legislative powers until the first Congress was set to be convened. Despite several coups, President Aquino completed her term under the 1987 Constitution. Elections were held on 11 May 1992 and Fidel V Ramos was elected President. He was succeeded by Joseph Ejercito Estrada after the 11 may 1998 elections. In view of the expose of Governor Luis Singson, the Senate opened the impeachment trial of President Estrada on 20 November 2000. as a result of the 11-10 vote by the Senator-judges against the opening of the second envelope which contained evidence, there was spontaneous outburst of anger that hit the streets wherein public prosecutors withdrew their appearances followed by other public officers from the Cabinet. These actions and 'people power' held to his resignation. President Gloria M Arroyo took her oath as President on 20 January 2001 and was reelected on 11 May 2004. CHAPTER 2 - SOURCES OF LAW The main sources of Philippine law are the Constitution, statutes, treaties and conventions, and judicial decisions. The Constitution is the fundamental law of the land and as such, it is authority of the highest order against which no other authority can prevail. Every official action, to be valid, must conform to it. On the other hand, statutes are intended to supply the details which the Constitution, because of its nature, must leave unprovided for. The statutes of the Philippines are numerous and varied in their contents. They are intended to provide rules and regulations which will govern the conduct of people in the face of ever- changing conditions. Having the same force of authority as legislative enactments are the treaties which the Philippines enters into with other states. A treaty has been defined as a compact made between two or more independent nations with a view to the public welfare. As a member of the family of nations, the Philippines is a signatory to and has concluded numerous treaties and conventions. Philippine law is also derived from cases because the Civil Code provides that 'judicial decisions applying to or interpreting the laws or the Constitution shall form a part of the legal system of the Philippines'. Only decisions of its Supreme Court establish jurisprudence and are binding on all other courts. Thus, these decisions assume the same authority as the statutes to which they apply or interpret and until authoritatively abandoned, necessarily become, to the extent that they are applicable, the criteria which must control the actuations not only of those called upon to abide thereby but also of those duty-bound to enforce obedience thereto. To a certain extent, customary law forms part of the Filipino legal heritage because the 1987 Constitution provides that 'the State shall recognise, respect, and protect the rights of indigenous cultural communities to preserve and develop their cultures, traditions and institutions'. This was true even as early as 1899 because the old Civil Code provided that 'where no statute is exactly applicable to the point in controversy, the custom of the place shall be applied, and in the absence thereof, the general principles of law'. Although this provision was discarded in the new Civil Code which took effect in 1950. It is believed that the judge may still apply the custom of the place or, in its default, the general principles of law in the absence of any statute governing the point in controversy; otherwise the provision of the same Code which requires him to decide every case even where there is no applicable statute would prove to be a veritable enigma. The Civil Code also provides that 'customs which are contrary to law, public order or public policy shall not be countenanced', and 'a custom must be proved as a fact according to the rules of evidence'. Thus, Philippine law takes cognizance of customs which may be considered as supplementary sources of the law. Philippine Statutes The statutes of the Philippines are found in the various enactments of the Philippine legislature since its creation in 1900. from the establishment of the American civil government in 1900 to 1935, there were 4,275 laws passed by the Philippine Commission and its bicameral successor, the Philippine Legislature. The Commonwealth period witnessed the enactment of 733 statutes while 6,635 Republic Acts were legislated from 04 July 1946 to 21 September 1972. during the martial law period, a total of 2,035 Presidential Decrees were promulgated as of 20 February 1986. A total of 302 Executive Orders have been issued by President Corazon C Aquino. Congress convened on 27 July 1987 and has enacted 9,338 Republic Acts to date. Thus, there has been a total of 17,574 statutes since 1900. There are 29 codes in force today: (1) Civil Code; (2) Revised Penal Code; (3) Code of Commerce (1888); (4) Administrative Code; (5) National Internal Revenue Code; (6) Election Code; (7) Tariff and Customs Code; (8) Code of Agrarian Reforms; (9) Land Transportation and Traffic Code; (10) National Building Code; (11) Revised Forestry Code; (12) Cooperative Code; (13) Labour Code; (14) National Code of Marketing Breastmilk Substitutes; (15) Insurance Code; (16) Child and Youth Welfare Code; (17) Sanitation Code; (18) Water Code; (19) Philippine Environment Code; (20) Muslim Code of Personal Laws; (21) Fire Code; (22) Coconut Industry Code; (23) Corporation Code; (24) Omnibus Investments Code of 1987; (25) State Auditing Code; (26) Local Government Code; (27) the Family Code; (28) Philippine Fisheries Code of 1998; (29) Intellectual Property Code; and (30) the Securities Regulation Code. The following is a summary of some of the basic codes. The Code of Commerce The Code of Commerce became effective on 01 December 1888. largely taken from the Spanish Code of Commerce of 1885, with some modifications to suit local conditions, it has been so modified by several extensive amendments by special commercial laws such as the Corporation Code, Insolvency Law, Chattel Mortgage Law, Negotiable Instruments Act, Warehouse Receipts Act, Revised Securities Act, Trademark Law, Central Bank Act, General Banking Law, and the Omnibus Investments Code, that only a bare outline of the original code remains. Its unrepealed portions define the qualifications of merchants and acts of commerce in general, letters of credit, joint accounts, mercantile registry and bookkeeping. The Corporation Code The main forms of business organizations in the Philippines are sole proprietorships, partnerships, and corporations. The Securities and Exchange Commission (SEC) administers the corporation law and registers corporations, branch offices and partnerships. For sole proprietorships, the prerequisites include registering the business name with the Bureau of Domestic Trade and obtaining a permit from the city, municipality or province where the business is to be located and the payment of a registration fee and a privilege tax. For the registration of a corporation, the major SEC requirements are:
A corporation may exist for a period not exceeding 50 years, unless sooner dissolved or extended and not exceeding 50 years in any single instance. Management of a corporation is vested in a board of directors. The majority of the directors of all corporations organized under the Corporation Code must be residents of the Philippines. At all elections of directors, the owners of majority of outstanding capital stock, or if there be no capital stock, the majority of members entitled to vote must be present. Cumulative voting is provided for. Every director must own at least one share to qualify as director. No person convicted by a final judgment of an offence punishable by imprisonment for a period not exceeding six years, or a violation of the Corporation Code, committed within five years prior to date of election, qualifies as a director or officer of a corporation. Officers which corporations must elect at organization meetings are the president, treasurer and secretary. Only the president is required to be a director of the corporation. Any two or more positions may be held concurrently by the same person, except that no one shall act as president and secretary or president and treasurer at the same time. Every corporation incorporated under the Corporation Code has the power and capacity:
One or more stockholders of a stock corporation may create a voting trust for the purpose of conferring upon a trustee or trustees the right to vote and other rights pertaining to shares for a period not exceeding five years at any one time, provided that in case of a voting trust required as condition in loan agreement, the voting trust may be for a period not exceeding five years but shall automatically expire upon full payment of the loan. No voting trust shall be entered into for the purpose of circumventing the law against monopolies and illegal combinations in restraint of trade or used for purposes of fraud. Boards of directors of stock corporations may declare dividends out of unrestricted retained earnings which shall be payable in cash, property or stock to all stockholders on the basis of outstanding stock held by them. Stock corporations are prohibited from retaining surplus profits in excess of 100% of their paid in capital stock, except:
Non-stock corporations are those where no part of its income is distributable as dividends to its members, trustees, or officers. Any profit which non-stock corporations may obtain shall be used for the furtherance of the purpose or purposes for which the corporation was organized. Provisions governing stock corporations, when pertinent, are applicable to non-stock corporations. Non- stock corporations may be formed for charitable, religious, educational, professional, cultural, fraternal, literary, scientific, social, civil service, or similar purposes, like trade, industry, agriculture, or any combination thereof. The right of members to vote may be limited, broadened or denied to the extent specified in the articles of incorporation or by-laws. Membership in a non- stock corporation, and all rights arising therefrom, is non-transferable. Termination of membership extinguishes all rights of the member in corporation or in its property. Under Philippine law, a foreign corporation is one which is incorporated according to the law of a country other than the Philippines whose laws allow Filipino citizens and corporations to do business in its own country, It must be duly licensed by the SEC in order to do business in the Philippines or to maintain any suit in its courts. However, there have been instances where a foreign corporation which has never done any business in the Philippines and which is unlicensed and unregistered to do business here has, nevertheless, been allowed to sue in the Philippine courts. This has been allowed where the corporation is widely and favourably known in the Philippines through the use of its products bearing its corporate and trade name. they have been allowed to maintain an action to restrain residents and inhabitants of the Philippines from organizing a corporation bearing the same name as the foreign corporation, when it appeared that they had personal knowledge of the existence of such a foreign corporation, and it was apparent that the purpose of the proposed corporation was to deal and trade in the same goods as those of the foreign corporation. Civil Law The Civil Code was drafted by a Code Commission and came into effect on 01 July 1950, replacing the Spanish Civil Code of 1889. it is divided into four books - Persons, Property, Different Modes of Acquiring Ownership, and Obligations and Contracts. Containing 2,270 articles as compared with 1,976 articles of the old Code, approximately 25% are preserved entirely from the old Code while 32% are amended articles and 43% are entirely new provisions. It includes new rules aimed at incorporating Filipino customs and new rights and causes of action such as civil actions for obstruction of civil liberty, moral and nominal damages. Some of the important changes made by the Civil Code were the elimination of absolute divorce and the dowry; the creation of judicial or extrajudicial family homes; a chapter on Human Rights; the provisions on the quieting of title and the creation of new easements; the holographic will has been revived; the successional rights of the surviving spouse and of illegitimate children have been increased; defective contracts have been reclassified while new quasi-contracts have been created; a new chapter on reformation of contracts; and some implied trusts have been created. The Family Code of the Philippines came into effect on 03 August 1988. It amended the Civil Code provisions on marriage and the family. Some of the more important changes introduced in the said Code were the grounds for annulment of marriage which now includes 'psychological incapacity to comply with the essential marital obligations....' It also allows Filipinos, married to foreigners who later obtain a divorce abroad, to remarry under Philippine Law. The Family Code has also changed the property relations between the spouses from that of a conjugal partnership of gains to an absolute community of property in the absence of stipulation in the marriage settlements. The classification of children has been also simplified into legitimate and illegitimate and adopted. The Child and Youth Welfare Code which took effect on 10 June 1975 amended certain portions of the Civil Code. It is applied to persons below 21 years of age, except those emancipated in accordance with law. Some of its important features include the rights and responsibilities of the child; parental authority; adoption; the rights, duties and liabilities of parents; foster care; youth welfare; the special categories of children; and the treatment given to the youthful offender. Republic Act No 7610 (1992), otherwise known as the Special Protection of Children Against Child Abuse, Exploitation and Discrimination Act implements the United Nations Convention on the Rights of the Child, which was ratified by the Philippines in July 1990. The Code of Muslim Personal Laws of the Philippines promulgated on 04 February 1977, illustrates the government's concern for the customs, traditions, beliefs and interests of the national cultural communities. Recognizing the legal system of the Filipino Muslims and seeking to make Islamic institutions more effective, this code deals with marriage (nikah), divorce (talaq), paternity and filiation, support (nafaqa), parental authority, civil registry, succession and the shari'a courts; jurisdiction for the adjudication, settlement and delivery of legal opinions. Labour Code The Labour Code revises and consolidates labour and social laws to afford protection to workers, promote employment and human resources development and ensure industrial peace based on social justice. It is divided into seven books. Book I is entitled 'Pre-Employment' and deals with recruitment and placement of workers and the employment of non-resident aliens. Book II is entitled 'Human Resources Development' and deals with the national manpower development programme, apprenticeship, leaners and handicapped workers. Book III is entitled 'Conditions of Employment' and deals with hours of work, weekly rest periods and wages, as well as provisions for the employment of women, minors househelpers and homeworkers. The normal hours of work of any employee shall not exceed eight hours a day with 60 minutes time off for their regular meals. Work performed beyond the eight hours merits additional compensation equivalent to his regular wage plus at least 25% thereof. Employees enjoy a rest period of not less than 24 consecutive hours after every six consecutive work days. Although the employer determines the weekly rest day, he is required to respect the preference of employees as to their weekly rest day when such preference is based on religious grounds. Usually, work performed on a rest day, such as a Sunday or holiday, shall be paid an additional compensation of at least 30% of his regular wage. However, where the collective bargaining agreement or other applicable employment contract stipulates the payment of a higher premium, then the employer shall pay such a higher rate. Every worker shall be paid his regular daily wage during regular holidays, except in retail and service establishments regularly employing less than ten workers. The employer may require an employee to work on any holiday but such employees shall be paid a compensation equivalent to twice their regular rate. Holidays include New year's Day, Maundy Thursday, Good Friday, 09 April, 01 May, 12 June, 04 July, 30 November, and 25 and 30 December. Every employee who has rendered at least one year of service is entitled to a yearly service incentive leave of five days leave with pay. The minimum wage rates for agricultural and non-agricultural employees and workers in each and every region of the country are those prescribed by the Regional Tripartite Wages and Productivity Board according to relevant factors. Book IV is entitled 'Health, Safety and Social Welfare Benefits' and deals with medical, dental and occupational safety, employees' compensation and the State Insurance Fund, Medicare and adult education. The Social Security Act provides for retirement, death, disability and sickness benefits. Coverage is compulsory for all employees from the date of their employment and for employers from their first day of operation. Also covered are all self-employed persons earning P1,800 or more per annum. Its applicability to certain groups of self-employed is determined by the Social Security Commission under such rules and regulations as it may prescribe. Philippine citizens recruited by foreign-based employers for employment abroad may be covered by the Social Security System (SSS) on a voluntary basis. On the other hand, the government employees are covered by the Government Service Insurance System (GSIS). The National Health Insurance Program covers all Filipinos. Book V is entitled 'Labour Relations' and covers the National Labour Relations Commission, the Bureau of Labour Relations, Labour organizations, unfair labour practices, collective bargaining and the administration of agreements, strikes and lockouts, foreign involvement in trade union activities and special provisions. The National Labour Relations Commission was established in the Department of Labour and Employment, is composed of a chairman and five members representing employers, four members representing the public, and five members representing employees. The Commission exercises appellate jurisdiction over all cases decided by labour arbiters. The labour arbiters exercise exclusive jurisdiction to hear and decide within 30 calendar days of submission for decision, without extension, the following matters:
Cases arising from the interpretation or implementation of the collective bargaining agreement (CBA) and those arising from the interpretation or enforcement of company personnel policies shall be disposed of by the labour arbiter by referring them to the grievance machinery and voluntary arbitration, as may be provided for in agreements. All persons employed in commercial, industrial and agricultural enterprises, including religious, charitable, medical, or educational institutions, whether operating for profit or not, have the right to self-organisation and to form, join, or assist in labour organizations of their choosing for the purpose of collective bargaining. Exempted from joining are managerial employees, government employees from agencies established by law, and members of co-operatives. Parties to a CBA will include in the agreement, provisions that will ensure the mutual observance of its term and conditions. The CBA should contain the machinery for the adjustment and resolution of grievances arising from the interpretation or implementation of their CBA and those arising from the interpretation or enforcement of company personnel policies. If grievances are not settled within seven calendar days of submission, they are automatically referred to voluntary arbitration as prescribed in the CBA. The voluntary arbitration or panel of voluntary arbiters have exclusive jurisdiction to hear and decide all unresolved grievances arising from the interpretation or implementation of the CBA or company personnel policies. Violations of a CBA, except those which are gross in character, shall no longer be treated as unfair labour practice but are resolved as grievances under the CBA. The award or decision of the voluntary arbitrator is final and executory after ten calendar days from receipt of the copy of the award or decision by the parties. Appeals can be made to the Court of Appeals and only to the Supreme Court by certiorari on questions of law. Book VI is entitled 'Post-Employment' and deals with security of tenure, regular, casual and probationary employment, termination by employer or employee, closure of establishments and reduction of personnel, and retirement from service. Book VII contains the Transitory and Final Provisions' which includes panel provisions as well as prescription of offences and claims. CHAPTER 3 - Government and the State The New Charter is described as 'pro-life, pro-people, pro-poor, pro-Filipino and anti-dictatorship'. It is 'pro-life' because it bans nuclear weapons, protects the unborn from the moment of conception, abolishes the death penalty except in extreme cases when the Congress may reimpose it, and protects the family as a basic autonomous social institution. It is considered 'pro-people' because it includes policies to promote people's welfare, i.e. a just and humane social order, adequate social services, protection for the right to health and to a balanced and healthy ecology and gives priority to education; it allows greater participation by the people in government through the free and open party system, sectoral representation, people's organizations, and the institution of the processes of initiative and referendum in law-making and constitutional amendment. It is 'pro- poor' because there are socio-economic policies that alleviate the plight of the under-privileged, and promote social justice. It is pro-Filipino because there are provisions for Filipino control of the economy, educational institutions, mass-media and advertising and public utilities; reservation of certain areas of investments for Filipinos if it is in the national interest, and in the practice of all professions; a Filipino national language and the preservation of a Filipino national culture. It is 'anti-dictatorship' because it puts limitations on the powers of the President and strengthens the powers of the Congress and the Judiciary, thus, preventing the consolidation of powers in any one person or branch of government. Although it is basically patterned after the 1973 Constitution, the 1987 Constitution consists of 100 new sections which primarily deal with social justice, the national economy, family rights, education and human resources, the Commission on Human Rights and the autonomous regions. However, the same basic principles underlying the previous constitutions are still found in the new Constitution, among which are:
Structure of the Government The government of the Philippines is republican in form and under a presidential system as distinguished from the parliamentary system under the 1973 Constitution. It is a unitary, centralized government with the principle of separation of powers as a basic feature. This means that there is a division of the functions of government into three distinct classes: the executive, the legislative, and the judicial departments; and in the exercise of the functions allotted to each department under the Constitution, each department is supreme, coordinate and coequal with the others. Any acts of one in usurpation of the others or, in excess of the powers granted to it by the Constitution, are invalid. While the three are independent of one another, they form an interdependent unit as far as may be necessary to carry out the work of the government. There is also the system of checks and balances wherein the Constitution gives each department certain powers by which it may definitely restrain the others from exceeding their authority. The Executive The 1987 Constitution vests the executive power in a President who has control of all the executive departments, bureaus and offices; exercises general supervision over local governments; and ensures that the laws are faithfully executed. It vests the President with powers of Commander-in-Chief of all the armed forces of the Philippines and empowers this office, under certain circumstances and conditions, to suspend the privilege of the writ of habeas corpus or place the Philippines under martial law for a limited period. A state of martial law does not suspend the operation of the Constitution, nor supplant the functioning of the civil courts or legislative assemblies, nor authorize the conferment of jurisdiction on military courts and agencies over civilians where civil courts are able to function, nor automatically suspend the privilege of the writ. Likewise, the suspension of the privilege of the writ applies only to persons judicially charged for rebellion or offences inherent in or directly connected with an invasion. The other powers of the President include: the authority to nominate and appoint, with the consent of the Commission on Appointments, the heads of the executive departments, ambassadors, other public ministers and consuls, or officers of the armed forces from the rank of colonel or naval captain, and other officers whose appointments are vested in the Presidency under the Constitution and by law; the authority to contract or guarantee foreign loans on behalf of the Republic but only with the prior concurrence of the Monetary Board and subject to such limitations as may be provided by law; to grant reprieves, commutations and pardons, and remit fines and forfeitures after conviction by final judgment, except in cases of impeachment; and to grant amnesty with the concurrence of the majority of all the Members of the Congress. The President also participates in the legislative process because a bill passed by the Congress does not become a law unless he approves it. If he vetoes the bill, it could still become a law if two-thirds of all the Members of each House reconsider and approve such bill. Both the President and Vice-President are elected by direct vote of the people for a term of six years. The President is not eligible for any re-election whereas the Vice-President can serve for not more than two successive terms. In case of death, permanent disability, removal from office, or resignation of the President during his term, the Vice-President becomes President and serves the unexpired term. Where there is no President or Vice-President, the President of the Senate, or in case of his inability, the Speaker of the House of Representatives shall then act as President until the President or Vice-President shall have been elected and qualified. The Legislature The legislative power is vested in the Congress of the Philippines, a bicameral body composed of the Senate and House of Representatives, except o the extent reserved to the people by the provision on initiative and referendum. The Senate is composed of 24 Senators who are elected at large for a term of six years and for not more than two consecutive terms. The House of Representatives is composed of at most 250 members, 20% of whom are elected through the party-list system and from the sectors for the first three terms while the rest are elected by legislative district. The members of the House of Representatives are elected for a term of three years but must not serve for more than three consecutive terms. Upon assumption of office, all members of Congress must make a full disclosure of their financial or business interests. They must notify the House of any potential conflict of interest which may arise from the filing of proposed legislation of which they are authors. Other prohibitions are:
Congressional representatives enjoy parliamentary immunity for all offences punishable by not more than six years' imprisonment when Congress is in session. The Congress convenes once every year on the fourth Monday of July for its regular session, unless a different date is fixed by law, and continues to be in session for such number of days as it may determine until 30 days before the opening of its next regular session. A majority of each House constitutes a quorum to do business but a smaller number may adjourn from day to day and may compel the attendance of absent members in such manner and under such penalties as the House may provide. Either House may adjourn for not more than three days but it cannot adjourn for a longer period or to some other place than that in which the two Houses are sitting. Each House, by a majority vote of all its respective members, elects the Senate President and the Speaker and other officers who hold their office at the pleasure of their respective members. Each House determines its rules of procedure, punishes its members for disorderly behaviour, and with the concurrence of two-thirds of all its members, may suspend a member for a period not exceeding 60 days or expel him. Each House has an Electoral Tribunal composed of nine members, three of whom shall be Justices of the Supreme Court, to be designated by the Chief Justice, with the Senior Justice as the Chairman and the remaining Justices as members of the Senate or House, as the case may be, who are chosen on the basis of proportional representation from the political parties or organizations registered under the party-list system represented therein. The Party-List System Act establishes a mechanism of proportional representation in the election of representatives to the House from national, regional, or sectoral parties or organizations or coalitions registered with the Commission on Elections. The party-list representatives shall constitute twenty per centum (20%) of the total member of the members of the House of Representatives including those under the party-list. In determining the allocation of seats for the second vote, the parties shall be ranked from the highest to the lowest based on the number of votes they garnered during the elections. The parties, organizations and coalitions receiving at least two percent (2%) of the votes shall be entitled to one seat each and if they garnered more than two percent, they shall be entitled to additional seats in the proportion to their total number of votes but not more than three seats. The Constitution has revived the Commission on Appointments, which was constituted under the 1935 Constitution, to consider the nominations made by the President to the more important positions in the government. The Commission comprises the President of the Senate as ex officio Chairman, 12 Senators and 12 Members of the House of Representatives, elected by each House on the basis of proportional representation from the political parties registered under the party-list system. Nominations submitted to it should be acted upon within 30 session-days from their submission. Although the legislative power of the Congress is wide in its scope, it is not unlimited. Such limitations may either be substantive or formal, implied or express. The Bill of Rights contains express, specific limitations while specific, substantive limitations are found in certain provisions: the sole power to declare the existence of a state of war for which the concurrence of two-thirds majority in joint session voting separately must be obtained; the rule of taxation shall be a uniform and equitable but progressive system; public money or property must not be appropriated for religious purposes; no law granting a title of royalty or nobility shall be enacted; no law can increase the appellate jurisdiction of the Supreme Court, as provided in the Constitution, without its advice and consent; no law shall be passed authorizing any transfer of appropriations except as provided for in the Constitution; and that charitable institutions, churches and personages or convents, non-profit cemeteries and all lands, buildings and improvements, actually, directly, and exclusively used for religious, charitable, or educational purposes shall be exempt from taxation. Of course, there are implied substantive limitations inherent in the nature and character of the government, such as the prohibition against the passage of irrepealable laws and the prohibition against the delegation of legislative authority. Formal limitations refer to the procedural requirements in the enactment of legislation and the form and content therein. Every bill passed by the Congress shall embrace only one subject, which has to be expressed in its title. No bill passed by either House becomes a law unless it has passed three readings on separate days, and printed copies of it in its final form have been distributed to Members three days before its passage, except when the President certifies to the necessity of its immediate enactment to meet a public calamity or emergency. Upon the last reading of a bill, no amendment is allowed and the vote is taken immediately thereafter and the yeas and nays entered in the journal. Every bill passed by Congress has to be presented to the President for approval. If he approves it, he signs the bill and it becomes a law. If he vetoes it, he has to return the bill to the House where it originated, together with his objections. The bill undergoes the same procedure but has to obtain an approval of two-thirds of all the Members in each House in order to become law. For appropriation, revenue or tariff bills, the presidential veto of any particular item or items does not affect any item or items to which he does not object. It should be noted that pursuant to article 2 of the Civil Code, 'laws shall take effect after fifteen days following the completion of their publication in the Official Gazette unless it is otherwise provided'. According to the Supreme Court, the clause 'unless it is otherwise provided' refers to the date of effectivity and not to the requirement of publication itself, which cannot in any event be omitted. The clause does not mean that the legislature may make the law effective immediately upon approval, or any other date, without its previous publication. Publication is indispensable in every case, but the legislature may, in its discretion, provide that the usual 15-day period shall be shortened or extended. This provision has been subsequently amended by section 18 of Executive Order No 200, dated 18 June 1987 and adopted in Executive Order No 292 which promulgated the Administrative Code of 1987 to include publication in a 'newspaper of general circulation'. Other specific formal areas of limitations include: all appropriations, revenue or tariff bills, bills authorizing an increase of the public debt, bills of local application and private bills which must originate exclusively in the House of Representatives; the Congress may not increase the appropriations recommended by the President for the operation of the government as specified in the budget; no provision or enactment shall be embraced in the general appropriations bill unless it relates specifically to some particular specified appropriations; the procedure in approving appropriations for the Congress shall strictly follow the procedure for approving appropriations for other departments and agencies; and a special appropriation bill shall specify the purpose for which it is intended and shall be supported by funds actually available as certified by the National Treasurer, or to be raised by a corresponding revenue proposal. The Judiciary The judicial system of the Philippines consists of a hierarchy of courts with the Supreme Court at the apex. Under the Judicial Reorganisation Act, the other courts are: (a) one Court of Appeals (CA) (b) Regional Trial Courts (RTCs) divided into 13 judicial regions, composing a total of 950 branches; and (c) 82 Metropolitan Trial Courts (MeTTCs), 124 Municipal Trial Courts in Cities (MTCCs) and 438 Municipal Trial Courts (MTCs) and 480 Municipal Circuit Trial Courts (MCTCs). For Muslims, there are 51 shari'a circuit and five shari'a district courts. Aside from these tribunals, there are special courts, namely, the Family Courts, the Court of Appeals and the Sandiganbayan. The Supreme Court The Supreme Court is composed of a Chief Justice and 14 Associate Justices who sit or at its discretion, in divisions of three, five or seven members. Cases that are heard and decided by the Supreme Court en banc are those involving the constitutionality of a treaty, executive agreement or law; and such cases as required under the Rules of Court, including those involving the constitutionality, application, or operation of presidential decrees, proclamations, orders, instructions, ordinances, and other regulations. These cases are decided with the concurrence of a majority of the members who actually take part in the deliberations on the issues of the case and vote thereon. Cases or matters heard by a division are decided with the concurrence of a majority of the members who actually took part in the deliberations on the issues of the case and voted thereon, and in no case, without the concurrence of at least three of such Members. When the required number is not obtained, the cases are decided en banc. No doctrine or principle of law laid down by the Court in a decision rendered en banc or in division may be modified or reversed except by the Court sitting en banc. Under the Constitution, the Supreme Court exercises original jurisdiction over cases affecting ambassadors, other public ministers and consuls, and over petitions for certiorari, prohibition, mandamus, quo warranto, and habeas corpus. The Supreme Court has the power to review and revise, reverse, modify or affirm on appeal, as the law or the Rules of Court may provide, final judgments and decrees of inferior courts in:
Any decision, order or ruling of the Civil Service Commission, Commission on Elections or the Commission on Audit may be brought to the Supreme Court on certiorari by the aggrieved party within 30 days from a receipt of a copy thereof. Under special laws, the Supreme Court is vested with exclusive jurisdiction to review decisions of the Land Transportation Franchising and Regulatory Board and the National Telecommunications Commission, whose functions were formerly exercised by the Public Service Commission, the National Electrification Administration and the Securities and Exchange Commission. The Supreme Court, sitting en banc, is the sole judge of all contests relating to the election, returns, and qualifications of the President or Vice-President, and may promulgate its rules for this purpose. The Supreme Court also has the power to promulgate rules concerning the protection and enforcement of constitutional rights, pleadings, practice and procedure in all courts, admission to the practice of law, the Integrated Bar, and legal assistance for the underprivileged. Such rules shall provide a simplified and inexpensive procedure for the speedy disposition of cases, shall be uniform for all courts of the same grade, and shall not diminish, increase, or modify substantive rights. It may order a change of venue or place of trial to avoid a miscarriage of justice. It may temporarily assign judges of lower courts to other stations as the public interest may require, but such temporary assignment shall not exceed six months without the consent of the judge concerned. The Supreme Court exercises administrative supervision over all courts and its personnel. En banc, it has the power to discipline judges of the lower courts, or order their dismissal by a vote of a majority of the Members who actually took part in the deliberations on the issues in the case and voted on them. The Court of Appeals The Court of Appeals consists of a Presiding Justice and 68 Associate Justices. It exercises its powers, functions and duties through 23 divisions, each division being composed of three members. The Court may sit en banc only for the purpose of exercising its administrative, ceremonial or other non-adjudicatory functions. The Court of Appeals has permanent stations in the City of Manila (17 divisions), Cebu City (3 divisions), and Cagayan de Oro City (4 divisions). Whenever demanded by public interest or whenever justified by an increase in case load, the Supreme Court may authorize any division of the Court to hold sessions periodically, or for such periods and at such places that the Supreme Court may determine for the purpose of hearing and deciding cases. Trials or hearings in the Court of Appeals must be continuous and must be completed within three months unless extended by the Chief Justice of the Supreme Court. A majority of the actual members of the Court constitutes a quorum for its session en banc. Three members constitute a quorum for the sessions of a division. The unanimous vote of three members of a division is necessary for the pronouncement of a decision or final resolution, which shall be reached by consultation, before the writing of the opinion by any member of the division. In the event that the three members do not reach a unanimous vote, the President Justice requests the raffle committee of the Court for the designation of additional justices to sit temporarily with them, forming a special division of five members. The concurrence of a majority of such a division is necessary for the pronouncement of a decision or final resolution. The Court of Appeals exercises;
Whenever demanded by public interest, or whenever justified by an increase in case load, the Supreme Court, upon its own initiative or upon recommendation of the Presiding Justice of the Court of Appeals, may authorize any division of the court to hold periodically for such periods at such places as the Supreme Court may determine for the purpose of hearing and deciding cases. The Court of Appeals has the power to receive evidence and perform any and all acts necessary to resolve factual issues raised in cases falling within its original jurisdiction, such as actins for the annulment of a judgment of a regional trial court and cases falling within its appellate jurisdiction wherein a motion for a new trial is based only on the ground of newly discovered evidence. Regional Trial Courts The Philippines is divided into 13 judicial regions with one Regional Trial Court for each region. Each Regional Trial Court has several branches. Regional Trial Courts exercise exclusive original jurisdiction:
Pursuant to Section 5 of the Securities Regulation Code, the RTC has jurisdiction over all cases involving the following controversies formerly under the exclusive jurisdiction of the Securities and Exchange Commission under Presidential Decree No. 902-A, namely:
In criminal cases, the Regional Trial Court has exclusive original jurisdiction over the following:
The Regional Trial Court also exercises original jurisdiction in the issuance of writs of certiorari, prohibition, mandamus, quo warranto, habeas corpus and injunctions which may be enforced in any part of their respective regions and in actions affecting ambassadors and other public ministers and consuls. It has appellate jurisdiction over all cases decided by the Metropolitan Trial Courts (MeTTCs), Municipal Trial Courts (MTCs), and Municipal Circuit Trial Courts (MCTCs). However, decisions, final orders and resolutions of the MTCs in the exercise of delegated jurisdiction should be appealed directly to the Court of Appeals as in appeals from Regional Trial Courts to the Court of Appeals. Metropolitan and Municipal Trial Courts There is a Metropolitan Trial Court in each metropolitan area established by law, a municipal trial court in each of the other cities or municipalities and a municipal circuit trial court in each circuit comprising such cities and/or municipalities as are grouped together pursuant to law. These courts exercise exclusive original jurisdiction over all violations of city or municipal ordinances committed within their respective territorial jurisdictions and have exclusive original jurisdiction over all offences punishable with imprisonment not exceeding six years, irrespective of the amount of fine, and regardless of other impossible accessory or other penalties, including the civil liability arising from such offences or predicated thereon, irrespective of kind, nature, value or amount thereof provided, however, that in offences involving damage to property through criminal negligence, they have exclusive original jurisdiction thereof. They have exclusive original jurisdiction over civil actions and probate proceedings both testate and intestate, including the grant of provisional remedies in proper cases, where the value of the property, estate, or the amount of the demand does not exceed P200,000.00 or in Metropolitan Manila where such personal property or amount of the demand does not exceed P400,000.00, exclusive of interest, damages of whatever kind, attorney's fees, litigation expenses and costs, the amount which must be specifically alleged, provided that, interest damages of whatever kind, attorney's fees, litigation expenses where there are several claims or causes of action between the same or different parties, embodied in the same complaint, the amount of the demand shall be the totality of the claims in all the causes of action, irrespective of whether the causes of action arose out of the same or different transactions. These courts also have 'exclusive original jurisdiction over cases of forcible entry and unlawful detainer, provided that when, in such cases, the defendant raises the question of ownership in his pleadings and the question of possession cannot be resolved without deciding the issue of ownership, the issue of ownership is resolved only to determine the issue of possession'. Finally, they have 'exclusive original jurisdiction in all civil actions which involve title to, or possession of, real property, or any interest therein where the assessed value of the property or interest therein does not exceed P20,000.00 or, in civil actions in Metropolitan Manila, where such assessed value does not exceed P50,000.00 exclusive of interest, damages of whatever kind, attorney's fees, litigation expenses and costs, provided that in cases of land not declared for taxation purposes, the value of such property shall be determined by the assessed value of the adjacent lots'. The Supreme Court may assign these courts to hear and determine cadastral or land registration cases covering lots where there is no controversy or opposition, or contested lots where the value of which does not exceed P100,000.00, such value which can be ascertained by an affidavit of the claimant, or an agreement by various claimants or the corresponding tax declaration. The Family Courts Republic Act No. 8369 created the Family Courts in 1997 which mandates that it shall be established in every province and city in the country. In case where the city is the capital of the province, the Family Court will be established in the Municipality which has the highest population. However, pending the establishment of such Family Courts, the Supreme Court has designated from among the branches of the Regional Trial Courts at least one Family Court in each city and in such other places as it may deem necessary. Family Courts have exclusive original jurisdiction to hear and decide the following cases: (a) criminal cases where one of the accused is below eighteen years of age but not less than nine years of age or where one or more of the victims is a minor at the time of the commission of the offense; (b) petitions for guardianship, custody of children, habeas corpus in relation to the latter; (c) petitions for adoption of children and the revocation thereof; (d) complaints for annulment of marriage, declaration of nullity of marriage and those relating to marital status and property relations of husband and wife or those living together under different states and agreements, and petitions for dissolution of 'conjugal partnership' of gains; (e) petitions for support and/or acknowledgment; (f) summary of judicial proceedings brought under the provisions of the Family Code; (g) petitions for declaration of status of children as abandoned, dependent or neglected children; the suspension, termination or restoration of parental authority and other cases cognizable under Presidential Decree No. 603, Executive order No. 56, series of 1986, and other related laws; (h) petitions for the constitution of the family home; (i) cases against minors cognizable under the Dangerous Drugs Act, as amended; (j) violations of Republic Act No. 7610, as amended; and (k) cases of domestic violence against women and children. The Supreme Court has promulgated special rules to address the cases before the Family Courts. Thus far, the Rules promulgated are: Rule on Declaration of Absolute Nullity of Void Marriages and Annulment of Voidable Marriages; Rule on Legal Separation; Rule on Adoption; Rule on Guardianship of Minors; Rule on Custody of Minors and Writ of Habeas Corpus in Relation to Custody of Minors; Rule on Examination of a Child Witness; Rule on Commitment of Children; Rule on Provisional Orders; and Rule on Violence Against Women and Children. Shari'a District and Circuit Courts For the Muslim communities in Mindanao, Shari'a District and Circuit Courts have been established in five special judicial districts, namely, the Province of Sulu; the Province of Tawi-Tawi; the Provinces of Basilan, Zamboanga del Norte, Zamboanga del Sur and the cities of Dipolog, Pagadian and Zamboanga; the Provinces of Lanao del Norte, Lanao del Sur and the cities of Iligan and Marawi; and the Provinces of Maguindanao, North Cotabato, Sultan Kudarat and the city of Cotabato. The Shari'a District Courts have exclusive original jurisdiction over: all cases involving custody, guardianship, legitimacy, paternity and filiation arising under the Muslim Code of Personal Laws; all cases involving disposition, distribution and settlement of the estate of deceased Muslims; petitions for declaration of absence and death and for cancellation of entries in the Muslim Registries; all actions arising from customary contracts between Muslim parties; all parties for mandamus, prohibition, injunction, certiorari, habeas corpus, and all other auxiliary writs and processes in the aid of its appellate jurisdiction. The courts also have appellate jurisdiction over all cases tried by the Shari'a Circuit Courts, and are of the same category as the RTCs. On the other hand, Shari'a Circuit Courts have exclusive original jurisdiction over all cases involving offences defined and punished under the Muslim Code and all cases involving disputes relating to communal properties. Likewise, all civil actions and proceedings between Muslim parties or disputes relating to marriage, divorce, betrothal, customary dower (mahr), disposition and distribution of property upon divorce, maintenance and support and consolatory gifts (mut'a) and the restitution of marital rights in accordance with the Muslim Code are within its exclusive original jurisdiction. Republic Act No 6734 (1989) created the Shari'a Appellate Court but to date it has not yet been operational. The Court of Tax Appeals The Court of Tax Appeals (CTA) has special appellate jurisdiction over: decisions of the Commissioner of Internal Revenue and the Commissioner of Customs; decisions involving local tax cases and real property taxes; and criminal offences of tax laws. The CTA is composed of a Presiding Justice and five Associate Justices and sits en banc or in two divisions to hear cases. It is on the same level as the Court of Appeals. The Sandiganbayan The 1973 Constitution provided for the creation of a special court known as the Sandiganbayan which has jurisdiction over criminal and civil cases, involving graft and corruption practices and other such offences committed by public officers and employees, including those in government-owned or controlled corporations in relation to their office, as may be determined by law. Implementing this mandate, Presidential Decree No. 1486 created the Sandiganbayan as a special court of the same level as the Court of Appeals, possessing exclusive jurisdiction over all such criminal cases. The 1987 Constitution provides that this anti-graft court shall continue to function and exercise its jurisdiction. Republic Act No 7975 (1995) enlarged the court by creating five divisions compose of three justices each although five may sit at the same time. Its jurisdiction was expanded to include:
In cases where the principal accused are PNP officers occupying the rank of superintendent or higher, exclusive jurisdiction shall be vested in the proper Regional Trial Court, Metropolitan Trial Court, and other courts, as the case may be. The Sandiganbayan exercises exclusive appellate jurisdiction on appeals from the final judgments, resolutions or orders of regular courts where all the accused are occupying positions lower than Grade '27'. Judicial and Bar Council The 1987 Constitution provides a mandate for the creation of a Judicial and Bar Council under the supervision of the Supreme Court. It is composed of the Chief Justice of the Supreme Court as ex-officio chairman, the Secretary of Justice, and a representative of the Integrated Bar, a professor of law, a retired Member of the Supreme Court, and a representative of the private sector. The regular members of the Council are appointed by the President for a term of four years with the consent of the Commission on Appointments. The regular members of the Council receive emoluments, determined by the Supreme Court, and the appropriations for the Council are provided for in the annual budget of the Supreme Court. The Clerk of Court is the Secretary ex officio of the Council and keeps a record of its proceedings. The Council has the principal function of recommending appointees to the judiciary and exercises such other functions and duties as may be assigned to it by the Supreme Court. The Council prepares a list of at least three nominees for every vacancy in the Supreme Court and lower courts from which the President makes appointments. Such appointments need no confirmation. For the lower courts, the President has to issue the appointments within 90 days from the submission of the list. CONSTITUTIONAL COMMISSIONS There are three constitutional commissions created under the 1973 Constitution which are continued by the 1987 Constitution, namely, the Civil Service Commission, the Commission on Elections and the Commission on Audit. Except for the Commission on Elections which is composed of a Chairman and six Commissioners, the other Commissions are administered by a Chairman and two Commissioners, who are appointed by the President with the consent of the Commission on Appointments for a term of seven years without reappointment. Their salaries are fixed by law and cannot be decreased during their tenure. To ensure the independence of the Constitutional Commission, no member during his tenure shall hold any other office or employment, engage in the practice of any profession or in the active management or control of any business which in any way may be affected by the functions of his office, nor be financially interested, directly or indirectly, in any contract, franchise, or privilege granted by the government or any of its subdivisions, agencies or instrumentalities. The Commissions enjoy fiscal autonomy, appoint their officials and employees and promulgate their own rules concerning pleading and practice before them. The Civil Service Commission The Civil Service Commission administers the civil service, which embraces every branch, agency, subdivision and instrumentality of the government, including government owned or controlled corporations with original charters, and is the central personnel agency of the Government. Appointments in the Civil Service are made only on the basis of merit and fitness which are determined as far as practicable by competitive examinations except for positions which are policy-determining, primarily confidential or highly technical. No officer or employee can be removed or suspended except for just cause as provided by law. The Commission on Elections The Commission on Elections enforces and administers all laws relating to the conduct of elections, plebiscites, initiatives, referenda and recalls, registers political parties, decides administrative questions affecting elections, save those involving the right to vote, and exercises exclusive original jurisdiction over all contests relating to elections, returns and qualifications of all elective regional, provincial and city officials. It also has appellate jurisdiction over all contests involving elective municipal officials decided by trial courts of general jurisdiction or involving elective barangay officials decided by trial courts of limited jurisdiction. The Commission on Audit The Commission on Audit examines, audits, and settles all accounts pertaining to the revenues and receipts of, and expenditures or use of, funds and property owned or held in trust by, or pertaining to, the government or any of its subdivisions, agencies and instrumentalities. It has exclusive authority to define the scope of its audit and establish the techniques and methods required and promulgate accounting and auditing rules, including the prevention and disallowance of irregular, unnecessary, excessive, extravagant or unconscionable expenditures, or the use of government funds and properties. It also decides any case brought before it within 60 days from the date of its submission for resolution and, unless otherwise provided by the Constitution or by law, its decision or order may be brought before the Supreme Court on certiorari by the aggrieved party within 30 days from receipt of a copy of the order. The Commission on Human Rights Under the 1987 Constitution, there is also created an independent office called the Commission on Human Rights which has been recently constituted under Executive Order No. 163, dated 06 May 1987, thus abolishing the Presidential Committee on Human Rights. Among its powers and functions are:
The Ombudsman The 1987 Constitution emphasizes the concept that public office is a public trust and so 'public officers and employees must at all times be accountable to the people, serve them with utmost responsibility, integrity, loyalty, and efficiency, act with patriotism and justice and lead modest lives'. The President, Vice-President, members of the Supreme Court, members of the Constitutional Commission and the Ombudsman may be impeached and removed from their office on conviction of a culpable violation of the Constitution, treason, bribery, graft and corruption, other high crimes, or betrayal of public trust, while all other public officers and employees may be removed from office as provided by law. However, to reinforce the anti-graft court (the Sandiganbayan), another independent Office of the Ombudsman was created, composed of the Ombudsman or Tanodbayan, one overall Deputy and at least one deputy each for Luzon, Visayas and Mindanao with a separate deputy for the Military establishment. As protector of the people, the Tanodbayan and his deputies are required to act promptly on complaints filed in any form or manner against public officials or employees and, in appropriate cases, notify the complainants of the action taken and the result thereof. The qualifications of an Ombudsman are: at least forty years of age, of recognized probity and independence, member of the Philippine Bar, and engaged for ten years in the practice of law. He has a term of seven years without reappointment. The Ombudsman can recommend to Congress if a law or regulation is unfair and unjust. He can receive complaints from any source in whatever form concerning an official act or omission. If the evidence of guilt against any public officer or employee is strong, the Ombudsman may preventively suspend such officer, not more than six months without pay. Local Government Local government comprises the governments of provinces, cities, municipalities and barangays, which are the territorial and political subdivisions of the Philippines. By statutory provision, they are considered to be corporate political bodies, for governmental administration of the affairs of the community within their territorial boundaries; as incorporated entities, they are classified as municipal corporations. Each municipal corporation is entitled to continuous succession in its corporate name, it may hold and acquire property, enter into contracts, sue and be sued, and do such other acts necessary to carry out the purposes of its organization. No unit may be created, divided, merged, abolished, or its boundary substantially altered, except in accordance with the criteria established in the local government code and subject to the approval of a majority of the votes cast in a plebiscite in the directly affected units. Provinces with respect to component cities and municipalities and cities and municipalities with respect to component barangays must ensure that the acts of their component units are within the scope of their prescribed powers and functions. Local government units enjoy local autonomy which means that they enjoy certain powers, such as the power of eminent domain, police power and taxing power. Each unit has the power to create its own sources of revenue and to levy taxes, fees and charges subject to such guidelines and limitations as the Congress may provide, which shall accrue exclusively to the local governments. As far as national taxes are concerned, local government units have a share as determined by law, which is automatically released to them. Likewise, they are entitled to an equitable share in the proceeds of the utilization and development of the national wealth within their respective areas in the manner provided by law. Local government units may group themselves, consolidate or coordinate their efforts, services, and resources for purposes commonly beneficial to them in accordance with law. The Congress may, by law, create special metropolitan political subdivisions, subject to a plebiscite in the units directly affected, that will be limited to providing basic services requiring coordination; but the localities shall retain their basic autonomy and are entitled to their own local executives and legislative assemblies. All legislative bodies have sectoral representation as may be prescribed by law. For purposes of administrative decentralization to strengthen the local units and accelerate socio-economic growth and development of the units, regional development councils or other similar bodies have to be constituted by the President to be composed of local government officials, regional heads of the government and other government offices and representatives from non-governmental organizations within the regions. Except for barangay officials, the term of office of the elective local officials is three years and for not more than three consecutive terms. The Local Government Code of 1991 transformed the local government units into self-reliant communities by giving them powers to create its own sources of revenue, ie local taxes and real property taxes and the transfer of basic services and facilities in the provinces from the executive departments to them. The Lupong Tagapayapa Due to the clogging of dockets in courts, Presidential Decree No 1508 was promulgated, establishing a system for amicably settling disputes at the barangay level, popularly known as the Katarungang Pambarangay. This law was repealed and substantial changes were introduced by sections 399 to 422 and 515 of Republic Act No 7168 (1992), otherwise known as the Local Government Code. All disputes between or amongst persons residing in the same barangay have to be brought before the Lupong Tagapamayapa of the barangay except for those disputes where one party is the government or any of its subdivisions or instrumentalities; where one party is a public officer or employee and the dispute relates to the performance of his official functions; offences punishable by imprisonment exceeding one year or a fine exceeding P5,000; offences where there is no private offended party; where the dispute involves real property located in different cities or municipalities, unless the parties otherwise agree; disputes involving parties who actually reside in barangays of different cities or municipalities, except where such barangay units adjoin each other and the parties agree to submit their differences to amicable settlement by an appropriate lupon; disputes where urgent legal action is necessary to prevent injustice from being committed or further continued, specifically criminal cases where the accused is in police custody or under detention; petitions for habeas corpus, actions coupled with provision remedies; actions which may be barred by the Statute of Limitations, disputes arising from Comprehensive Agrarian Reform Law; labour disputes arising from employer- employee relations; actions to amend judgments upon a compromise; and such other classes of dispute which the President may determine to be in the interest of justice, or upon the recommendation of the Secretary of Justice. The court, in which non-criminal cases not falling within the authority of the lupon are filed, may, at any time before trial, motu proprio refer the case to the lupon concerned for amicable settlement. No complaint, petition, action or proceeding involving any matter within the authority of the lupon shall be filed or instituted directly in court or any other government office for adjudication unless there has been a confrontation before the lupon chairman or pangkat as certified by the lupon that no conciliation or settlement has been reached. The exceptions to this rule are cases where the accused is under detention or where a person has otherwise been deprived of personal liberty, calling for habeas corpus proceedings, or actions coupled with provisional remedies, or where the action may otherwise be barred by the Statute of Limitations. Under Section 14 of Republic Act No. 9262 (2004), the barangay captain can issue protection orders for acts constituting violence against women and children effective for a period of fifteen days. Autonomous Regions In consonance with the demand for autonomy by Muslims in the Southern Philippines and some of the leaders of indigenous groups in the Cordilleras, the 1987 Constitution authorized the creation of autonomous regions in Muslim Mindanao and in the Cordilleras. Republic Act No 6734 (1989), the Organic Act for the Autonomous Region in Muslim Mindanao was passed. As provided for by the Constitution, a plebiscite was held with Lanao del Sur, Maguindanao, Tawi- Tawi and Sulu voting favourably while Marawi City voted no, pursuant to Republic Act No 6766 (1989). Likewise, with the Organic Act for the Cordillera Autonomous Region, a plebiscite was held in Benguet, Mt Province, Baguio City, Ifugao, Kalinga-Apayao and Abra but only Ifugao voted favourably. CHAPTER 4 - LEGAL PROCEDURE/ADMINISTRATION OF JUSTICE INTRODUCTION There is no trial by jury in the Philippines. The judge determines all questions of law and fact in a case brought before him. While the Rules of Court provide for the employment of assessors and commissioners to assist the judge in the determination of the facts, this procedure has rarely been utilized. The Rules of Court govern the pleadings, practice and procedure before all courts in the Philippines. These rules consist of four major parts dealing with civil actions, special proceedings, criminal procedure and evidence. CRIMINAL PROCEDURE All criminal actions are commenced either by a complaint or by an information. A complaint is a sworn written statement charging a person with an offence, subscribed to by the offended party, any peace officer or other public officer charged with the enforcement of the law violated. An information is an accusation in writing charging a person with an offence subscribed to by the fiscal and filed with the court. No complaint or information for an offence recognizable by the Regional Trial Court can be filed without a preliminary investigation having been first conducted by a judge, provincial city prosecutor or a state prosecutor in order to determine if a prima facie case is established by the evidence presented by both parties. The complaint or information shall state the designation of the offense given by the statute, aver the acts or omissions constituting the offense, and specify its qualifying and aggravating circumstances which shall be stated in ordinary and concise language. No complaint or information may be filed or dismissed by an investigating prosecutor without the prior written authority or approval of the provincial or city prosecutor or chief state prosecutor and such resolution is appealable to the Secretary of Justice. A preliminary investigation is required to be conducted before the filing of a complaint or information for an offense where the penalty prescribed by law is at least 4 years, 2 months and one day without regard to the fine. In all criminal prosecutions, the accused is entitled to the following:
The 1987 Constitution requires that any person under investigation for the commission of an offence shall have the right to be informed of his right to remain silent and to have competent and independent counsel, preferably of his own choice. If the person cannot afford the services of counsel, he must be provided with one. These rights cannot be waived, except in writing and in the presence of counsel. It also provides that an confession obtained through torture, force, violence, threat, intimidation or any other means which vitiates the free will shall be inadmissible in evidence. Arrest and Detention A person can only be arrested when there is a warrant or order for his arrest, except in certain instances. No violence or unnecessary force shall be used in making an arrest. The person arrested shall not be subject to a greater restraint than is necessary for his detention. Secret detention places, solitary, confinement, being held incommunicado, or other similar forms of detention are prohibited. The employment of physical, psychological, or degrading punishment against any prisoner or detainee, or the use of substandard or inadequate penal facilities shall be dealt with by law. No person may be detained solely by reason of his political beliefs and aspirations. Likewise, the 1987 Constitution specifies that the law shall provide for penal and civil sanctions for violations of sections 12 and 17 of Article III as well as compensation to and rehabilitation of victims of torture or similar practices, and their families. Pre-Trial To abbreviate court proceedings, ensure prompt disposition of cases and decongest court dockets, the Supreme Court laid down in Administrative Circular No 3-99 dated 15 January 1999 the following guidelines for the observance of trial judges and clerks of court:
When plea bargaining fails, the Court scrutinizes every allegation in the information and documents identified and defines the factual and legal issues. The specific trial dates are set. All proceedings during the pre-trial are recorded and reduced in writing and signed by the accused and counsel, otherwise, they cannot be used against the accused. The minutes and the transcripts of the proceedings shall be signed by the parties and/or their counsels. A pre-trial order is also issued by court within 10 days after the termination of the pre-trial setting forth the facts stipulated, admissions made, evidence marked, the number of witnesses to be presented and the schedule of trial. Arraignment and Trial The defendant must be arraigned before the court where the complaint or information has been filed or assigned for trial. The defendant must be present at the arraignment and must personally enter his plea. Both the arraignment and plea must be recorded, but a failure to enter a record of them does not affect the validity of proceedings. If the defendant refuses to plead, or makes a conditional plea of guilty, a plea of not guilty shall be entered for him. All persons are, before conviction, bailable by sufficient sureties, except those charged with capital offences if evidence of their guilt is strong. The right to bail is not impaired even when the privilege of the writ of habeas corpus is suspended. After arraignment, trial may proceed notwithstanding the absence of the accused provided that he has been duly notified and his failure to appear is justified. If the defendant appears without an attorney, the court must appoint a counsel de officio to defend him. The trial then proceeds if the defendant has entered a plea of not guilty. Once commenced, the trial continues from day to day, as far as practicable, until it is concluded. It may also be postponed for a reasonable period of time for good cause. The Court shall, after consultation with the prosecutors and defense counsel, set the case for continuous trial on a weekly or other short-term trial calendar at the earliest possible time but in no case shall the entire trial period exceed 180 days from the first day of trial. The trial is then followed by a written judgment which is promulgated by reading it in the presence of the defendant and the judge who rendered it. At any time before judgment of conviction becomes final, the court may grant a new trial or reconsider its own instance, with the consent of the accused or on motion of the prosecution. Either party may appeal from a final judgment or ruling or from an order made after judgment affecting the substantial rights of the defendant, but the prosecution cannot appeal if the defendant would thereby be placed in double jeopardy. If the death penalty is imposed, the case is automatically elevated to the Supreme Court, whether the defendant has appealed or not. CIVIL PROCEDURE Civil procedure includes ordinary civil actions, special civil actions, and provisional remedies. A civil action is a suit by which one party sues another for the enforcement or protection of a right, or redress of a wrong. A civil action may either be ordinary or special. Both are governed by the rules for ordinary civil actions subject to specific rules prescribed for a special civil action. A special proceeding is a remedy by which a party seeks to establish a status, a right or a particular fact. An ordinary civil action is commenced by filing of the original complaint in court. An action affecting title to, or possession of real property, or interest therein, or forcible entry and detainer action is a real action while one founded upon the privity of contract or for the enforcement or resolution of a contract or for the recovery of personal property is a personal action. Where the object of an action is a judgment against a particular person to exclude him of all his rights in respect of a particular property or relief prayed for, the action is one in personam. Where the object is to determine the rights of a party over a specific property against the whole world, equally binding to everyone, the action is one in rem. And where the action is directed against a particular person for the purpose of using his interest over a particular property to satisfy a lien or encumbrance, such as in the case of a foreclosure on a mortgage, then the action is quasi-in-rem. If the technical object of the suit is to establish a claim against some particular person, with a judgment which generally in theory at least, binds his body, or to bar some individual claim or objection, so that only certain persons are entitled to be heard in defense, the action is in personam, although it may concern the right of possession of a tangible thing. Once the case is filed, a summons is issued by court wherein the defendant is notified of the action brought against him. There are three methods of serving summons:
Service upon private domestic corporations may be made on the president, managing partner, general manager, corporate secretary, treasurer, or in-house counsel while service upon a private foreign corporation doing business in the Philippines may be made on its resident agent designated in accordance with law for that purpose or, if there is no such agent, on the government official designated by law to that effect or on any of its officers or agents within the Philippines. By serving such a summons, the court acquires jurisdiction over the person of the defendant. Trial and judgment without such service are null and void. The respective claims of the parties are then alternately presented through pleadings. If the defendant has a cross-claim or compulsory counterclaim, it must be asserted in the answer, or be considered barred. All pleadings must be verified. Within one day from the receipt of the complaint, a summons is prepared containing a remainder to defendant to observe restraint in filing a motion to dismiss and instead allege the grounds as defenses in the answer. Likewise, the court issues an order requiring the parties to avail of the modes of discovery under Rules 23-28 within 5 days from filing the answer together with the summons. Within 5 days from the date of filing of the reply, plaintiff must promptly move ex parte that the case be set for pre-trial. Three days before pre-trial, the parties shall submit their briefs containing the following:
The trial judge refers the parties and their counsel to the Philippine Mediation Center (PMC) for mediation and if it fails, refer the case to the Branch Clerk of Court to assist the parties in reaching a settlement and to mark the documents or exhibits to be presented. The trial judge should exert all efforts to arrive at a settlement of the dispute or if it fails, adopt measures to facilitate the disposition of the case. A party who fails to appear at the pre-trial conference may be non-suited or considered as in default. If the court finds that facts exist upon which a judgment on the pleadings or summary judgment may be made, it may render such judgment as justice may require. The Court then prepares a trial calendar for the case and notices of the relevant dates are served on the parties. During the trial, each party endeavours to maintain by testimonies and evidence the claim embodied in the pleadings. The Rules of Court provide certain rules of evidence which regulate the production of evidence in court, decide what can be admitted and what should be excluded and determines its value and effect. After the determination of the rights of the parties pertinent to the claim made by the court, as the law and evidence may warrant, the judgment is rendered. This judgment must be prepared personally and signed by the judge. It must clearly and distinctly state the facts and the law on which it is based and be filed with the clerk of court. No petition for review or motion for reconsideration of a decision of the court shall be refused or denied without stating the legal basis for that decision. If the judgment is final, not interlocutory, and the period of appeal has been perfected, the judgment rendered may be said to have become executory, and the prevailing party is entitled, as a matter of right, to its execution. Where the judgment or order has become executory, the court cannot refuse to issue a writ of execution except:
For a writ of execution to be valid it must conform strictly to the judgment and it cannot vary the terms of the judgment it seeks to enforce. The effective period or lifetime of a writ of execution is 5 years, counted from the date of its receipt by the office, generally from the sheriff. However, the sheriff makes a report to the court within 30 days after its receipt and every 30 days thereafter until the judgment is satisfied in full. If the judgment directs a party to execute a conveyance of land, or deliver deeds or other instruments or to perform some other specific act, and the party fails to comply within the time specified, the court may direct the act to be done at the cost of the disobedient party by some other persons appointed by the court If the real or personal property is within the Philippines, the court may, in lieu of enforcing the judgment, direct a subsequent judgment divesting the title of any party and vesting it in others and such judgment will have the force and effect of a conveyance executed in due form of law. When the execution requires the delivery or restitution of property, the officer must oust the person against whom the judgment is rendered and place the judgment creditor in possession of such property and then levy as much of the property of the judgment debtor as will satisfy the judgment and costs included in the writ of execution. When the property subject of the execution contains improvements, the officer shall not destroy or remove the improvements, except upon special order of the court, after due hearing. A monetary judgment is enforced by the officer levying on all the properties, real and personal of every name and nature whatsoever, which may be disposed of for value, except those properties which are exempt from execution. Any excess in the proceeds must be delivered to the judgment debtor unless otherwise directed by the court. EVIDENCE Evidence is admissible when it is relevant to the issue and is not excluded by the rules or evidence. However, not all relevant matters are admissible in evidence and as a rule, collateral matters, even if relevant, are not admissible. As to form, evidence is either real, documentary or testimonial. Real evidence is that which is addressed to the senses of the court, as where objects are exhibited for the personal observation of the judge. Documentary evidence consists of the documents, depositions and other papers presented before the court. Testimonial evidence is that which is given orally by witnesses. Except as provided by the Rules, all persons who can perceive and perceiving can make known their perception to others, may be witnesses. Evidence can also be direct when it tends to prove a fact without reference to any fact; circumstantial when it tends to prove a fact by inference only; incompetent when the witness giving it lacks fitness to give evidence; irrelevant when it has no connection with the point at issue; immaterial when it would not affect the point at issue even if admitted; primary when it is the best proof that can be produced; secondary when it is proof admissible in the absence of primary evidence; prima facie when it appears to be sufficient for the time being until something arises to controvert it; and conclusive when it establishes the fact sought to be proved without any further question. There are certain matters on which evidence need not be presented. These are:
Matters which are deemed to be of judicial notice without introduction of proof are:
In civil cases, the party bearing the burden of proof must establish his case by a preponderance of evidence. In a criminal case, the accused is entitled to an acquittal unless his guilt is established beyond reasonable doubt. Effective 01 August 2001, the Supreme Court promulgated the Rules on Electronic Evidence covering electronic documents and electronic data messages which are applicable to civil and criminal actions as well as quasi-judicial and administrative cases pursuant to the E-Commerce Law. SPECIAL CIVIL ACTIONS, PROVISIONAL REMEDIES AND SPEICAL PROCEEDINGS Special civil actions by their nature, require a different procedure from that of ordinary civil actions. Actions for interpleader, declaratory relief, certiorari, mandamus, quo warranto, expropriation, foreclosure of real estate mortgage, partition, forcible entry and unlawful detainer and contempt are special civil actions. Provisional remedies which are available for the preservation or protection of the rights or interests of parties during the pendency of the principal action are preliminary attachment; preliminary injunction; receivership; replevin and support pendente elite. All other remedies, including one to establish the status or right of a party or a particular fact, are called special proceedings. Rules of special proceedings are provided for in the following cases: settlement of the estates of deceased persons; allowance or disallowance of wills; letters testamentary; escheat; guardianship and custody of children; appointment of trustees; adoption; rescission and revocation of adoption; hospitalization of insane persons; habeas corpus; change of name; voluntary dissolution of corporations; judicial approval of voluntary recognition of minor natural children; constitution of family homes; declaration of absence; and cancellation or correction of entries in the civil registry. On 28 October 1997, Republic Act No. 8369 otherwise known as the Family Courts Act was signed into law. Under Section 5, the Family Courts have exclusive jurisdiction to hear and decide the following cases:
Pursuant to Section 13 of the Family Court Act, the Supreme Court constituted a Committee on Revision of the Rules of Court (Family Courts) chaired by Senior Associate Justice Reynato S. Puno. To date, the Supreme Court has promulgated the following rules: (1) Rule on Examination of a Child Witness; (2) Rule on Juveniles in Conflict with the Law; (3) Rule on Declaration of Absolute Nullity of Void Marriages and Annulment of Voidable Marriages; (4) Rule on Legal Separation; (5) Rule on Provisional Orders; (6) Rule on Custody of Minors and Writ of Habeas Corpus in Relation to Custody of Minors; (7) Rule on Guardianship of Minors; (8) Rule on Adoption; (9) Rule on Violence Against Women and Children; and (10) Rule on Commitment of Children. One of the innovative strategies of the Supreme Court in decongesting the caseloads of family courts is the Justice on Wheels Project. It aims to improve the access of poor and marginalized sectors to affordable judicial services. The mobile court is in the form of a large bus staffed by a judge, a prosecutor, and a stenographer, among others. The Ad-Hoc Committee on the Justice on Wheels Project is headed by Justice Adolfo S. Azcuna as Chairperson and Senior Deputy Court Administrator Zenaida N. Elepaño as Vice-Chairperson. The cases heard were for such crimes as light threats, illegal possession of firearms and deadly weapons, theft, robbery, and violations of PD 1619 - a decree penalizing the use or possession or the unauthorized sale to minors of volatile substances for the purpose of inducing intoxication. ENFORCEMENT OF JUDGMENTS AND ARBITRAL AWARDS The court may enter a satisfaction of judgment upon:
The effect of a judgment varies. If it is in rem, the judgment or order is conclusive upon the title to the thing, the will or administration or the condition, status, or relationship of the person; if it is in personam, the judgment is conclusive amongst the parties and their successors-in-interest by title subsequent to the commencement of the action or special proceedings, litigating for the same thing and under the same title and in the same capacity and the conclusiveness of judgment, wherein the parties to both actions may be the same but the causes of action are the same, is binding only with respect to the matters actually raised and adjudged therein. Provided that a foreign tribunal has jurisdiction to promulgate the judgment, the effects will be as follows. In actions in rem, the judgment is conclusive upon verification of title to the thing; in actions in personam, the judgment is presumptive evidence of a right as between the parties and their successors-in-interest by a subsequent title, but the judgment may be repelled by evidence of want of jurisdiction, want of notice to the party, collusion, fraud or clear mistake of law or fact. Except for labour arbitration, which is provided for by the Labour Code, the legal basis of arbitration is the contract or agreement between the parties to arbitrate future disputes or to submit to arbitration, disputes that have already arises. Article 1306 of the Civil Code likewise guarantees such right when it provides that: Contracting parties may establish such stipulations, clauses, terms and conditions as they may deem convenient, provided they are not contrary to law, morals, good customs, public order or public policy. Section 2 of the Arbitration Law recognizes both the arbitration agreement and the arbitration clause. By the broad language of section 1, it implies that any claim or dispute arising out of a contract or determinate legal relationship may be submitted to arbitration. When the court is satisfied that the making of the agreement or the failure to comply with it is not in issue, the court shall order the parties to proceed to arbitration in accordance with the terms of the agreement. 84 All acts of the parties, subsequent to the making of the contract which raise issues of fact or law, lie exclusively within the jurisdiction of the arbitrators. Usually, a contract provides for a method of naming or appointing an arbitrator or arbitrators but if there is no such method, the Regional Trial Court shall designate the arbitrator and they must be sworn by any officer authorized by law to administer an oath. Arbitrators, may, at the commencement of the hearing, ask both parties for brief statements of the issues in controversy and/or an agreed statement of facts. The arbitrators are the sole judges of the relevancy and materiality of evidence offered and are not bound to conform to the Rules of Court pertaining to evidence. Briefs may be filed by the parties within 15 days after the close of the oral hearings. Unless the parties have stipulated by written agreement the time within which the arbitrators must render their award, the written award shall be rendered within 30 days after the closing of the hearings, which period may be extended by mutual consent. At any time within one month after the award is made, any party to the arbitration may apply to a court having jurisdiction for an order confirming the award, unless the award is vacated, modified or corrected as prescribed by law. An appeal may be taken from an order upon an award through certiorari proceedings, but such appeals are limited to questions of law. CHAPTER 5 - The Legal Profession LEGAL EDUCATION Legal training is carried out in law schools which are generally university based, and English is used as the medium of instruction. These schools are of two types public and private - depending on how they are supported. There are three public schools, namely, the University of the Philippines, the Don Mariano Marcos State University and the Mindanao State University. The first law courses were conducted in Spanish in 1834 at the Pontifical University of Santo Tomas and were designed around the various branches of civil law. Law courses in English began in the Manila YMCA in 1910, which was the forerunner of the College of Law, University of the Philippines, until its formal establishment in 1911. As institutions of higher learning, all law schools are explicitly guaranteed academic freedom under the Constitution. However, they are also subject to the supervision and regulation by the State. While private schools come under the jurisdiction of the Commission on Higher Education, the state universities operate under a special charter. Due to the recent close supervision of the government, there are, at present, 54 private law schools operating throughout the country. The Integrated Bar of the Philippines (IBP) and the Philippine Association of Accrediting Schools and Universities (PAASCU) have evolved a set of criteria for law school standards which will affect the accreditation of law schools, if implemented by the Supreme Court. As a result of state regulation, private law schools follow a core curriculum of required courses spread over four years. The curriculum of the University of the Philippines' College of Law differs in some material respects from this curriculum. It has recently implemented a core elective curriculum wherein the students are required to take basic courses and are given the freedom to choose up to 20% of the courses for their Bachelor of Law degree (LLB). Usual methods of instruction employed in private law schools include the lecture and recitation method. The University of the Philippines' College of Law uses the modified Socratic, case, problem, clinical approach, and the seminar methods depending upon the subject and the teacher's personal style. Patterned after some American law schools, Ateneo University College of law converted its LLB degree into the Juris Doctor degree (JD). Consultation is now made as to whether the Commission on Higher Education (CHED) would require the other law schools to follow the move. The Supreme Court wields a potent influence not only on the admission to the practice of law but on legal education as well. Under the Rules of Court, the completion of a baccalaureate degree before admission to the four-year law course is prescribed. It also specifies the subjects of the bar examinations which, of course, require the inclusion in the law curriculum of certain designated courses such as civil law, labour and social legislation, mercantile law, criminal law, political law (constitutional law, public corporations and public officers), international law (private and public), taxation, remedial law (civil procedure, criminal procedure and evidence), legal ethics and practical exercises in pleading and conveyancing. Recently, Republic Act No 7662 (1993) was passed, providing for reforms in legal education and creating for this purpose the Legal Education Board. To date, this Board is not yet operational. Law Student Practice Rule In a Supreme Court resolution made en banc on 18 December 1986, Rule 138A of the Revised Rules of Court was adopted permitting limited Law Student Practice. A student who has successfully completed his third year of the regular four-year prescribed law curriculum and is enrolled in a recognized law school's clinical legal education programme approved by the Supreme Court, may appear without compensation in any civil, criminal, or administrative case before any trial court, tribunal, board or officer, to represent indigent clients adopted by the legal clinic of the law school. The appearance of the law student is under the direct supervision and control of a member of the Integrated Bar duly accredited by the law school and all pleadings, briefs, memoranda or other papers are to be filed by the supervising attorney for and on behalf of the legal clinic. The rules safeguarding privileged communications between attorney and client are applicable to communications made to or received by the law student acting for the clinic. Standards of professional conduct governing members of the Bar are applicable to the law student and failure of an attorney to provide adequate supervision of student practice may be a ground for disciplinary action. Bar Examinations Bar examinations are conducted annually by a Committee of Bar Examiners appointed by the Supreme Court. This committee, which holds office for one year, is composed of a justice of the Supreme Court, who acts as chairperson and eight members of the Bar. In order for a candidate to be deemed to have passed his examination successfully, he must obtain a general average of 75% in all subjects without falling below 50% in any one subject. Candidates who fail the examination three times are disqualified from taking a fourth or fifth examination unless they show, to the satisfaction of the Court, that they have successfully completed one year refresher course for each examination. However, for those who have already failed in five or more bar examinations, they shall be allowed only one more bar examination after completing a one year refresher course. Every applicant for admission as a member of the Bar must be a citizen of the Philippines, at least 21 years of age, of good moral character and a resident of the Philippines. He must produce before the Supreme Court satisfactory evidence of good moral character and that no charges against him involving moral turpitude have been filed or are pending against him in any court in the Philippines. INTEGRATED BAR OF THE PHILIPPINES (IBP) The Constitution provides the Supreme Court with the power to promulgate rules concerning the admission to the practice of law, the Integrated Bar and legal assistance to the underprivileged. As part of its power to regulate the practice of law, the Supreme Court can discipline, suspend or disbar any unfit and unworthy member of the Bar, reinstate any disbarred or suspended lawyer, punish for contempt any person for unauthorized practice of law and, in general, exercise overall supervision of the legal profession. As early as 1971, the Philippine Bar Association had adopted Canons 1 to 32 of the American Bar Association's Canons of Professional Ethics. Canons 33 to 47 were adopted in 1946. there is a Code of Professional Responsibility, drafted by the Integrated Bar of the Philippines, which was approved by the Supreme Court on 21 June 1988. The Integrated Bar of the Philippines is governed by Rule 139A of the Rules of Court which deals with its organization, purposes, regions, chapters, House of Delegates, Board of Governors, officers, vacancies, membership dues, effect of non-payment of dues, voluntary termination of membership and reinstatement, grievance procedures, non-political bar, positions as honorary, fiscal matters, journal, voluntary bar associations and amendments. Rule 139B of the Rules of Court specifies the procedure on disbarment and discipline of attorneys. All the investigations are made by the IBP Commission on Bar Discipline which in turn, recommends to the Supreme Court en banc for the disposition of the case in a decision. Lawyers in the Philippines are considered officers of the court. As of January 2004, the records of the Supreme Court showed that 49,711 lawyers were admitted to the Bar since 1900, and they are members of the Integrated Bar of the Philippines (IBP) which was created by the Supreme Court pursuant to its Resolution of 9 January 1973 and constituted into a corporate body by Presidential Decree No 181 on 4 May 1973. Membership in the IBP is compulsory and default in the payment of annual dues for one year is a ground for the removal of the name of the defaulting member from the Role of Attorneys. As of May 2005, there are 46,053 lawyers registered in the 78 chapters of the IBP. Among its projects is the Legal Aid Project carried out by the National Committee on Legal Aid and the legal aid officers in the 78 chapters. CONTINUING LEGAL EDUCATION As early as 1963, the University of the Philippines law Center has a continuing legal education programme which consists of non-degree courses, such as law institutes, special symposia and seminar-workshop for specific groups, annual surveys of Supreme Court decisions and legislations, Bar reviews and general law practice institutes in co-operation with the Integrated Bar of the Philippines. There is also an integrated programme designed to bring about functional legal literacy among the people called the Popularising the Law or the POPLAW programme. It is made up of the following components: Barangay Legal Education Seminars (BLES) and its echo seminars; Teaching Practical Law to school children; Legal Education Through Mass Media and Research and the Development of Legal Resources. On the other hand, the U.P. Institute of Judicial Administration which conducts the regular continuing legal education programmes for lawyers and makes researches and studies for the judiciary funded by a subsidy from the Supreme Court. MANDATORY CONTINUING LEGAL EDUCATION (MCLE) In order to ensure that members of the Philippine Bar keep abreast with law, maintain the ethics of the profession and enhance the standards of the practice of law, the Supreme Court promulgated Bar Matter 850 on 15 September 2000 requiring mandatory continuing legal education (MCLE). Lawyers have to complete at least thirty-six (36) hours ever three (3) years consisting of the following subjects: legal ethics (6 units); trial and pre-trial skills (4 units); alternative dispute resolution (5 units); updates on substantial and procedural laws (9 units); legal writing and oral advocacy (4 units); international law and conventions (2 units); and six (6) units to MCLE Prescribed Subjects such as Technology and the Law, Law and Economics, Environmental Law, International Legal Processes, Transnational Business Transactions, Law as a Means of Social Control, Gender Sensitivity in the Court System and Law Reforms in Specific Areas of Law. Credit units are also given for participation as being a lecturer, resource speaker, panelist, reactor, commentator, moderator, coordinator, and facilitator in activities approved by the MCLE Governing Board. Now administered by the MCLE Governing Board, the MCLE program completed its third year of implementation from 15 April 2001 to 31 December 2004. the Board has accredited a total number of 92 providers which presented a total of 1,383 programs mostly in Metro Manila and major cities in the Philippines. JUDICIAL EDUCATION The Philippine Judicial Academy (PHILJA) which was created by Supreme Court Administrative Order No. 35-96 and Republic Act No. 8557 (1998) serves as a training school for justices, judges, court personnel, lawyers and aspirants to judicial posts. The programs are designed to "upgrade their legal knowledge, moral fitness, probity, efficiency, and capability." Among the regular programs of the PHILJA are: (1) The Pre-Judicature Program which provides initial training for aspirants to judicial positions as mandated by law; (2) The Orientation Seminar Workshop for Newly-Appointed Judges which prepares the judge for assumption of office and the discharge of duties and includes an immersion program by sitting with the Executive Judges in the conduct of judicial proceedings; (3) Regional Judicial Career Enhancement Program (RJCEP) which updates the judges and court personnel in the different areas of the law; (4) Special Focus Programs which is thematic in nature which caters to those judges specifically designated to handle specialized cases; (5) Convention-seminars which by administrative rule, all national conventions of
judges and court employees must have an academic component; (6) Development Program for Court Personnel which provides continuing judicial education as a response to the need to enhance and update judicial personnel on the law, current jurisprudence and administrative policies, judicial techniques and suggested remedies to trial and procedure; (7) Program for Quasi-Judicial Agencies which provides continuing education to the officers and lawyers of quasi-judicial agencies pursuant to en banc Supreme Court Resolution A.M. No. 99-7-02-SC-PHILJA dated 6 July 1999; (8) Discussion session which provides a venue for members of the Appellate Courts to be apprised of and to discuss recent developments and jurisprudence in different areas of the law, particularly those relevant to the discharge of their functions; and the (9) Professorial Competency Program which apprises the participants of the principles of professional and adult education gearing towards increased efficiency in the delivery of judicial education. The PHILJA also conducted several activities on court-annexed mediation in the trial courts, in the Court of Appeals, and on the JURIS project which is funded by the Canadian International Development Agency (CIDA). Thus far, the JURIS Design and Management Committee have recommended, among others, the Guidelines for the Implementation of an Enhanced Pre-Trial Proceedings Through Conciliation and Neutral Evaluation; Guidelines to be Observed by Trial Court Judges and Clerks of court in the Conduct of Pre-Trial and Use of Deposition-Discovery Measures; Expanding the Territorial Areas of the PMC- Juris Project in Bacolod City and in City of San Fernando, Pampanga to areas adjacent thereto which were approved by the Supreme Court En Banc. To ensure that the courts fulfill their role in upholding constitutionalism and the rule of law as well as to promote public confidence in the judiciary. A New Code of Judicial Conduct for the Philippine Judiciary was promulgated on 27 April 2004 and a Code of Conduct for Court Personnel on 13 April 2004. CHAPTER 6 - CONTRACT LAW A contract is a meeting of minds between two persons whereby one binds himself, with respect to the other, to give something or to render some service. The contracting parties may establish such stipulation clauses, terms and conditions as they may deem convenient, provided they are not contrary to law, morals, good customs, public order or public policy. The contracts must bind both contracting parties and its validity and compliance cannot be left to the will of one of them. There is no contract unless the following requisites concur: (1) consent of the contracting parties; (2) object certain which is the subject matter of the contract; and (3) cause of the obligation which is established. In onerous contracts the cause is understood to be, for each contracting party, the prestation or promise of a thing or service by the other; in remuneratory ones, the service or benefit which is remunerated; and in contracts of pure beneficence, the mere liberality of the benefactor. The particular motives of the parties in entering into a contract are different from the cause thereof. Contracts without cause, or with unlawful cause, produce no effect whatsoever. The cause is unlawful if it is contrary to law, morals, good customs, public order or public policy. The following contracts must appear in a public document:
The following are excuses for non-performance of contracts:
The following are agreements that cannot be proved except by writing, or by some note or memorandum subscribed to by the party sought to be charged, or by his agent, or by secondary evidence of its contents:
The subject matter of the contract must be a determinate thing and licit, and the vendor must have a right to transfer their ownership of it at the time it is delivered. Things having a potential existence may also be the object of a contract of sale. The efficacy of the sale of a mere hope or expectancy is deemed subject to the condition that the thing will come into existence. The sale of a vain hope or expectancy is void. The goods which form the subject of a contract of sale may be either existing goods or 'future goods', namely, goods to be manufactured, raised, or acquired by the seller after the perfection of the contract. Things subject to a resolutory condition may also be the object of the contract of sale. A contract for the delivery of an article at a certain price, which the vendor in the ordinary course of his business manufactures or procures for the general market, whether the same is on hand at the time or not, is a contract of sale, but if the goods are to be manufactured especially for the customer and upon his special order, and not for the general market, it is a contract for a piece of work. A recent legislation governing transactions carried out on cyberspace is the 'E-Commerce Act'. It covers all transactions whether commercial or non-commercial carried on electronically and provides for modes of authenticating electronic data messages or electronic documents and of safeguarding their reliability. Under this law, legal recognition is accorded electronic documents which shall have the same legal effect, validity and enforceability as any other documents or legal writing. For evidentiary purposes, electronic documents become the functional equivalent of written document provided that formalities required for validity of document under existing laws is observed. Thus, the law provides for legal recognition of electronic signatures which shall be equivalent of a person's signature on a written document if proved by showing that a prescribed procedure, not alterable by the persons interested in the electronic document. For purposes of this Act, the Supreme Court promulgated the 'Rules on Electronic Evidence' which apply to all civil and criminal actions and proceedings, as well as quasi-judicial and administrative cases. CHAPTER 7 - TORT LAW The Civil Code of the Philippines never used the word 'tort' in any of its provisions. Instead, the term 'quasi-delict' is used which is the nearest counterpart of the Roman law concept. Unlike the Roman law concept of 'tort', intentional and malicious acts are governed by the Revised Penal Code and not by the law on quasi-delict. Quasi-delict is used to designate those obligations which do not arise from law, contracts, quasi-contracts or criminal offences. The concept of liability in quasi-delictual cases is embodied in Chapter 2, Title XVII of the Civil Code. The basic provision on quasi-delict, or culpa aquiliana or extra-contractual culpa, is article 2176 of the Civil Code which provides: Whoever by act or omission causes damage to another, there being fault or negligence, is obliged to pay for the damage done. Such fault or negligence, if there is no pre-existing contractual relation between the parties, is called a quasi-delict and is governed by the provisions of this chapter. Liability for quasi-delict under this article requires the following conditions:
Article 1173 of the Civil Code defines negligence as the omission of that diligence which is required by the nature of the obligation and corresponds with the circumstances of the persons, of the time and of the place. If the law or contract does not state the diligence which is to be observed in the performance, that which is expected of a good father of a family shall be required. However, the degree of care and diligence required of a common carrier is extraordinary diligence. As a basis for liability, the negligent act or omission must be the proximate cause of the damage suffered by the plaintiff. Thus, negligence is a relative term whose application depends upon the situation of the parties and the degree of case and vigilance which the circumstances reasonably require and so where the danger is great, a high degree of care is necessary, and the failure to observe it is a want of ordinary care under the circumstances. Where the concurrent or successive negligence acts or omission of two or more persons, although acting independently of each other are, in combination, the direct and proximate cause of a single injury to a third person, and it is impossible to determine in what proportion each contributed to the injury, either is responsible for the whole injury, even though his act done might not have caused the entire injury, it has been held that the owners of two vehicles are liable solidarily for the death of the passenger. Negligence on the part of the plaintiff will not defeat a claim for damages in quasi-delict, if it was not the proximate and primary cause of the injury but only contributed to his harm, the court shall mitigate the damages to be awarded. However, if the plaintiff's own negligence is the immediate and proximate cause of his injury, he cannot recover damages. The doctrine of res ipsa loquitor establishes a presumption of negligence in the absence of any statement by the person who has control of the object causing the injury, where the thing which caused the injury, without fault of the injured persons, is under the exclusive control of the defendant and the injury is such as in the ordinary course of things does not occur if having such control use proper care, it affords reasonable evidence, in the absence of the explanation, that the injury arose from the defendant's want of care. As recognized in American jurisprudence, the doctrine of respondeat superior, wherein the negligence of the employee is conclusively presumed to be the negligence of the employer found its way in the Civil Code. Pursuant to Article 2180 of the Civil Code, the following persons are liable for the acts or omissions of those persons for whom one is responsible:
However, if it is shown to the court that they observed all the diligence of a good father of a family to prevent damage, their responsibility ceases. In several cases decided by the Supreme Court, the following are some of the defenses which have been interposed and were considered meritorious:
Aside from articles 2176 to 2194 of the Civil Code on quasi-delicts, the Civil Code chapter on Human Relations also provides for 'special torts' which incorporates not only principles of equity but also universal moral precepts such as: Every person who, contrary to law, willfully or negligently causes damage to another, shall indemnify the latter for the same. and Any person who willfully causes loss or injury to another in a manner that is contrary to morals, good customs or public policy, shall compensate the latter for the damage. It is to be noted, however, that, while article 2176 et seq is limited to acts or omissions causing damage or injury to another, article 20 includes both intentional and negligent acts without qualifications. CHAPTER 8 - INVESTMENTS LAW The Omnibus Investment Code of 1987 and the Foreign Investments Act of 1991 govern investments and the granting of incentives which are administered by the Department of Trade and Industry (DTI) through the Board of Investments (BOI) or the Philippine Economic Zone Authority (PEZA), together with all the laws regulating the making of investments or doing business by foreigners in the Philippines. It gives foreign and local investors complete information on all incentives which they may avail of, alternative investment schemes available to them and requirements for registration of foreign investments without incentives. Foreign investments mean equity investments made by a non-Philippine national, in the form of foreign exchange and/or other assets actually transferred to the Philippines and duly registered with the Central Bank which shall assess and appraise the value of such assets other than foreign exchange. The State encourages private domestic and foreign investments in industry, agriculture, mining, forestry, tourism, and other sectors of economy which shall: (1) provide significant employment opportunities relative to the amount of capital invested; (2) increase productivity of land, minerals, forestry, aquatic and other resources of the country and improve utilization of products thereof; (3) improve technical skills of people employed in enterprise; (4) provide foundation for future development of economy; (5) meet tests of international competitiveness; (6) accelerate development of less developed regions of country; and (7) result in increased volume and value of exports for economy. The State shall encourage projects which will contribute to attainment of these objectives, fiscal incentives without which said projects may not be established in locales, number and/or pace required for optimum national economic development. Fiscal incentive systems shall be devised to compensate for market imperfections, reward performance contributing to economic development, and be cost-efficient and simple to administer. Fiscal incentives shall be extended to stimulate investment and assist initial operations of enterprise, and shall terminate after a period of not more than 10 years from registration or start-up of operation, unless specific period is otherwise stated. Under the FIA, a non-Philippine national not otherwise disqualified by law, may upon mere registration with the Securities and Exchange Commission (SEC) or with the Bureau of Trade and Consumer Protection of the Department of Trade and Industry (DTI), in the case of single proprietorship, do business or invest in a domestic enterprise up to 100% of its capital unless participation of non-Philippine nationals in the enterprise is prohibited or limited to a smaller percentage by law or by the FIA itself. Foreign owned firms catering mainly to the domestic market are encouraged to undertake measures that will gradually increase Filipino participation in their business, implementing the transfer of technology to Filipinos and generating employment. The term Philippine national means a citizen of the Philippines; or a domestic partnership or association wholly owned by citizens of the Philippines; or a corporation organized under the laws of the Philippines which at least sixty percent (60%) of the capital sock outstanding and entitled to vote is owned and held by citizens of the Philippines; or a corporation organized abroad and registered as doing business in the Philippines under the Corporation Code of which one hundred percent (100%) of the capital stock outstanding and entitled to vote is wholly owned by Filipinos or a trustee of funds for pension or other employee retirement or separation benefits, where the trustee is a Philippine national and at least sixty percent (60%) of the funds will accrue to the benefit of Philippine nationals; Provided, that where a corporation and its non-Filipino stockholders own stocks in a Securities and Exchange Commission (SEC) registered enterprise, at least sixty percent (60%) of the capital stock outstanding and entitled to vote of both corporation must be owned and held by citizens of the Philippines and at least sixty percent (60%) of the members of the Board of Directors of both corporations must be citizens of the Philippines, in order that the corporation shall be considered a Philippine national. The term 'doing business' has been given a technical meaning by law, and generally refers to all 'acts that imply a continuity of commercial dealings or arrangements, and contemplates to that extent the performance of acts or works, or the exercise of some of the functions normally incident to, and in progressive prosecution of, commercial gain or the purpose and object of the business organisations'. It includes soliciting orders, service contracts, opening offices or branches, appointing representatives or distributors domiciled in the Philippines or who in any calendar year stay in the country for periods that total at least 180 days, or participating in the management, supervision or control of any domestic company in the Philippines. However, it does not include the mere investment by a foreign company as a shareholder in a domestic company, the exercise of rights as such shareholder, having a nominee director to represent its interests in such corporation nor appointing a representative or distributor domiciled in the Philippines which transacts in its own name and for its own account. Atty. Rocky Reyes made the following observations on th two laws amending the Omnibus Investments Code: 'The FIA clarified that, as a general rule, export and domestic market enterprises are open to foreign investments to the full extent of their equity. Before the promulgation of the FIA, the Investments Code required prior Board of Investments (BOI) approval before an entity which is not a Philippine national may do business in the Philippines (or for that matter, for any foreign investment in excess of forty percent (40%) of the outstanding enterprise). The FIA removes this requirement and permits non-Philippine nationals not intending to avail of incentives to do business in the Philippines or to invest in up to one hundred percent (100%) of the capital of an export or domestic market enterprise. However, foreign investments are still prohibited in areas reserved to Philippine nationals by the Constitution special laws and the provisions of the FIA. Republic Act No 8179 broadened the definition of 'Philippine National' to include foreign corporations which are wholly-owned by Filipinos reduced the minimum paid-up capital for domestic market enterprises which can be owned 100% by foreigners to US$200, 000 removed the Negative List C and the list of strategic enterprises and provided former national-born citizens with certain investment rights'. Any non-Philippine national may do business or invest in domestic enterprise up to 100% of its capital provided it is investing in domestic market enterprise in areas outside Foreign Investment Negative List (FINL) and brings foreign capital of at least US$200,000; or it is investing in expert enterprise whose products and services do not fall within Lists A & B of FINL. It is also provided that country or state of applicant must also allow Filipino citizens and corporations to do business therein. List of Investment Areas Reserved to Philippine Nationals or Foreign Investment Negative List.- (a) List A shall consist of areas of activities where foreign equity participation in any domestic or export enterprise engaged in any activity listed therein shall be limited to maximum of 40% as prescribed by Constitution and specific laws; and (b) List B shall consist of areas of activities and enterprises regulated pursuant to law which are defense-related activities, requiring prior clearance and authorization from Department of National Defense or which have implication on public health and morals. Republic Act No. 7042 covers all investment areas of economic activities except banking and other financial institutions which are governed and regulated by General Banking Act and other laws under supervision of Central Bank. Existing enterprises which have been issued certificates of authority to do business or to accept permissible investments under Executive Order No 226, Presidential Decree No 1789 and Republic Act No 5455, whose activities are included in Transitory FINL or in subsequent Negative Lists, are allowed to continue same activities which they have been authorized to do subject to same terms and conditions stipulated in their certificates of registration. Those whose activities have been previously authorized under Executive Order No 226, Presidential Decree No 1789 and Republic Act No 5455, and whose activities are not in Transitory FINL or in subsequent Negative Lists may opt to be governed by provisions of Act. Said enterprises shall be considered automatically registered with SEC upon surrender of their certificates of authority to BOI. SEC shall issue new certificate of authority upon advise of BOI. Existing enterprises with more than 40% of foreign equity which have availed of incentives under any of investment incentives laws implemented by BOI may opt to be governed by the Act. In such cases, said enterprises shall be required to surrender their certificates of registration, which shall be deemed express waiver of their privilege to apply for and avail of incentives under incentives law under which they were previously registered. Subject to BOI rules and regulations, said enterprises may be required to refund all capital equipment incentives availed of. BOI registered enterprises shall be granted following incentives to extent engaged in preferred area of investment: (1) Income tax holiday - full exemption for six years for pioneer firms and four years for non-pioneer firms from date of commercial operation, extendible for another year while registered expanding firms shall be entitled to exemption for income taxes proportionate to their expansion for period of three years from commercial operation; (2) additional deduction from taxable income equal to 50% of labor expenses for five years from registration; (3) tax and duty exemption on imported capital equipment and accompanying spare parts, under certain conditions; (4) tax credit on domestic capital equipment subject to certain conditions; (5) simplification of customs procedures for importation of equipment, spare parts, raw materials and supplies, and exports of processed products; (6) unrestricted use of consigned equipment provides re-export bond is posted unless equipment and spare parts have been imported tax and duty free; (7) employment of foreign nationals in supervisory, technical or advisory positions for five years from registration, extendible for limited periods with certain exceptions; (8) exemption from all taxes and duties on importation of breeding stocks and genetic materials within ten years from date of registration or commercial operation with certain conditions; (9) tax credit on domestic breeding stocks and genetic materials equivalent to 100% provided purchase is within ten years from date of registration of enterprise; (10) tax credit for taxes and duties on raw material, supplies and semi-manufactured products used in manufacture of export products; (11) access to bonded manufacturing/trading warehouse system of registered export oriented enterprises; (12) exemption from taxes and duties on imported spare parts and required supplies and for consigned equipment; and (13) exemption from wharfage and any export tax, duty, import and fees. For registered enterprises with operations in less developed areas, the incentives are: (1) automatic entitlement to incentives available to pioneer enterprises regardless of nationality; (2) additional deduction from taxable income equal to 100% of labor expenses for five years from registration; and (3) deduction from taxable income to extent of 100% of cost of necessary and major infrastructure and public facilities constructed. Export Processing Zone Authority (now PEZA) registered enterprises are also entitled to incentives available to BOI-registered enterprises. Additional incentives are: (1) Merchandise, raw materials, supplies, and other articles brought into export processing zone are exempt from taxes and duties subject to certain conditions; and (2) exemption from local taxes and licenses including real property taxes on production equipment or machineries. Foreign business entity organized and existing under any laws other than those of Philippines whose purpose is to supervise, superintend, inspect or coordinate its own affiliates, subsidiaries or branches in Asia-Pacific region may be allowed to establish regional or area headquarters in Philippines subject to certain conditions, among which are following: (1) Its activities shall be limited to acting as supervisory, communications and coordinating center for its subsidiaries, affiliates and branches in region and (2) it will not derive any income from sources within Philippines and will not participate in any manner in management of any subsidiary or branch office it might have in Philippines. Regional or area headquarters shall be entitled to following incentives: (1) Exemption from income tax; (2) exemption from contractor's tax; (3) exemption from all kinds of local licenses, fees and duties; (4) tax and duty free importation of training materials; (5) importation of motor vehicles for expatriate executives and their replacement every three years provided taxes and duties are paid upon importation; and (6) exemption from registration requirements. Expatriate executives are entitled to: (1) multiple entry visa, valid for one year including spouses and unmarried children below 21 and exemption from payment of all fees and duties under immigration and alien registration laws; securing alien certificates of registration; and obtaining all types of clearances required by any government department or agency except notice of final departure and tax clearance from Bureau of Internal Revenue; (2) withholding tax of 15% on gross income received; (3) tax and duty free importation of personal and household effects; and (4) travel tax exemption. Foreign company which has established or will establish regional or area headquarters may be allowed to establish regional warehouses subject to the following conditions: (1) Its activities shall be limited to serving as supply depot for storage, deposit, safekeeping of its spare parts or manufactured components and raw materials including packing and related activities; filling up transactions and sales made by its head offices or parent companies; and serving as storage or warehouse of goods purchased locally by home office of foreign company for export abroad; (2) it shall not directly engage in trade nor directly solicit business, promote any sale, nor enter into any contract for sale or disposition of goods in the Philippines; and (3) it will not derive any income from sources within the Philippines and its personnel will not participate in any manner in management of subsidiary, affiliate or branch office it might have in the Philippines. Imported spare parts, raw materials and other items for use exclusively on goods stored, brought into regional warehouse from abroad to be kept and re-exported to Asia-Pacific and other foreign markets shall be exempt from payment of customs duty, internal revenue tax, export tax and local taxes. Special investors resident visa may be issued to any alien who possesses the following qualifications: (1) He has not been convicted of crime involving moral turpitude; (2) he is not afflicted with any loathsome, dangerous or contagious disease; (3) he has not been institutionalized for any mental disorder or disability; and (4) he is willing and able to invest US$75,000 in the Philippines. Investors and registered enterprises are entitled to the following basic rights and guarantees:
With the Special Economic Zone Act of 1995, the government aims to encourage, promote, induce and accelerate sound and balanced industrial, economic and social development in the country by providing jobs in rural areas and increasing productivity and income of every individual and family living in these areas through the establishment of special economic zones ('ECOZONES") that will effectively attract legitimate and productive foreign investments. Special economic zones are selected areas which are highly developed of which have potential to be developed into agro-industrial, industrial, tourist/recreational, commercial, banking, investment and financial centers. Any investor within economic zone whose initial investment shall not be less than US$150,000, his/her spouse and dependent children under 21 years old shall be granted permanent resident status within economic zone. Business establishments operating within ECOZONES shall be entitled to: (1) Fiscal incentives under Presidential Decree No 66 or Executive Order No 226; (2) tax credits for exporters using local materials as inputs as provided by Republic Act No 7844 (Export Development Act of 1994); (3) exemption from taxes under National Internal Revenue Code except for real property taxes on land owned by developers; (4) goods manufactured by ECOZONE enterprise shall be made available for immediate domestic retail sales; (5) additional deduction of ½ of value of training expenses incurred by ECOZONE enterprises in developing skilled or unskilled labor or for managerial or other management development programs; and (6) exemption from national and local taxes and licenses. ECOZONE developers/operators shall be entitled to the following incentives: (1) Exemption from national and local taxes and licenses, and in lieu thereof, ECOZONE developer/operator shall pay 5% final tax on gross income; (2) additional deduction equivalent to ½ of value of training expenses; (3) incentives under BOT law; and (4) other incentives under the Code. To avail of all above incentives and benefits, business enterprises within ECOZONES must register with the Philippine Economic Zone Authority. ECOZONE enterprises are allowed to hire foreign nationals in supervisory, technical or advisory capacity not exceeding 5% of its workforce. Republic Act No 7652 (1993) allows long term leases of private land by foreign investors for the establishment of industrial estates, factories, assembly or processing plants, agro-industrial enterprises, development for industrial or commercial use, tourism, or other similar priority productive endeavors. Outside the scope of Republic Act No 7042 are the banking and other financial institutions. Republic Act No 8791 otherwise known as the General Banking Law of 2000 regulates the organization and operation of Banks, Quasi- Banks and Trust Entities. The General Banking Law governs primarily universal and commercial banks. Under Section 4 of this Act, Banks are classified into:
A universal bank, in addition to the powers of a commercial bank, can exercise the powers of an investment house, as well as invest in non-allied enterprises. On the other hand, a commercial bank, apart from its general powers of a stock corporation, can (1) exercise all the powers specified in Section 29; (2) provide other banking services enumerated in Section 53; and (3) purchase, hold and convey real estate as contemplated by Sections 51 and 52 of the General Banking Law. Other laws affecting banks are: the Non-Disclosure Deposits Law; Unclaimed Balances Law; the Philippine Deposit Insurance Corporation Law; and the Foreign Currency Deposit Act. The General Banking Law and Central Bank Law apply in a supplementary character to all banks wholly owned by the government. By specific provisions of the Central Bank Law, the Bangko Sentral is charged with the supervision, regulation, and periodic examination of all the banks operating in the Philippines, including all government banking institutions, such as the Land Bank of the Philippines and the Development Bank of the Philippines. The supervisory powers of the Bangko Sentral shall include the following:
The Bangko Sentral shall also have supervision over the operations of and exercise regulatory powers over quasi-banks, trust entities and other financial institutions which under special laws are subject to Bangko Sentral supervision. CHAPTER 9 - INTELLECTUAL PROPERTY LAW Section 13, Article XIV of the 1987 Constitution mandates that the State shall protect and secure the exclusive rights of scientists, inventors, artists, and other gifted citizens to their intellectual property and creations, particularly when beneficial to the people, for such period as may be provided by law'. Pursuant to this provision, Republic Act No 8293, otherwise known as the Intellectual Property Code, was enacted. It codified all laws affecting patents, trademarks, copyrights, and the licensing of intellectual property. It also established the Intellectual Property Office which is composed of the following: (a) Bureau of Patents which has jurisdiction over registration, as well as search and examination of patent applications and design, patents and utility models; (b) Bureau of Trademarks which has jurisdiction over registration, search and examination of trademark and service mark applications; (c) Bureau of Legal Affairs which may hear opposition to applications and complaints for violations of law involving intellectual property rights where total damages are not less than P200,000; it also has jurisdiction to hear cases involving cancellation of trademark, patent, utility models and industrial designs and petitions for compulsory licensing of patents; (d) Documentation, Information and Technology Transfer Bureau which provide for technical, advisory and other services relating to licensing and promotion of technology and carry out effective program for technology transfer and register technology transfer agreements; (e) Management Information Services and EDP Bureau which conducts information planning, research and development, testing of systems and provides management information services to IPO; and (f) Administrative, Financial and Human Resource Development Service Bureau which mainly receives all applications and collect fees therefore and publishes patent application and grants, trademark applications and registration of marks, industrial designs, utility models, geographic indication and lay-out designs of integrated circuits registrations. The term "intellectual property rights" consists of: (a) copyright and related rights; trademarks and service marks; (c) geographic indications; (d) industrial designs; (e) patents; (f) lay-out designs (topographies) of integrated circuits; and (g) protection of undisclosed information (n. TRIPS). A. PATENTS Any technical solution of a problem in any field of human activity which is new, involves an inventive step and is industrially applicable shall be patentable. It may be, or may relate to a product, or process, or an improvement of any of the foregoing. Excluded from patent protection are: (1) Discoveries, scientific theories and mathematical methods; (2) schemes, rules and methods of performing arts, playing games or doing business, and programs for computers; (3) methods for treatment of the human or animal body by surgery or therapy and diagnostic methods practiced on the human or animal body; (4) plant varieties or animal breeds or essentially biological process for the production of plants or animals. However, these provisions does not preclude Congress to consider the enactment of law providing sui generic of plant varieties and animal breeds and a system of communal intellectual rights protection; (5) aesthetic creations; and (6) anything which is contrary to public order or morality. The right to a patent belongs to the inventor, his heirs, or assigns. When two or more persons have jointly made an invention, the right to a patent shall belong to them jointly. If the invention was created pursuant to a commission, the person who commissioned the work shall own the patent, unless otherwise provided in the contract. In case the employee made the invention in the course of his employment contract, the patent shall belong to (a) the employee, if the inventive activity is not part of his regular duties even if the employee uses the time, facilities and materials of the employer; (b) the employer if the invention is the result of the performance of his regularly-assigned duties, unless there is an agreement, express or implied to the contrary. If two or more persons have made the invention separately and independently of each other, the right to the patent shall belong to the person who filed an application for such invention or where two or more applications are filed for the same invention, to the applicant who has the earliest filing date or, the earliest priority date. An application for a patent filed in the Philippines by any person who has filed an application for the same invention in a foreign country, which by treaty, convention, or law affords similar privileges to citizens of the Philippines will be considered as if it were filed on the date it was filed in the foreign country, provided that (a) the local application expressly claims priority; (b) it is filed in the Philippines within 12 months from the date the earliest date on which foreign application was filed; and (c) a certified copy of the foreign application together with an English translation is filed within 6 months from the date of filing in the Philippines. An applicant who is not a resident of the Philippines must appoint and maintain a resident agent or representative in the Philippines upon whom notice or process for judicial administrative procedure relating to the application for patent or the patent may be served. If the application is in order, the director shall issue the patent in the name of the Republic of the Philippines, under the seal of his office, which shall be signed by him. The term of a patent is 17 years from the date it is issued, unless revoked or cancelled on grounds specified in law. Patent application is published in the IPO Gazette together with search results after 18 months from date. Within six months from publication, applicant must file request for substantive examination. If no request for substantive examination is filed, application will be deemed withdrawn. Term of patent is now 20 years from filing date of application with respect to inventions; seven years without renewal with respect to utility models and five years for industrial designs which may be renewed for not more than two consecutive periods of five each. Any person may, upon payment of required fee, petition for cancellation of patent or of any claim thereof, or parts of claim, on any of the following grounds: (a) invention is not new or patentable; (b) patent does not clearly and completely disclose invention to be carried out by any person skilled in art; or (c) that the patent is contrary to public order or morality. A patent shall confer on its owner the following exclusive rights:
A government agency or third person authorized by the government may exploit the invention even without agreement of the patent owner where: (a) the public interest, in particular, national security, nutrition, health or the development of other sectors, as determined by the appropriate agency of the government; (b) a judicial or administrative body has determined that the manner of exploitation, by the owner of the patent or his license, is anticompetitive. Infringement of patent is redressed by civil action for damages with injunction and claim for attorney's fees and litigation expenses.28 Action for damages must be brought within four years. Criminal action is available only for repeat infringement. Law provides maximum of three years imprisonment and maximum fine of 300,000 pesos as penalty. The criminal action shall prescribe in three years from the date of the commission of the crime. B. INDUSTRIAL DESIGNS Industrial design is any composition of lines or colors or any three-dimensional form, whether or not associated with lines or colors. Only industrial designs that are new or original are protected by new intellectual property law, while industrial designs dictated essentially by technical or functional considerations to obtaintechnical result or those that are contrary to public order, health or morals are not protected by law. Rights and protection accorded to industrial design are subject to same provisions and requirements relative to patents for inventions. The owner of a layout-design registration enjoys the following rights:
C. UTILITY MODELS Registration of utility models shall be governed by same rules and requirements governing registration of patents. Only new and industrially applicable utility models are registrable. Utility model registration shall be cancelled on following grounds: (a) that claimed invention does not qualify for registration as utility model and does not meet requirements of registrability; (b) that description and claims do not comply with prescribed requirements; (c) that any drawing necessary to understand invention has not been furnished; and (d) that the owner of utility model registration is not inventor or his successor in title. An applicant may not file two applications for the same subject, one for utility model registration and the other for the grant of patent whether simultaneously or consecutively. D. TRADEMARKS, SERVICE MARKS AND TRADE NAMES Republic Act No 8293 (1997) defines "Marks" as any visible sign capable of distinguishing the goods (trademark) or services (service mark) of an enterprise and shall include a stamped or marked container of goods. "Trade name" means the name or designation identifying or distinguishing an enterprise. Simply put, a tradename refers to the business and its goodwill; a trademark refers to the goods. Trademark registration has a term of ten years, renewable for another ten years provided that registrant files declaration of actual use within one year from fifth anniversary. Law confers upon registered owner of mark exclusive right to prevent all third parties not having owner's consent from using in course of trade identical or similar signs or containers for goods or services which are identical or similar to those in respect of which trademark is registered where such use would result in likelihood of confusion. Law also requires applicant for trademark registration to file Declaration of Use within three years from date of filing of application. Assignment or transfer of registrations of mark is allowed provided it is not made to mislead public as regards nature, source, manufacturing process, characteristics of goods or services to which mark is applied. Assignment must be writing, acknowledged before notary public or other officer authorized to administer oath, and certified under hand and official seal of notary or other officer. Assignment is void as against any subsequent purchaser for value without notice, unless assignment is recorded in Patent Office. When assignment is executed in foreign country, authority of notary or other officer shall be proved by certificate of diplomatic or consular office of, or representing interest of, Government of Philippines. No assignment executed in foreign country written in language other than English or Spanish shall be recorded unless accompanied by verified English translation. No instrument will be recorded which does not, in judgment of Director, amount to assignment, or which does not affect title to trademark or trade name to which it relates. Any person who, without consent of registrant, uses, sells, or advertises any reproduction, counterfeit, copy or imitation of a registered mark or trade name is guilty of infringement. Injunction may be obtained to prevent infringement and court may order infringing material to be destroyed. No imported merchandise can be admitted entry in Philippines which copies or simulates mark or trade name registered in Philippines, or bears a mark or trade name calculated to induce public to believe that article is manufactured in Philippines, or that it is manufactured in a country other than place where it is in fact made. Subject to well defined exceptions, persons who are nationals of, domiciled in, or have a bona fide or effective business or commercial establishment in any foreign country, which is a party to any international convention or treaty relating to marks or trade names, or the repression of unfair competition to which the Philippines may be a party, are entitled to the benefits and subject to the provisions of the Trademark Law to the extent and under the condition essential to give effect to any such convention and treaties so long as the Philippines continue to be a party thereto. An applicant for the registration of a mark or trade name, who is not a resident of the Philippines, must appoint an agent or representative in the Philippines upon whom notice or process relating to the application or registration may be served. E. COPYRIGHT The New Intellectual Property Code protects following original intellectual creations in literary and artistic domain from the moment of their creation: (a) Books, pamphlets, articles and other writings; (b) periodicals and newspapers; (c) lectures, sermons, addresses, dissertations prepared for oral delivery, whether or not reduced in writing or other material form; (d) letters; (e) dramatic or dramatico-musical compositions; choreographic works or entertainment in mime or dumb shows; (f) musical compositions, with or without words; (g) works of drawing, painting, architecture, sculpture, engraving, lithography or other works of art; models of designs for works of art; (h) original ornamental designs or models for articles of manufacture, whether or not registrable as industrial design, and other works of applied art; (i) illustrations, maps, plans, sketches, charts and three-dimensional works relative to geography, topography, architecture or science; (j) drawings or plastic works of scientific or technical character; (k) photographic works including works produced by process analogous to photography; lantern slides; (1) audiovisual works and cinematographic works and works produced by process analogous to cinematography or any process for making audiovisual recordings; (m) pictorial illustrations and advertisements; (n) computer programs; and (0) other literary, scholarly, scientific and artistic works. The following derivative works are likewise protected by copyright: (a) dramatizations, translations, adaptations, abridgments, arrangements, and other alterations of literary or artistic works; and (b) collections of literary, scholarly or artistic works, and compilations of data and other materials which are original by reason of selection or coordination or arrangement or their contents. The law provides for the following as not being subject to copyright protection: (a) Any idea, procedure, system, method or operation, concept, principle, discovery or mere data as such, even if they are expressed, explained, illustrated or embodied in work; (b) news of the day and other miscellaneous facts having character of mere items of press information; and (c) any official text of legislative, administrative or legal nature, as well as any official translation thereof. No copyright protection is afforded to any work of government, speeches, lectures, sermons, addresses and dissertations, pronounced, read or rendered in courts of justice, before administrative agencies, in deliberative assemblies and in meetings of public character but author thereof has exclusive right of making collection of his works. The reproduction of published work is allowed even without authorization of owner provided it is done by natural person exclusively for research and private study. But reproduction is not allowed if it is: (a) Work of architecture in form of building, or other construction; (b) entire book, or substantial part thereof, or of musical work in graphic form by reprographic means; (c) compilation of data and other materials; (d) computer program except as provided in § 189; and (e) any work in cases where reproduction would unreasonably conflict with normal exploitation of work or would otherwise unreasonably prejudice legitimate interests of author. Under the new law, certain works are required to be registered and deposited at National Library and Supreme Court Library for purposes of completing their records. The copyright protection is now for a term of 50 years except for broadcasts which have a 20-year term and for works of applied art which have a 25 year term. CHAPTER 10 - ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION Disputes and controversies in civil cases may be resolved prior to the institution of court litigation or pending final resolution of the case through compromise or arbitration. The Arbitration Law permits parties to submit to arbitration to one or more arbitrators any controversy existing between them which may be the subject of an action or the stipulation in the contract requires them to submit to arbitration any controversy arising therefrom. The applicable articles of the Civil Code also governs arbitration. In any civil action, parties and their attorneys are required to appear in a pre-trial conference before the court to consider the possibility of amicable settlement or of submission to alternative modes of dispute resolution. Failure on part of plaintiff to appear shall be a cause for dismissal of the action and a similar failure on part of the defendant shall cause plaintiff to present his evidence ex parte and court to render judgment on basis thereof. Recently, the Supreme Court, in Resolution AM No. 04-3-15-SC-PHILJA dated 23 March 2004, approved among other things, the following ADR resolutions and guidelines on court-annexed and court-referred medidation:
Thus, the trial court, after determining the possibility of an amicable settlement or of a submission to the alternative modes of dispute resolution, shall issue an Order referring the case to the Philippine Mediation Center (PMC) unit for mediation which shall be personally given to the parties during the pre-trial together with the complaint and answers. The coverage of court-annexed mediation are:
The places where the Philippine Mediation Center is presently operating are: Metro Manila, Metro Davao, Metro Cebu, Cagayan de Oro City, Bacolod City, San Fernando City, Pampanga, Tacloban City, and General Santos City. Insofar as labor cases are concerned, it is a state policy to promote and emphasize the primacy of free collective bargaining and negotiations, including voluntary arbitration, mediation and conciliation as modes of settling labor or industrial disputes. In collective bargaining agreements (CBA), parties are required to include in their agreement the establishment of grievance machinery for adjustment and resolution of grievances and those arising from the interpretation or implementation of their CBAs and those arising from the interpretation and implementation of company personnel policies. Grievances not settled before grievance machinery shall automatically be referred to a voluntary mediator or a panel of voluntary arbitrators. Specialized arbitration involves particular industries or kind disputes. In the construction industry, Executive Order No. 1008 (1985) created the Construction Industry Arbitration Commission (CIAC). Subject to the agreement of the parties to submit the dispute to voluntary arbitration, the CIAC was given the original and exclusive jurisdiction over all construction disputes. Banking disputes on clearing of checks are resolved by a specialized system administered under the auspices of the Bankers' Association of the Philippines. Lately, the Philippine Legislature has promoted arbitration by enacting more laws with arbitration as a basic feature. Among these are the Consumer Act of 1992, the Mining Act of 1995, and the Intellectual Property Code of the Philippines. On April 2, 2004, the enactment of the Alternative Dispute Resolution Act institutionalizes the use of the alternative dispute system as well as the establishment of the Office for Alternative Dispute Resolution. It defines "alternative dispute resolution system" as any process or procedure used to resolve a dispute or controversy, other than by adjudication of a presiding judge of a court or an officer of a government agency in which a neutral third party participates to assist in the resolution of issues, which includes arbitration, mediation, conciliation, early neutral evaluation, mini-trial or any combination thereof. Here, mediation includes conciliation. Under this Act, a mediator is not required to have special qualifications by background or profession unless required in the mediation agreement or by the parties. Before accepting a mediation, the mediator must disclose to the parties any such fact known or learned as soon as it is practical and indicate such conflict of interest. A party may designate a lawyer or any other person to provide assistance in mediation. A waiver of this right shall be made in writing by the person waiving it but it may be rescinded at any time. The parties are free to agree on the place of mediation but can be any place convenient and appropriate to all parties. If an agreement contains a provision to submit a dispute to mediation by an institution, it shall include an agreement to be bound by the internal mediation and administrative policies of such institution. A settlement agreement following a successful mediation shall be prepared by the parties with the assistance of their respective counsel, if any, and by the mediator. It should make adequate provisions for the contingency of breach to avoid conflicting interpretations of the argument. It should be signed by the parties and their counsels and the mediator must explain its contents to the parties in a language known to them. The parties may agree that the mediator shall become a sole arbitrator for the dispute and shall treat the settlement agreement as an arbitral award subject to the enforcement under Republic Act No. 876. if the parties so desire, they may deposit such agreement with the appropriate Clerk of a Regional Trial Court of the place where one of the parties reside. Enforcement of the agreement may be made by filing a petition in the same court; in which case, the court shall proceed in accordance with the Rules on Summary Procedure. Information obtained through mediation proceedings shall be privileged and confidential and shall not be subject to discovery and well inadmissible in any adversarial proceeding, whether judicial or quasi-judicial. Neither may a mediator be called to testify to provide information gathered in mediation. A mediator who is wrongfully subpoenaed shall be reimbursed the full cost of his attorney's fees and related expenses. However, a privilege arising from the confidentiality of information may be waived in a record, or orally during a proceeding by the mediator and the mediation parties. A person who discloses confidential information shall be precluded from asserting the privilege. If a person suffers loss or damage as a result of the disclosure, he shall be entitled to damages in a judicial proceeding against the person making the disclosure. There is no privilege against disclosure if mediation communication is: (1) in an agreement evidenced by a record authenticated by all parties to the agreement; (2) available to the public or is made during an open session of the mediation to the public; (3) a threat or statement of a plan to inflict bodily harm or commit a crime of violence; (4) intentionally used to plan a crime, attempt to commit or commit a crime or conceal an ongoing crime or criminal activity; (5) sought or offered to prove or disprove a claim or complaint of professional misconduct or malpractice filed against mediator in a proceeding; or (7) sought or offered to prove or disprove a claim or complaint of professional conduct or malpractice filed against a party, nonparty participant, or representative of a party based on conduct occurring during a mediation. There is also no privilege if a court or administrative agency finds after a hearing in camera, that the party seeking discovery of the proponent of the evidence has shown that the evidence is not otherwise available and that evidence substantially outweighs the interest in protecting confidentiality in: (1) a court proceeding involving a crime or felony; or (2) a proceeding to prove a claim or defense that under the law is sufficient to reform to avoid a liability on a contract arising out of mediation. The Act also adopts the Model Law on International Commercial Arbitration which was approved by UN Commission on International Trade Law (UNCITRAL) on 21 June 1985. in the interpretation of the Model Law, regard shall be had to its international origin and resort may be made to the travaux preparatories and the report of the Secretary-General of the UNCITRAL dated March 25, 1985 entitled "International Commercial Arbitration: Analytical Commentary on Draft Text". An arbitration is "commercial" if it covers matters arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature includes but are not limited to the following transactions: any trade transaction for the supply or exchange of goods or services, distribution agreements, construction of works, commercial representation or agency; factoring; leasing; consulting: engineering; licensing: investment; financing; banking; insurance; joint venture and other forms of industrial or business corporation; carriage of goods or passengers by sea, air, rail or road. If international arbitration is conducted in the Philippines, a party may be represented by any person of his choice provided that such representative, unless admitted to the practice of law in the Philippines, shall not be authorized to appear as counsel in any Philippine court or any other quasi-judicial body whether or not such appearance is in relation to the arbitration in which he appears. The arbitration proceedings, including its records, evidence and arbitral award shall be considered confidential and shall not be published except with the consent of the parties or for the purpose of disclosing to the court of relevant documents, in cases where resort to the court is allowed. However, the court in which the action or appeal is pending may issue a protective order to prevent or prohibit disclosure of documents or information containing secret processes, developments, research and other information where it is shown that the applicant shall be materially prejudiced by an authorized disclosure thereof. A court before which an action is brought in a manner is the subject matter of an arbitration agreement shall, if at least one party so requests not later than the pre-trial conference, or upon the request of both parties thereafter, refer the parties to arbitration unless it finds that the arbitration agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed. |