Teori hierarki norma (stufentheorie) Hans Kelsen dan teori norma hukum hierarki Hans Nawiasky (die theorie vom stufentordnung der rechtsnormen) dapat digunakan untuk menjelaskan sistem norma hukum di Indonesia. Kedua teori tersebut mengemukakan bahwa norma hukum selalu terstruktur berjenjang dan bersifat hierarkis, terutama norma yang lebih rendah didasarkan pada norma yang lebih tinggi sampai pada titik bertemu dengan norma tertinggi yang kemudian menjadi norma dasar.
Dalam hukum Indonesia saat ini hierarki norma hukum diatur dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan (Ketetapan MPR Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Hirarki Hukum). Hirarki dasar meliputi UUD 1945 ("UUD"), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ("Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat"), Undang-Undang ("UU"), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau PERPU (" Undang-Undang Pengganti Undang-undang atau “Undang-Undang Sementara”), Peraturan Pemerintah (“Peraturan Pemerintah”), Keputusan Presiden (“Keputusan Presiden”), dan Peraturan Daerah (“Peraturan Daerah”).
Secara teori hierarki menciptakan setidaknya dua masalah. Pertama, bahwa hierarki didasarkan pada konsep Peraturan PerundangUndangan (undang-undang formal dan peraturan yang mengikat publik). Namun, menurut teori hierarki norma Peraturan Perundang-undangan dapat mencakup Hukum Formal (Formell Gesetz), Peraturan Pelaksana (Verordnung), dan Peraturan Otonom (Autonome Satzung). Konstitusi dan Ketetapan MPR adalah hukum dasar Negara (staatsgrundgesetz) dan dalam teori ini harus dianggap pada tingkat norma yang lebih tinggi dan secara teknis di luar hierarki karena keduanya bukanlah Peraturan Perundang-Undangan (peraturan perundang-undangan yang berlaku). ). Masalah kedua terkait dengan tidak adanya Keputusan Menteri ("Keputusan Menteri") dalam hierarki. Ketiadaan ini menjadi polemik karena banyak Pemerintah Daerah dan Daerah yang menafsirkan bahwa setiap Keputusan Menteri yang dikeluarkan dan konon mengikat Pemerintah Daerah dan Daerah tidak efektif. Oleh karena itu, Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah Daerah menempati posisi yang lebih tinggi dalam hierarki hukum Indonesia daripada Peraturan Menteri karena Peraturan Menteri adalah beberapa bentuk peraturan kuasi yang tidak termasuk dalam hierarki undang-undang Indonesia. Bertahannya kelalaian ini mengakibatkan tingginya tingkat kesalahan. ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah/Daerah dalam beberapa hal penting antara lain perpajakan, tata cara perizinan usaha, dan penanaman modal.
Peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam hierarki tersebut dibuat oleh berbagai lembaga negara. UUD hanya dapat diubah oleh MPR. Ketetapan MPR dibuat oleh MPR. Undang-undang dibuat atas kesepakatan bersama antara DPR dan Presiden. Hukum Sementara dibuat oleh Presiden. Peraturan Pemerintah dibuat oleh Presiden. Peraturan Daerah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara Kepala Daerah atau Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”).
Untuk memahami sistem legislatif di Indonesia, penekanan harus dilakukan pada peninjauan peraturan perundang-undangan atau undang-undang yang mengikat publik. Undang-Undang adalah hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ini dapat menentukan sanksi pidana, perdata, atau administratif yang berlaku. Ia juga merupakan bentuk hukum yang dapat segera berlaku dan mengikat masyarakat. Setiap Undang-Undang diundangkan melalui tiga tahap, a) penyusunan RUU, pada dasarnya penelitian dan penyusunan RUU, b) penjabaran dan pengesahan RUU, pada dasarnya pembahasan yang dilakukan antara DPR dan Presiden untuk mencapai mufakat, dan c) diundangkannya. Setelah RUU disahkan oleh DPR dan disetujui oleh Presiden, Presiden harus menandatanganinya. Untuk memastikan kekuasaan Presiden memveto suatu RUU tidak mutlak, MPR mengamandemen UUD untuk menetapkan bahwa setelah 30 hari jika Presiden gagal menandatangani RUU, RUU itu akan berlaku sendiri dan otomatis menjadi UU.
Ada sejumlah ketidakjelasan di masyarakat tentang beberapa konsep kunci yang terkait dengan proses yang mengarah pada pembentukan Undang-Undang. Pertama, adanya ambiguitas terkait konsep Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti materiil. Kedua istilah tersebut didasarkan pada perbedaan antara wet in formele zin dan wet in materiele zin yang ada di Belanda. Secara tradisional, kesalahpahaman umum yang dipegang banyak orang adalah bahwa istilah tersebut merujuk pada dua jenis Undang-Undang yang terpisah. Akan tetapi, pemahaman yang salah ini jarang terjadi dewasa ini, karena orang melihat Undang-Undang dalam arti formal yaitu setiap undang-undang yang bernama Undang-Undang, sedangkan Undang-Undang dalam arti materiil adalah segala jenis undang-undang yang mengikat masyarakat. Dengan kata lain, hanya ada satu jenis Undang-Undang.
Kedua, ketidakjelasan konsep Undang-Undang Pokok dan Undang-Undang Payung. Banyak orang percaya bahwa Undang-Undang Pokok dapat digunakan sebagai sumber hukum wajib untuk Undang-Undang lain. Namun konsepsi tersebut tidak populer saat ini, karena banyak orang telah menerima pandangan bahwa semua Undang-Undang, apa pun namanya, berada pada tingkat hierarki yang sama. Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum wajib bagi Undang-Undang lainnya.
PERPU merupakan suatu bentuk undang-undang yang berada pada tingkat hierarki yang sama dengan Undang-Undang. PERPU dikeluarkan oleh Presiden dan segera berlaku. Persyaratan dasar yang harus dipenuhi sebelum PERPU diterbitkan adalah bahwa materi hukum yang akan diatur bersifat darurat, kebutuhan yang mendesak, dan tidak dapat diatur atau diatur dengan cara lain. PERPU yang telah ditetapkan hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu; yaitu, PERPU harus disahkan oleh DPR dalam sidang pertama setelah diundangkannya PERPU. Jika DPR mengesahkan PERPU maka akan diundangkan kembali menjadi Undang-Undang. Sebaliknya, bila DPR menolak PERPU maka hal itu batal demi hukum dan kerangka pengaturan kembali ke status quo yang ada sebelum PERPU berlaku.
Peraturan Pemerintah berfungsi sebagai undang-undang yang digunakan untuk melaksanakan suatu Undang-Undang. Hal itu hanya dapat dilakukan jika berkaitan dengan suatu Undang-Undang tertentu. Namun demikian, suatu Peraturan Pemerintah dapat dibuat meskipun tidak secara tegas disebutkan Undang-Undang yang bersangkutan. Suatu Peraturan Pemerintah hanya dapat memuat ketentuan-ketentuan sanksi apabila Undang-undang yang bersangkutan juga memuat sanksi-sanksi yang sama.
Umumnya, Keputusan Presiden diterbitkan dalam salah satu dari dua bentuk; yaitu, deklarasi atau aturan publik. Bentuk kedua Keputusan Presiden tersebut dianggap sebagai peraturan perundang-undangan. Dalam membantu Presiden, Menteri juga dapat membuat peraturan yang disebut Keputusan Menteri, dan hanya Peraturan Menteri yang berfungsi sebagai peraturan umum yang dapat dianggap sebagai peraturan perundang-undangan. Ada tiga tingkat Menteri; Menteri dari suatu Departemen (Menteri Departemen), Menteri Negara (Menteri Negara), dan Menteri Koordinator (Menteri Koordinator). Menteri Negara dan Menteri Koordinator tidak dapat mengeluarkan Keputusan Menteri yang mengikat masyarakat, hanya dapat menetapkan peraturan perundang-undangan internal.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Pemerintah Daerah/Lokal (“Gubernur”, “Bupati”, atau “Walikota”) atas persetujuan DPRD. Undang-undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah atau sebagai ketentuan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dapat menentukan sanksi pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta. Untuk memudahkan pelaksanaan Peraturan Daerah, Kepala Pemerintah Daerah/Pemda dapat mengesahkan Keputusan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang mengatur dan mengikat masyarakat harus diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Perubahan peraturan perundang-undangan tertentu berarti salah satu dari dua hal telah terjadi; yaitu, suatu ketentuan telah ditambahkan atau dihapus atau undang-undang tersebut telah dicabut seluruhnya. Perubahan jenis pertama tidak mengakibatkan pencabutan seluruh undang-undang dan hanya berlaku untuk ketentuan yang disebutkan. Sebaliknya jenis amandemen kedua membuat seluruh undang-undang batal biasanya berarti undang-undang tersebut perlu diganti dengan seperangkat ketentuan baru. Perubahan hanya dapat dilakukan oleh DPR namun tidak menutup kemungkinan perubahan undang-undang tersebut dapat dilakukan melalui penggunaan PERPU oleh Presiden. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pada akhirnya DPR harus menyetujui atau menolak PERPU pada sidang parlemen berikutnya. Setiap perubahan yang dilakukan harus mencantumkan undang-undang yang diubah, ketentuan khusus, dan berapa kali undang-undang tersebut diubah.
Hukum (atau Undang-undang) biasanya dikeluarkan dengan Penjelasan yang sesuai. Maksud dari Penjelasan tersebut adalah untuk memberikan klarifikasi dan penjelasan tambahan sehubungan dengan interpretasi ketentuan untuk menghilangkan ambiguitas dan kesalahan penerapan atau interpretasi undang-undang yang relevan selanjutnya. Sayangnya, ada kesalahpahaman umum di masyarakat bahwa Penjelasan tidak memiliki kekuatan mengikat dan akibatnya merupakan fitur opsional dari proses legislatif. Namun, Penjelasan secara khusus membahas masalah interpretatif dan berusaha untuk menghilangkan ambiguitas dan akibatnya merupakan aspek kunci dari tinjauan yudisial dan interpretasi undang-undang.
Referensi
- https://www.aseanlawassociation.org/